Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Takdir Cinta Yang Tak Terduga

Takdir Cinta Yang Tak Terduga

Isna Auliya Riyadi

5.0
Komentar
42
Penayangan
4
Bab

Naira, gadis sederhana dari keluarga menengah, terkejut ketika dijodohkan dengan Arya, CEO muda yang terkenal dingin. Awalnya enggan, Naira perlahan menemukan sisi lain dari Arya yang penuh perhatian. Saat benih cinta tumbuh, masa lalu dan rahasia masing-masing mulai mengancam kebahagiaan mereka. Mampukah mereka mengatasi rintangan dan menemukan cinta sejati? Temukan jawabannya dalam kisah "Takdir Cinta yang Tak Terduga"

Bab 1 Kabar mengejutkan.

Naira membuka jendela kamarnya, membiarkan udara pagi yang segar mengalir masuk. Hari itu, langit terlihat sangat cerah dan terdengar suara burung-burung bernyanyi riang.

Ia memandangi taman kecil di depan rumahnya, tempat ibunya sering menanam bunga-bunga. Kehidupan di rumah sederhana mereka begitu tenang dan nyaman. Naira adalah seorang guru di sekolah dasar, pekerjaan yang sangat ia cintai. Setiap hari, ia mengajar anak-anak dengan penuh kasih sayang dan dedikasi. Bagi Naira, hidupnya sederhana namun penuh makna.

Setelah mandi dan bersiap-siap, Naira menuju ke dapur untuk sarapan. Ibunya, Bu Siti, sudah menyiapkan nasi goreng kesukaannya. Sambil menikmati sarapan, mereka berbincang ringan tentang aktivitas hari itu.

"Bu, hari ini aku ada jadwal rapat dengan wali murid. Semoga semuanya berjalan lancar," ujar Naira sambil tersenyum.

Ibunya mengangguk, "Tentu saja, Nak. Kamu selalu melakukan yang terbaik untuk murid-muridmu. Ibu yakin mereka semua menghargai usaha dan perhatianmu."

"Oh iya Bu. Ayah mana, kenapa tidak ikut sarapan dengan kita?" Tanya Naira.

Bu Siti tersenyum. "Ayahmu sudah berangkat ke sawah sejak tadi pagi, pengen sarapan di sana katanya."

Sejak pensiun, Ayah Naira bekerja di sawah miliknya demi untuk menyambung hidup.

Setelah sarapan, Naira bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia mengenakan pakaian seragam yang rapi dan sederhana, menandakan kepribadiannya yang rendah hati. Rambutnya yang panjang dia kuncir ala ekor kuda, tak lupa juga kacamata yang bertengger di hidungnya.

Sebelum keluar rumah, ia mencium tangan ibunya dan berpamitan. "Aku berangkat dulu ya, Bu."

"Hati-hati nak," kata Bu Siti.

Di sekolah, Naira disambut oleh wajah-wajah ceria murid-muridnya. Mereka menyambutnya dengan salam dan senyum, membuat Naira merasa sangat dihargai. Ia menikmati setiap momen mengajar, melihat anak-anak belajar dan berkembang adalah kepuasan tersendiri baginya.

Namun, hari itu, suasana hati Naira akan berubah drastis. Setelah pulang dari sekolah, ia menemukan kedua orang tuanya menunggunya di ruang tamu. Wajah mereka tampak serius, berbeda dari biasanya. Naira merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Naira, duduklah sebentar. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu," kata ayahnya, Pak Arif, dengan nada tegas namun lembut.

Naira menurut, duduk di sofa dengan perasaan cemas. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh orang tuanya. Perasaan tak nyaman mulai merayapi hatinya.

"Naira, kamu sudah tahu bahwa kami selalu menginginkan yang terbaik untukmu. Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik, termasuk dalam hal jodoh," kata Bu Siti perlahan.

Jantung Naira berdetak kencang. Ia merasa ada sesuatu yang besar akan terjadi pada hidupnya. Namun Naira hanya bisa diam dan mendengarkan.

"Beberapa minggu yang lalu, kami bertemu dengan keluarga Pak Budi. Mereka adalah keluarga yang sangat baik dan terhormat. Mereka juga memiliki seorang putra bernama, Arya. Dia pemuda yang baik," lanjut Pak Arif.

Naira semakin bingung. Apa hubungannya dengan dirinya? Mengapa mereka berbicara tentang Arya?

"Kami telah memutuskan untuk menjodohkanmu dengan nak Arya, anak teman Ayahmu," kata Bu Siti akhirnya, dengan suara yang bergetar.

Kata-kata itu bagaikan petir di siang bolong bagi Naira. Ia tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Mereka menjodohkannya? Tanpa memberitahunya terlebih dahulu? Tanpa meminta persetujuannya?

"Apa? Ayah sudah menjodohkanku dengan orang yang bahkan belum pernah kutemui?" tanya Naira dengan suara yang mulai meninggi. Matanya mulai memerah, tanda ia merasa sangat marah dan dikhianati.

Pak Arif mencoba menenangkan Naira. "Naira, Arya adalah pria yang sangat baik. Kami yakin dia bisa menjadi suami yang baik untukmu. Ini adalah kesempatan yang baik untukmu, Nak. Karena Arya bukan dari keluarga sembarangan, mereka adok keluarga baik baik dan ayah sangat mengenal orang tua Arya dengan baik."

Naira tidak bisa menahan air matanya lagi. "Tapi ini hidupku Ayah! Kalian tidak bisa memutuskan hal sebesar ini tanpa bertanya padaku terlebih dahulu. Aku bukan anak kecil lagi!"

Bu Siti mencoba meraih tangan Naira, tetapi Naira menarik tangannya, kecewa. "Kami melakukan ini demi kebaikanmu, Naira. Kami hanya ingin kamu bahagia."

Naira berdiri dari sofa, menatap kedua orang tuanya dengan mata yang basah. "Kebahagiaan macam apa yang kalian maksud? Kebahagiaan yang dipaksakan? Aku tidak menginginkan ini!"

Dengan hati yang penuh luka, Naira berlari ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia menangis sejadi-jadinya, merasa dikhianati oleh orang yang paling ia percayai. Bagaimana mereka bisa mengambil keputusan sebesar ini tanpa melibatkannya terlebih dahulu?

Sementara itu, di ruang tamu, Bu Siti dan Pak Arif saling berpandangan dengan perasaan campur aduk. Mereka tidak menyangka reaksi Naira akan sekeras ini. Mereka hanya ingin yang terbaik untuk putri mereka, namun mungkin cara mereka salah.

Naira menghabiskan malam itu dengan air mata. Pikirannya kacau, hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi ini. Bagaimana mungkin ia menikah dengan seseorang yang tidak pernah ia kenal?

***

Keesokan harinya, Naira bangun dengan mata yang bengkak. Ia merasa tidak bersemangat untuk pergi ke sekolah, namun ia tahu bahwa murid-muridnya membutuhkan dirinya. Dengan langkah yang berat, ia bersiap-siap dan berangkat ke sekolah tanpa sarapan terlebih dahulu. Setelah berganti pakaian dengan seragam, Naira langsung pamit pada ayah dan ibunya.

Di sekolah, Naira mencoba menyembunyikan perasaannya. Ia tersenyum dan mengajar seperti biasa, meskipun hatinya terasa kosong. Teman-teman sesama guru menyadari perubahan sikap Naira, tetapi mereka tidak berani bertanya. Mereka menghormati privasinya dan berharap Naira akan baik-baik saja.

Sore harinya, setelah pulang dari sekolah, Naira memutuskan untuk berbicara dengan sahabatnya, Dina. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang sering mereka kunjungi. Naira menceritakan semua yang terjadi, dari pengumuman mengejutkan orang tuanya hingga perasaannya yang terluka.

Dina mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Naira, aku mengerti perasaanmu. Ini memang situasi yang sulit. Tapi mungkin ada baiknya kamu bertemu dengan Arya dulu. Siapa tahu, dia ternyata orang yang baik dan kamu bisa menerima perjodohan ini."

Naira hanya diam dan memilih sibuk mengaduk kopi, minumannya.

"Naira, aku mengerti perasaanmu. Ini memang situasi yang sulit. Tapi mungkin ada baiknya kamu bertemu dengan Arya dulu. Siapa tahu, dia ternyata orang yang baik," kata Dina lagi dengan nada lembut.

Naira menatap secangkir kopi di depannya, berpikir keras. Ia tahu Dina hanya ingin yang terbaik untuknya, tetapi gagasan untuk bertemu dengan pria yang sudah dijodohkan dengannya masih terasa berat.

"Aku tidak tahu, Dina. Rasanya seperti mimpi buruk. Aku tidak siap untuk ini," jawab Naira dengan suara lemah.

Dina meraih tangan Naira dan memberinya pegangan yang menguatkan. "Aku tahu ini sulit, Naira. Tapi kamu harus kuat. Setidaknya berikan dirimu kesempatan untuk mengenalnya. Mungkin dia berbeda dari apa yang kamu bayangkan."

Naira mengangguk pelan. Ia tahu Dina benar. Meskipun hatinya masih berat, ia harus mencoba untuk menerima kenyataan ini. Setelah berbincang cukup lama, Naira merasa sedikit lebih tenang. Sahabatnya selalu tahu cara membuatnya merasa lebih baik.

Sore harinya, Naira kembali ke rumah dengan tekad baru. Ia mendekati orang tuanya yang sedang duduk di ruang tamu, bersiap untuk membicarakan masalah ini dengan kepala dingin.

"Ayah, Ibu, aku sudah memikirkan semuanya. Meskipun aku masih merasa keberatan, aku akan mencoba untuk bertemu dengan Arya. Tapi aku ingin kalian tahu bahwa aku melakukan ini bukan karena aku setuju dengan keputusan kalian, tetapi karena aku menghargai usaha kalian untuk kebahagiaanku," kata Naira dengan suara tegas.

Pak Arif dan Bu Siti saling berpandangan, merasa lega bahwa Naira bersedia memberi kesempatan ini.

"Terima kasih, Naira. Kami tahu ini tidak mudah bagimu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," kata Pak Arif dengan nada penuh harapan.

"Aku akan mencobanya, ayah." Kata Naira.

"Syukurlah kalau kamu setuju. Ayah akan hubungi teman ayah segera untuk mengabarkan berita ini." Kata pak Arif dengan bahagia.

"Ibu juga senang dengan keputusanmu ini, Naira." Kata Bu Siti yang tak kalah bahagia dari suaminya.

Setelah itu, Naira pamit ke dalam kamarnya, meninggalkan kedua orang tuanya.

Setelah kepergian Naira, pak Arif dan Bu Siti kini bicara.

"Syukurlah ayah, Naura setuju dengan perjodohan ini, cepat ayah hubungi teman ayah itu." Kata Bu Siti tak sabar lagi.

"Iya Bu, ini akan hubungi mereka." Sahut pak Arif.

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Isna Auliya Riyadi

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku