Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Purwoko Family: Selipan Utara

Purwoko Family: Selipan Utara

Nur Dharris

5.0
Komentar
1
Penayangan
5
Bab

Karya ini berkisah tentang pak Purwoko dan keluarganya yang harus pulang kampung karena bangkrut. Dengan harapan bisa memulai hidup baru yang damai. Ternyata penyebab dia bangkrut ada di di kampung yang sama. Keluarga ini malah terseret perebutan penggilingan padi atau selipan antar orang tua pam Purwoko dengan bapak orang yang membuatnya bangkrut. Teror langsung terasa begitu sampai di kampung. Bisakah pak Purwoko membawa keluarganya keluar dari semua masalah ini? Ikuti kisahnya!

Bab 1 Pulang kampung

Seorang anak laki-laki, berusia sekitar dua belas tahun menggeliat dan menguap di jok belakang sebuah mobil. Dia mengerjab-ngerjabkan matanya, merasa asing dengan jalanan yang mereka lewati. Pulas sekali tidurnya, sampai tak sadar kalau mobil yang membawanya telah keluar dari perkotaan.

"Mas. Kamu nggak papa, sayang?"

Seorang wanita menegur dari jok depan. Raut wajahnya keibuan, seirama dengan usianya yang menginjak kepala tiga.

"Nggak papa, bu" jawab Yudi.

"Halah boong" tukas seorang perempuan di sebelahnya.

"Mas Yudi sih dari awal sedih bu, pisah sama Hartati" lanjutnya.

"Aduh"

Dia mengeluh, mendapatkan cubitan di pahanya.

"Kenapa nyubit sih, mas?" Protesnya. Suara cemprengnya membahana khas anak umur sepuluh tahunan.

"Yudi!"

Seorang laki-laki, yang sedang menyetir mobil itu, menegur Yudi. Sontak Yudi bersedekap dan membuang muka dari perempuan di sebelahnya.

"Cie cie. Tu kan, yah. Alesan doang, takut sama kakung. Aslinya sih, takut kehilangan, "

"Aduuh ... "

"Yudi!"

Untuk kedua kalinya Yudi mendapat teguran karena pekikan si anak perempuan itu.

"Sama adeknya kok nyubitin?" Tanya laki-laki yang tadi dipanggil ayah.

"Tengil sih" jawab Yudi.

Jawaban Yudi rupanya sanggup memancing rasa geli bagi kedua orang dewasa di jok depan. Mereka tertawa. Bagi mereka jawaban itu lugas dan lucu.

"Emang si Hartati itu cantik ya, dek?" Tanya si Laki-laki.

"Slepet nih!" Ancam Yudi.

"Hempf. Ha ha ha"

Anak perempuan itu tergelak dan tak jadi menjawab karena ancaman Yudi. Ancaman itu malah terasa lucu sekali baginya.

"Di sana juga banyak yang cantik" kata si laki-laki.

"Masa? Beneran, yah?" Tanya anak perempuan itu.

Ekspresinya yang serius cenderung takut membuat si laki-laki dan perempuan di depan saling memandang, bingung.

"Lah. Emangnya ibu masih kalah cantik, sama si Hartati itu?"

"Hempf"

Si anak perempuan itu tergelak sembari melihat ke arah Yudi. Di saat yang sama Yudi juga menatapnya sambil menahan tawa.

"Ha ha ha ha"

Si anak perempuan itu tertawa sangat lepas, membuat kedua orang dewasa di depannya kebingungan. Tak ada jawaban yang keluar saat dia ditanya maksudnya apa. Dia terus tertawa saking gelinya.

Yudipun malah melempar ke anak perempuan di sebelahnya, saat dia giliran ditanya. Membuat anak perempuan itu tak berhenti tertawa.

Walaupun bingung, namun kedua orang dewasa di depan itu tampak tersenyum lega. Seolah kekhawatiran yang sedari tadi menggelayuti hati, sirna oleh tawa si anak perempuan.

Memasuki jalanan kampung yang lebih sempit, tawa anak perempuan itu berhenti. Dia merasa tertarik dengan deretan rumah-rumah yang masih menggunakan arsitektur jaman dulu. Ada yang sudah permanen, namun ada juga yang belum permanen. Namun terlihat kokoh.

Beberapa anak sebayaannya menggentikan langkah jalannya dan menatap ke arahnya. Seolah-olah mobil yang membawanya ini adalah kendaraan mewah. Beberapa warga juga tampak berjalan beriringan pulang dari sawah.

Kedua orang dewasa di depan menyapa para penduduk yang berpapasan dengan mereka. Hingga pada akhirnya mereka berbelok ke halaman sebuah rumah. Di depan rumah, sudah menunggu, beberapa orang. Mereka beranjak mendekat begitu melihat ada mobil yang memasuki halaman.

"Purwoko"

Seorang laki-laki paruh baya berseru senang, menyambut kedatangan keluarga itu. Dia berhenti satu meter di depan mobil itu, menanti seisi mobil keluar.

"Mas Purboyo" seru laki-laki yang menyetir itu. Dia keluar dari mobil dengan wajah tersenyum.

"Apa kabar, Pur?" Tanya Purboyo sambil menyalami Purwoko. Wanita di sebelahnya ikut keluar.

"Duo Pur ketemu lagi" celetuk seorang wanita.

Wanita yang baru keluar mobil itu tersenyum pada wanita yang menghampirinya.

"Alhamdulillah, sehat mas Purbo" kata Purwoko, menjawab pertanyaan Purboyo.

"Dan kayaknya akan terus bersama, mbak" kata wanita yang baru keluar dari Mobil.

"AMIRAAA"

Seorang anak perempuan, seumuran anak oerempuan tadi, memanggil dengan cukup kencang dari teras rumah. Dia berlari menghampiri mobil itu.

"Mbak Ristaaaa"

Anak perempuan yang disebelah Yudi tadi juga berseru memanggil nama anak perempuan yang menghampirnya. Keduanya berpelukan.

"Apa kabar, Ifa?" Tanya wanita tadi.

"Ya, beginilah mbak Wati" jawab wanita yang dipanggil Ifa.

"Aku nggak dipeluk?" Protes Yudi.

"Bodo" jawab Amira dan Rista kompak.

"Ha?"

"Ha ha ha ha"

Mereka berdua tertawa menyaksikan ekspresi tak percaya Yudi pada kekompakan mereka. Para orang tua menatap mereka dan ikut tertawa sejenak. Terlebih disaat Yudi pura-pura merajuk dan kembali masuk ke dalam mobil.

Mereka tertawa lagi disaat pada akhirnya ketiganya bercanda bersama, walau Yudi masih pura-pura merajuk.

"Semua ada hikmahnya, Fa. Nggak mungkin Gusti Alloh nimpain musibah tanpa ada maksud dan jalan keluar" hibur wanita yang dipanggil Wati. Ifa menoleh. Dia menghela nafas berat.

"Ya. Mungkin Alloh pengen mas Pur baikan lagi sama bapak"

"Itu lebih mahal dari apapun, Fa" komentar Wati.

"Mas Purbo sampai rela selipan beras dimiliki Purwoko, asal Purwoko mau baikan sama bapak" lanjut Wati.

"Laki-laki, mana ada yang mau ngalah. Yudi aja nggak pernah mau dikalahin temennya. Padahal cuman rebutan pengakuan, siapa yang paling dilirik primadona sekolah. Apalagi biangnya"

"Hempf. Yudi udah ngerti cewek? Bahaya tuh, kaya bapaknya. Ha ha ha ha"

Keduanya tertawa. Saling bertanya kabarpun berlanjut. Kali ini antar ipar. Sempat Ifa terharu, mendapat sambutan hangat dari kakak iparnya. Merekapun melanjutkan langkah ke teras rumah. Sudah ada sepasang orang tua yang menanti kedatangan mereka.

Pak Purwoko melangkah dengan gestur takut-takut. Seperti menghadapi seorang raja, pak Purwoko berjalan sambil menunduk. Dia menegakkan kepalanya setelah disenggol Wati.

Terlihat bapaknya tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. Di belakang para orang dewasa, Yudi dan Rista saling senggol. Mereka berbicara dengan bahasa isyarat. Rista bertanya ada apa, Yudi mengangkat kedua bahunya, tanda tidak tahu.

"Bapak marah bukan karena benci" kata orang tua yang dihadapi pak Purwoko.

"Bapak marah itu karena takut. Takut kalau anak bapak dikadalin. Karena buah jatuh, itu nggak pernah jauh dari pohonnya" lanjut orang tua itu.

Pak Purwoko belun bergeming. Dia masih merasa takut, seperti sedang menjalani persidangan. Ada rasa malu juga yang menyeruak di sanubarinya.

"Kalau anak-anak bapak sukses, bapak cuman ikut senang. Bapak nggak berharap apapun dari kalian. Tapi kalau ada yang gagal, ya pulang aja. Aku tetep bapakmu, dan rumah ini tetep rumahmu"

"Bapaak"

Pak Purwoko mendekat sambil merendahkan tubuhnya. Dia hendak sujud di kaki orang tua itu, namun dicegah. Akhirnya dia hanya memeluk kaki orang tua itu. Dia tumpahkan segala rasa bersalah dan malunya dalam tangisnya.

"Udah, udah! Nggak baik dilihat Yudi, Amira" tegur orang tua itu.

Pak Purwoko beralih sungkem pada wanita sepuh di sebelah orang tua tadi. Tak ada kata yang terucap, hanya tangis yang kembali melanda. Butuh beberapa lama sampai tangis pak Purwoko mereda.

"Wah, mbah Har. Itu tadi Purwoko, ya?"

Seseorang berseru dari pinggir jalan. Semua perhatian tertuju padanya.

"Iya, pak RT. Anak ragilku ini, pulang" jawab orang tua yang dipanggil mbah Har itu.

"Ya syukurlah" komentar pak RT. Dia berjalan mendekat.

"Emang udah waktunya kamu pulang, Pur. Kasihan mbah Hari sama mbah Tin. Udah sepuh masih ngurusin sawah segitu luasnya" lanjut pak RT. Dia menyalami Ifa, dan yang lain. Termasuk pak Purwoko sendiri.

"Iya mas Pri. Mungkin emang Gusti Alloh nyuruh aku pulang" jawab pak Purwoko sambil menyalami pak RT.

"Ya sudah. Saya langsung pamit, mbah Har. Cuman lewat aja ini tadi" pamit pak RT.

"Ngopi dulu, Pri! Ayo tak bikinin!" Tawar mbah Tin.

"Makasih, mbah Tin. Saya mau beli suket gajah dulu. Sapi-sapiku sudah demo ini tadi"

"Oh. Beneran nggak ngopi dulu?" Tanya pak Purboyo.

"Lain waktu aja, gan" tolak pak RT lagi.

Pak RTpun pamit undur diri. Dan keluarga besar ini masuk ke dalam rumah. Rumah limasan yang masih kokoh meski masih full kayu dan papan. Tak tampak ada yang lapuk sekalipun sudah berdiri sejak pak Purwoko belum lahir.

"Nah. Yudi sama Amira, pake bekas kamarnya bude aja, ya? Udah dikasih ranjang satu lagi sama simbah" kata mbah Har, saat membagi kamar.

"Ada popoknya mbak Rista dong, kung?" Tanya Yudi sambil tersenyum.

"Eh, pesek. Aku udah lama yo, nggak pake popok lagi" seru Amira.

"Aduh iya iya iya iya" Yudi memekik terkena cubitan di pinggangnya.

"Ta!" Tegur pak Purboyo.

"Sembarangan banget" sungut Amira.

"Ha ha ha ha"

Walau dicubit, Yudi malah tertawa melihat sepupunya merajuk.

Yudi dan Amira masuk diiringi Rista. Walau merajuk tapi dia tetap membantu keduanya membawakan koper.

"Barangmu cuman segini, Yud? Ps mu?" Tanya Rista.

"Di titipin di rumah eyang" sahut Amira. Rista menoleh ke arah Amira.

"Kalau bisa bawa sih, Hartati juga dibawa sama mas Yudi"

"Selepet beneran, nih" ancam Yudi.

"Hempf. Ha ha ha" Amira tertawa menghindar.

"Mana boleh dibawa, Mira? Kamu kata anak kucing, main bawa aja?" Seru Rista.

"Hempf. Ha ha ha ha ha"

Amira malah semakin kencang tertawanya. Terlebih disaat sang kakak meliriknya sembari membuka lemari.

Di kamar sebelah, bu Ifa tampak melamun di saat memasukkan pakaian ke dalam lemari. Dia masih tidak menyangka, akan kembali ke rumah ini dalam keadaan tak punya apa-apa.

"Bu" tegur pak Purwoko. Bu Ifa menoleh.

"Maafin ayah ya, bu! Ayah akan berusaha merebut semua yang udah dia rampas dari kita" lanjut pak Purwoko, sambil menggamit jemari bu Ifa.

"Udahlah, yah! Yang penting kita udah sama-sama sadar dan sama-sama tahu. Sakit emang, tapi ibu nggak pengen kehilangan ayah. Nggak usah nerjang bahaya, ya! Kita mulai lagi aja dari awal" jawab bu Ifa.

"Maafin ayah ya, bu!"

"Iya, yah" jawab bu Ifa sambil tersenyum.

Pak Purwoko merengkuh bu Ifa ke dalam pelukannya. Keduanya berpelukan saling menguatkan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku