Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
JERAT PESONA PRIA 21 CM

JERAT PESONA PRIA 21 CM

Samiya Tilana

5.0
Komentar
7.2K
Penayangan
77
Bab

Aku sama sekali tak menolak ketika Bapak menjodohkan ku dengan Mas Evans, seorang pemuda tetangga sebelah rumahku yang sudah lama bekerja dan tinggal dijakarta. Terlebih Mas Evan memiliki paras tampan diatas rata rata pemuda pemuda didesaku. Namun siapa sangka, cinta pada pandangan pertamaku, berujung malapetaka. Rahasia rahasia kelam Mas Evan seputar pekerjaannya sebagai pria pemuas dan juga lelaki simpanan terkuak seiring waktu setelah kami menikah. pertengkaran selalu mewarnai hari hariku. Duniaku seolah runtuh. Aku menyesal pernah menikah dengan lelaki bajingan seperti mas Evans! Lebih mengenaskan lagi, aku dijualnya ke seorang Mucikari lalu dipaksa menjadi wanita panggilan, hanya untuk membayar lunas hutang hutang suamiku pada seorang lintah darat. Mampukah aku keluar dari jerat neraka dunia yang menyiksaku berlarut larut?

Bab 1 Chapter 1.

"aaaah! Ahakk! Maaass, aaah!" Aku mengerang panjang saat senjata kelelakian mas Evan yang berukuran amat besar itu menerobos rongga rahimku yang masih dilapisi selaput tipis keperawanan.

"Saakiit Maas, aaah, aaaakhh!"

Rasanya begitu perih dan panas. Rahimku seketika terasa penuh sesak saat senjata Mas Evans Yusna Nugraha yang malam ini baru saja sah menjadi suamiku, menggumuliku dimalam pengantin kami.

Mas Evans sejenak menghentikan gerakan bokongnya, mata tajam dengan alis tebal itu menatap mataku lekat lekat. Sungguh dia adalah lelaki tertampan yang pernah aku kenal selama ini. Hidungnya mancung, dagunya sedikit belah dengan rahang tegas dihiasi sedikit brewok dan jambang tipis.

Rasanya aku adalah wanita paling beruntung yang berhasil memiliki lelaki tampan dengan tubuh atletisnya ini.

Mas Evans memagut bibirku lembut, lalu mengulumnya dengan hangat dan panjang. Seketika tubuhku merasakan getaran kenikmatan yang menjalari seluruh aliran darahku.

Mas Evans kembali menggoyang bokongnya pelan, senjata kelelakian miliknya yang besar dan sedikit bengkok itu menari nari dalam rongga rahimku. Rasa perih dan nyeri yang sejak tadi berdenyut disana hilang sudah! Berganti dengan rasa nikmat yang tiada Tara dan sulit dilukiskan dengan kata kata.

"Aaah, eeehmm, aaah, aaah mass, aaah" aku tak sanggup lagi untuk tidak mendesah. Gelenyar kenikmatan itu sudah sampai didalam otakku.

Mas Evans mempercepat genjotannya. Dahi dan tubuhnya sudah dialiri peluh yang menetes netes hingga mengenai wajahku. Otot otot tubuhnya yang indah terpahat, berkilat ditimpa cahaya lampu yang sengaja dibuat temaram dimalam pertama kami. Hal itu membuat gairahku seketika mencuat, lelaki ini berhasil melambungkan birahiku dengan permainannya yang begitu memabukkan.

Mas Evans menggagahiku dengan berbagai gaya hingga tak terasa hampir satu jam kami bercinta. Tenagaku sudah hampir habis akibat digempur senjatanya yang mematikan itu, membuatku hampir saja terkulai pingsan saking enaknya.

Hingga dimenit ke lima puluh lima, tubuh mas Evan menegang. Dia mempercepat gerakan penetrasinya dalam lorong gua darbaku.

"Aaaakh! Aaah!" Mas Evans mengerang tertahan dengan tubuh menegang. Sesuatu rupanya memancar dari dalam batang senjatanya lalu muncrat memenuhi lorong ovariumku yang sejak tadi sudah bechek tak ada ojek.

Lelaki itu terkulai lemas disisiku. Keringatnya membasahi tubuh dan juga sprei putih bertabur kelopak bunga mawar diranjang pengantin kami. Nafas kami berdua tersengal sengal.

Aku merebahkan kepalaku didadanya yang bidang sambil terus menatap wajahnya yang tampan dan gagah.

Tangan kekarnya bergerak mengelus rambutku yang hitam bergelombang sebahu.

"Terima kasih mas.." Bisikku sambil memeluk erat lengannya. Dia tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih dan rapih. Tak berapa lama lelaki itu terlelap.

***

Aku dan mas Evans menikah karena dijodohkan. Kami menikah dengan proses ta'aruf.

Entah bagaimana ceritanya, Pak Mansyur, Ayah dari mas Evans mengungkapkan keinginannya kepada Bapak, untuk mempersunting ku, buat puteranya yang selama ini tinggal dan bekerja di ibu kota.

Setelah Bapak bertemu dengan calon menantunya, beliau langsung setuju. Bapak dan pak Mansyur pun mengatur pertemuan perihal perjodohanku dengan lelaki dari kota itu.

Untuk pertama kalinya, saat aku dan mas Evans saling bertatap muka, hatiku seketika berdesir indah. Mas Evan yang tampan dan gagah itu berhasil mencuri hatiku sejak pandangan pertama.

Aku langsung menyetujui, saat Pak Mansyur mengutarakan keinginannya melamar ku untuk puteranya.

Namaku adalah Rizkia Nuril Wahida atau biasa dipanggil dengan Nurul. Pekerjaanku sehari hari adalah sebagai tenaga honorer disalah satu se-kolah menengah swasta didesaku.

Wajah cantik, berhijab dan juga sebagai tenaga pendidik- meskipun honorer, membuatku dikenal oleh banyak orang terutama ibu ibu yang menye-kolahkan putra putri mereka diSeko-lah tempatku mengajar.

Mereka memanggilku dengan sebutan 'Bu Nurul' meski usiaku masih terbilang muda, yakni 21 tahun.

Sedangkan suamiku, Evans Yusna Nugraha telah lama bekerja dan tinggal di ibukota Jakarta setelah lulus kuliah. Umurnya 31 tahun kini, perbedaan usia yang cukup jauh inilah yang membuatku menaruh harapan besar kepada mas Evans.

Aku tak tahu pekerjaannya. Namun yang kudengar, mas Evans sudah hidup mapan bahkan memiliki rumah sendiri dikota besar sana.

Iming iming hidup mapan itu pulalah yang membuatku langsung setuju dengan pernikahan kami.

Siapa yang tak akan tergoda, memiliki suami rupawan, mapan, perhatian dan juga mampu memuaskan gairah segsual pasangan diatas ranjang?

Seperti biasa, pagi hari sekitar pukul setengah lima, sudah menjadi rutinitas ku bangun untuk menjalankan kewajiban Fardu subuh. Namun karena semalam aku dan suamiku sudah menjalankan Sunnah rosul, maka pagi ini aku harus keramas, mensucikan diri dari hadast besar sebelum menunaikan kewajiban fardu subuhku.

Kulihat mas Evans masih tertidur pulas dengan sedikit mendengkur halus. Wajah tampan nya terlihat damai. Aku sedikit tak tega membangunkannya untuk melaksanakan mandi besar bersamaku. Ah, nanti sajalah. Siapa tahu mas Evans akan segera bangun dengan sendirinya, lalu menyusulku ke kamar mandi.

Selesai keramas dan melaksanakan kewajiban, kulipat mukena diatas sajadah, kemudian menyimpannya diatas nakas.

Kulihat suamiku masih belum juga bangun. Ah, mungkin dia kelelahan karena semalam kami semalam suntuk berperang hingga sama sama jatuh dan kehabisan tenaga.

Aku berjalan menuju dapur. Rupanya ibu mertuaku sedang sibuk didapur.

"Masak apa Bu?" Sapaku pada wanita paruh baya yang tampak sibuk berkutat didepan kompor. Serta Merta, ibu mertuaku menyungging tersenyum menyambutku.

"Ealah, pengantin baru kok subuh subuh sudah repot repot masuk ke dapur? Sudah sana, nak Nurul didalam saja. Pengantin baru jangan dulu bau bawang dan bumbu dapur!" Sahut Bu Ningsih, ibu mertuaku sembari menyuruhku masuk kembali kekamar.

"Enggak apa apa Bu. Lagipula Nurul sudah terbiasa dengan pekerjaan dapur kok. Itung itung menyenangkan suami adalah ladang pahala bagi istri," ucapku, yang tanpa dikomando mulai menyibukkan diri merajang bawang dan mengiris iris tomat, cabai dan juga kacang panjang.

Aku tak henti mengucap syukur. Selain memiliki suami yang tampan, dan mapan, kedua mertuaku juga luar biasa baik dan pengertian.

Pukul tujuh pagi, aku dan ibu mertuaku sudah selesai memasak menu sarapan untuk kami sekerluarga. Ada goreng tempe, balado telur, tumis kacang panjang dan juga sambal goreng bawang.

Pak Mansyur, Tiwi-adik mas Evans yang baru duduk di kelas tiga es-em-A, duduk mengelilingi meja.

"Coba Nurul, kamu bangunkan dulu suamimu itu. Ajak dia sarapan bersama sama kita," titah ibu mertuaku. Aku pun mengangguk lalu bergegas menuju kamarku dan mas Evans. Sempat kulihat sekilas senyum misterius dibibir Tiwi. Seperti senyuman mengejek. Namun aku tak ambil pusing.

"Mas... Mas Evans. Bangun mas. Sudah siang..."gumamku pelan sembari menggoyang bahu kekar suamiku. Dia menggeliat sebentar lalu mendengus kasar. Mas Evans masih memejamkan matanya.

"Maass, sudah siang. Sudah waktunya mandi dan sarapan. Bapak dan ibu sudah menunggu, lho..." Ujarku dengan intonasi suara selembut mungkin sambil mengguncang perlahan tubuhnya.

"Arghhh berisik! Gue masih ngantuk! Lo Ganggu banget tau enggak! Ntar juga gua bangun!" Gerutunya sembari menjambak kasar rambutnya, lalu membenamkan wajahnya ke bantal.

Deg!

Aku mengelus dada seraya mengucap istighfar dalam hati. Namun aku masih berpositif thinking dengan kelakuan imamku yang bahkan baru aku kenal dalam hitungan hari.

Tak mau memancing keributan, aku kembali keluar dari dalam kamar pengantin kami, lalu bergabung untuk sarapan bersama keluarga suamiku.

"Bagaimana? Evans sudah bangun?" Tanya pak Mansyur dengan wajah berkerut, aku menggeleng lemah.

"Mas Evans kecapekan, dia sedang enggak enak badan" Kilahku, agar bapak atau ibu mertuaku tak lagi banyak bertanya. Sementara Tiwi yang sedang asik sarapan hanya tertawa kecil. Aku sedikit heran dengan sikap gadis itu, namun aku tak begitu memedulikannya.

Kami menikmati sarapan berempat. Aku makan dengan pikiran kacau dan bertanya tanya dalam hati, apakah ini sifat asli suamiku yang usianya jauh lebih dewasa diatas ku??

(Bersambung)

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Samiya Tilana

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku