Lioni terpaksa open Bo demi biaya rumah sakit suaminya. Dia memposting sebuah foto dirinya yang tidak menggunakan pakaian di sebuah situs malam. Namun, di dalam foto itu hanya menyampilkan tubuh Lioni dari bahu sampai kaki, sedangkan wajahnya tidak kelihatan. Tidak disangka, orang yang membooking Lioni ternyata majikannya sendiri. Mau tidak mau malam itu Lioni terpaksa melayani majikannya. Setelah berkorban sejauh itu, ternyata suami Lioni tidak mencintainya dengan tulus, malahan berkhianat dengan menjalin kasih dengan wanita lain. Lioni hancur dan prustasi, hingga hubungan terlarang dengan majikan kembali dia lanjutkan.
Beberapa jam lalu, wanita yang bernama Lioni Fransiska memposting unggahan yang menyatakan dirinya open B0 semalaman full. Dia memakai akhiran nama lengkapnya untuk menutupi identitas asli. Selang beberapa menit saja setelah unggahan yang disertakan dengan foto lekukan tubuh tanpa sehelai benang pun yang melekat di sana, banyak nomor baru yang menghubungi Lioni untuk menawar jasa servisnya. Namun, ada sebuah nomor yang sangat mencolok. Dia menawar Lioni dengan harga tinggi, bahkan di atas harga yang dipromosikan Lioni untuk jasanya.
Jelas pemilik nomor itu yang diterima Lioni untuk dia layani malam ini.
Dalam unggahannya di situs lapak B0, Lioni menyertakan potret tubuh indahnya yang memang sangat mulus dengan lekukan sempurna. Namun, potret itu hanya menampilkan tubuh Lioni mulai dari bahu sampai ujung kaki. Lioni tidak menampakkan wajahnya di sana. Walau hanya potret tanpa wajah, banyak pria hidung belang yang tergiur melihat lekukan tubuh Lioni pada unggahan tersebut.
Semua bookingan yang masuk telah Lioni tolak, kecuali nomor yang sudah dia terima tawarannya. Lioni menjanjikan pada beberapa nomor untuk bersabar dilayani pada hari berikutnya. Karena malam ini Lioni sudah deal sama pelanggan yang dia terima bookingannya.
Di salah satu hotel bintang lima yang telah ditentukan oleh orang yang akan dilayaninya malam ini, Lioni menunggu dengan perasaan kacau. Rasa bersalah pada suaminya karena telah berkhianat terus menghantui Lioni.
Jantung Lioni semakin berdegup kencang saat ponselnya berdering. Apalagi, di layar benda pipih miliknya itu mencuat nomor tanpa nama, tetapi Lioni sangat mengenali nomor siapa yang meneleponnya. Karena sedari tadi nomor itu telah beberapa kali menghubungi Lioni untuk memastikan kerjasama mereka.
Ya, itu adalah telepon dari pelanggan pertamanya. Pelanggan yang mem-booking dia dengan harga fantastis, bahkan berkali-kali lipat besarnya dari harga yang ditawarkan Lioni pada status lapak B0 yang dia posting beberapa jam lalu.
"Halo," ujar Lioni menyapa singkat kala panggilan telepon itu tersambung padanya.
"Sepuluh menit lagi saya sampai di sana. Pastikan Anda sudah siap dan telah meminum obat kontrasepsi. Saya tidak mau menanggung resiko. Ingat, ponsel Anda juga harus dalam keadaan mati," balasnya yang terdengar dari speaker ponsel Lioni.
"Baik, Tuan. Saya mengerti," jawab Lioni menguatkan hatinya.
Panggilan itu diakhiri sepihak oleh orang yang menelepon Lioni. Tidak terasa bulir bening jatuh begitu saja melewati pipi mulus wanita cantik berparas ayu itu. Kakinya langsung terasa lunglai membayangkan harga dirinya sebentar lagi akan dia jatuhkan sendiri.
Lioni menyandarkan tubuhnya pada dinding kamar hotel, tubuhnya gemetar dalam balutan lingerie merah marun yang kontras dengan warna kulitnya. Air mata semakin mengucur deras melewati pipi mulus perempuan itu.
Ada rasa ragu dalam dirinya, tetapi tuntutan untuk tetap bertahan menunggu pelanggannya sesuai kesepakatan jauh lebih besar. Lioni sangat mengharapkan dapat bayaran dari pria itu, agar dia bisa membayar tagihan rumah sakit.
"Maafkan aku, Frans," lirih Lioni sambil mengayunkan kakinya gontai menuju ranjang.
Perempuan cantik berkulit putih dengan rambut pirang alami itu menghenyakkan bokongnya, duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong yang penuh keputus asaan. Suara-suara ragu bergema di kepalanya, menciptakan badai emosi yang tak terbendung.
"Tidak ada jalan lain, aku harus melakukannya demi suamiku," gumam Lioni pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan ini adalah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan uang.
Pikiran Lioni dipenuhi rasa cemas yang tak berujung, kegelisahan yang semakin terasa mencekik napasnya. Bahkan Lioni terkadang meragukan keputusannya yang telah dia ambil. Lioni merasa kalau saat ini dia bukanlah dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa melakukan hal nekat seperti ini? Bagaimana bisa dia menyerahkan harga dirinya demi uang? Akan tetapi, semua ini terpaksa dia lakukan demi menyelamatkan suaminya yang kini terbaring tak berdaya dalam keadaan koma.
Lioni mengepalkan tangannya, merasakan getaran yang tak terkendali. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan pertarungan batin yang tak kunjung usai. Dia tahu keputusan ini adalah kesalahan besar, tetapi di saat yang sama, takdir telah memaksanya untuk memilih di antara dua keburukan. Jika dia tidak mengambil keputusan ini, maka dia tidak akan dapat uang dalam waktu cepat, dan sudah pasti suaminya yang tengah koma di rumah sakit akan dicabut alat medisnya oleh Dokter.
Dalam keheningan yang menyiksanya, Lioni merenungkan pilihan-pilihan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Rasa cemas yang menghantui, keputus asaan yang melilit, dan keberanian palsu yang dia coba tanamkan dalam dirinya. Semua bercampur aduk, menciptakan gemuruh yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
"Semoga apa yang aku lakukan sekarang tidak akan menjadi masalah besar dalam rumah tanggaku dengan Frans nantinya," lirih Lioni penuh harap.
Walau hati Lioni sangat yakin apa yang dia lakukan hari ini akan diketahui suaminya suatu saat nanti, tetapi Lioni masih berusaha mengelak dan berharap itu tidak akan terjadi. Sebenarnya, mau bagaimanapun Lioni menyembunyikan tentang apa yang akan dia lakukan malam ini, sudah pasti Frans akan tahu pada akhirnya nanti.
Waktu terus bergulir begitu cepat. Rasanya belum lama panggilan telepon diakhiri pelanggan pertamanya, kini derit pintu terdengar nyata memecah lamunan. Bunyi itu membuat Lioni reflek menoleh ke arah sumber suara. Dari balik pintu muncul sosok yang tidak asing bagi Lioni. Seketika keringat dingin langsung keluar dari pori-porinya.
"Tu–Tuan?"
Lioni menatap Marchel dengan mata terbelalak, mencoba memahami kehadiran tiba-tiba pria itu di depan pintu kamar. Suara langkah kaki Marchel yang berhenti tiba-tiba menggema di ruangan kamar menciptakan suasana tegang yang terasa begitu nyata.
"Kamu?!" ujar Marchel tidak kalah kagetnya.
Lioni masih terdiam, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan kehadirannya di sana. Hati Lioni berdegup kencang, takut akan konsekuensi dari pertemuan tak terduga ini. Andai dia tahu kalau Maschel lah orang yang memesan jasanya, mana mungkin Lioni akan menerima tawaran pria itu.
"Tuan ... sa–saya." Lioni tergagap, kosa kata dalam kepalanya langsung hilang begitu saja.
Apalagi ketika Marchel kembali mengayunkan kakinya yang sempat terhenti, dia kembali melangkah masuk dan menutup rapat pintu kamar hotel yang telah dia pesan untuk bermalam dengan seorang wanita. Ya, wanita yang dia booking lewat situs malam, dan ternyata wanita itu adalah Lioni.
Lioni yang memakai lingerie alias baju kurang bahan di tubuhnya merasakan malu tidak terhingga pada majikannya itu. Apalagi selama ini Lioni bekerja di kediaman Marchel selalu memakai pakaian panjang dan sopan. Sekarang baju yang dia kenakan tidak ubahnya dari saringan minyak. Pakaian itu tetap melekat di tubuh Lioni, tetapi lekuk tubuh perempuan itu terekspos dengan sangat jelas. Bahkan gundukan kembar yang menjulang dan menantang bisa dilihat dengan jelas oleh Marchel.
Tahu tatapan Marshel ke mana, Lioni langsung menyilangkan kedua tangannya di dada. Bak makan buah simalakama, Lioni menutup bagian atas, sedangkan bagian bawahnya yang merupakan titik inti wanita dapat dipandang oleh Marchel dengan leluasa.
"Saya akan ganti pakaian dan segera pergi dari sini, Tuan. Maafkan saya. Untuk kesepakatan kita, anggap saja tidak pernah terjadi," ujar Lioni dengan wajah memerah, antara malu dan takut.
Marshel tidak langsung menjawab apa yang dikatakan Lioni padanya. Pria dewasa itu menatap tajam pada perempuan yang telah dia booking beberapa jam lalu. Tatapan itu begitu menakutkan bagi Lioni. Keringat dingin langsung bercucuran keluar dari pori-pori kulit Lioni.
"Saya telah mem-booking kamu. Saya juga telah membayar DP." Setelah sekian lama diam dengan tatapan tajamnya, baru lah Marshel angkat bicara. Itu pun tidak sesuai dengan harapan Lioni.
Lioni terdiam mendengar kata-kata yang diucapkan majikannya. Kata-kata yang penuh penekanan. Dia mencoba menahan gemetar dari rasa takut dan malu yang menghantui dirinya.
Lioni menunduk, dia tidak lagi berani mengangkat wajahnya. "Saya akan mengembalikan uang yang telah Tuan transfer kepada saya," jawab Lioni.
"Berani?" Satu kata untuk sebuah pertanyaan dari Marchel, tetapi mampu membungkam Lioni. Wanita itu tidak lagi mampu mengeluarkan suaranya untuk menjawab pertanyaan itu.
Marchel melangkah menuju ranjang, duduk berjuntai sambil melepas sepatunya. Sepatu itu dibuang ke sembarang arah, lalu menyingsing lengan kemejanya sampai batas siku. Dari sudut matanya, Marchel bisa menangkap kegugupan yang dirasakan oleh Lioni. Terbukti wanita itu salah tingkah dan berdiri kaku di tempatnya.
"Kemarilah! Layani saya seperti kesepakatan kita," ujar Marchel menatap penuh arti pada beberapa titik bagian di tubuh Lioni.