Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Harakat Cinta
5.0
Komentar
162
Penayangan
21
Bab

Pertemuan Jingga dan Langit di jalan raya merupakan titik awal mereka bertemu dengan takdirnya. Jingga merupakan gadis baik yang sering dimarahi ibunya. Langit adalah pemuda baik dan merupakan anak orang jaya akhirnya menjadi jodoh Jingga. Keduanya melewati ujian yang rumit.

Bab 1 Awal Jumpa

"Ibu, apa Ibu tidak bosan berbuat kasar terhadapku?" ucap perempuan cantik bernama Jingga.

Pagi hari dengan udara yang masih dingin terdengar suara tamparan yang sangat keras

"Aku tidak akan pernah merasa bosan selama Kamu tidak menuruti semua kemauanku. Aku juga tidak bosan menamparmu karena selalu saja minta apa pun dariku," ucap seorang wanita yang dipanggil Ibu oleh Jingga.

"Aku ini anak Ibu apa bukan sih, Bu?" teriak Jingga dengan nada yang penuh dengan kekesalan.

Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut ibunya. Ibu Jingga hanya terdiam dan berlalu meninggalkan rumah. Sebelum keluar dia berkata, "Jangan pergi sebelum cucian di ember bersih dan mengering serta tumpukan baju yang akan disetrika menjadi rapi."

"Apa tidak ada hal lain selain mengurusi baju-baju ini? Sangat melelahkan Bu. Aku ada kelas jam 11 nanti untuk kuliah. Aku juga harus kerja cari uang," ucap Jingga yang tanpa dia sadari ibunya telah berdiri lagi dihadapananya.

'Plak.' Suara tamparan di pipi terdengar sangat keras dan bisa dipastikan itu rasanya sakit sekali.

Jingga menangis dengan berusaha menghentikan isakannya. Air matanya keluar membasahi pipinya yang mulus tanpa jerawat. Jingga kali ini hanya diam dan tidak lagi membantah ibunya. Lelah yang dia rasakan karena selalu berdebat dengan ibunya. Pada akhirnya, kekerasan yang dia terima. Tangannya sangat cekatan membawa baju-baju kotor ke ember dan akan mencucinya hingga bersih.

Setelah menampar pipi Jingga, ibunya langsung pergi keluar yang entah kemana tujuannya. Jingga tidak pernah mengetahui kemana saqt ibunya keluar rumah.

Sejak Jingga kecil perlakuan seperti itu sudah menjadi hal biasa. Perlakuan kasar dari ibunya menyiratkan tanda seperti bukan anak kandung. Wajar saja jika Jingga muncul pikiran tentang hal tersebut. Pernah suatu hari kala Jingga masih duduk di bangku sekolah dasar, ibunya memarahinya dihadapan teman-temannya dan para wali murid. Persoalannya sebenarnya tidak terlalu rumit. Waktu itu, Jingga menumpahkan minuman yang baru saja dibelikan ibunya. Minuman tersebut membasahi pakaian ibunya. Ibunya marah dan tidak mengenal situasi serta kondisi. Jingga menjadi malu. Kepalanya menunduk dan wajahnya ditutupi dengan tangannya. Jingga tidak berani menangis.

Ibunya Jingga tidak seperti ibu-ibu lainnya dalam memperlakukan anaknya. Orang lain yang melihat pasti mengira bahwa Jingga adalah anak tiri.

Jingga membuka wadah sabun cuci. Jingga berniat segera menyelesaikan pekerjaan itu.

"Ah sial sabun cucinya habis lagi. Jadi harus keluar rumah untuk membelinya. Sebenarnya Aku males. Hidup seperti ini terus. Membosankan!," gumam Jingga dengan perasaan kesal.

Jingga segera beranjak dari tempat cucian dan menuju ke kamar untuk mengambil dompet. Jingga membuka dompetnya. Dengan wajah memelas dia berkata, "Uangku di dompet akan segera habis. Masih banyak kebutuhan yang harus Aku penuhi. Kalau begini keadaannya maka Aku harus mencari tambahan penghasilan."

Jingga tidak ingin berlama-lama larut dalam sendu yang menghampiri. Jingga segera mengambil jaket dan hijabnya lalu keluar rumah untuk membeli sabun di toko seberang jalan. Rumah Jingga berada di pinggir jalan raya yang lalu lintasnya ramai sekali. Jingga berhenti di pinggir jalan dan menoleh ke kanan serta ke kiri untuk melihat kendaraan yang lalu lalang. Setelah sepi dia melangkahkan kakinya untuk menyeberang. Jalan raya yang letaknya di depan rumah Jingga selalu ramai saat pagi hari karena jam-jam sibuk seperti berangkat sekolah dan kantor.

Tiba-tiba Jingga membalikkan tubuhnya di tengah jalan. Langsung saja berbalik. Perbuatannya itu tidak dia sadari. Alasannya karena ingat tidak membawa uang. Dia tadi membuka dompet tetapi malah menutupnya kembali sebelum dia mengambil uang. Dari arah kanan Jingga, melajulah pengendara montor sport dengan kecepatan tinggi. Beruntung pengendara tersebut bisa menguasai diri dan montornya sehingga bisa berhenti tepat di depan Jingga.

"Hei, kalau jalan lihat-lihat dan jangan di tengah jalan tiba-tiba balik kanan gitu. Bahaya untukmu dan pengguna jalan lainnya!" teriak pria tersebut dengan rasa kesal pada Jingga.

Jingga hanya menoleh dan terdiam saja. Entahlah Jingga pagi ini enggan berbicara. Membuka mulut untuk sekedar menguap saja tidak dilakukannya. Mulutnya hanya bergerak sedikit sekedar untuk berdecit.

"Hei, Kamu! Kenapa tidak merespon pertanyaanku?" tanya pria tersebut. Pria itu menghardik Jingga di tengah jalan karena kesal. "Kelakuan Kami barusan itu bisa membuat celaka banyak orang. Kamu paham!" ucap pria tersebut.

Jingga hanya menganggukkan kepala dan terpaksa membuka mulut lalu berkata, "Maaf". Jingga kemudian berlalu dari hadapan pria tersebut. Pria bermotor yang masih merasa kesal melajukan kembali kendaraannya. "Ada-ada saja. Perempuan itu menyebalkan sekali. Tapi parasnya terlihat sendu," gumam pria bermontor tadi.

Pria itu melamunkan Jingga sambil berkendara. "Oh Tuhan, gadis tadi cantik sekali. Tadi manusia apa malaikat ya? Ataukah jin? Mbak Jinni dong. Hahahahah," gumamnya. "Ah kok aku tiba-tiba melamunkan dirinya," ucap pria itu. "Aku merasa gila jika harus melamunkan dirinya. Bisa bahaya! Hahahaha!" Pria tersebut tertawa malu seperti orang sedang jatuh hati.

****

[Di rumah Jingga]

Jingga kembali ke rumah berniat mengambil uang untuk membeli sabun cuci yang habis. Suara hiruk piku terdengar sangat keras di rumahnya. "Ada apa ini? Berisik sekali. Kenapa ibu dikerumuni orang-orang berbadan preman?" gumam Jingga.

Jingga memberanikan diri melangkahkan kakinya menuju ke rumah. Sebelum sampai rumah, seorang wanita paruh baya berkata, "Sukma! dengar baik-baik! Kamu harus melunasi hutangmu yang banyak ini."

Jingga lantas berhenti dan segera bersembunyi di balik dinding rumahnya yang berbatasan dengan rumah tetangganya. Jingga sedikit panik dan ketakutan melihat orang-orang yang mengerumuni ibunya. Penampilannya pantas jika disebut preman. Seorang wanita paruh baya yang dipanggil mami oleh ibunya Jingga berpenampilan sangat seksi. Pakaiannya ketat membentuk lekuk tubuh. Make up yang menempel di wajahnya juga sangat tebal. Lipstiknya merah menyala. Bulu matanya seperti bulu mata unta.

Jingga terus menguping pembicaraan mereka dari balik dinding. Jingga terus mengawasi karena menyangkut keselamatan ibunya.

"Hutang apa Mami? aku tidak pernah punya hutang denganmu. Apakah belum lunas? Hutangku sudah ditebus lunas dahulu, Hah?" kata Bu Sukma.

Jingga kaget mendengar perkataan ibunya. Penuh tanya dalam dirinya.

"Ibu punya hutang?" gumamnya.

Jingga kembali mengintai mereka. Ibunya dicaci maki dengan perkataan kasar dan tidak layak diucapkan. Jingga merasa ngeri melihatnya. Jingga merasa takut. Jingga menitihkan air mata.

"Oh Tuhan, tolonglah Kami. Lindungi Ibu Saya dari gangguan para preman tersebut," ucap Jingga sambil menengadahkan tangan dan menundukkan kepala karena berdoa dengan khusuk.

Mami itu terus menerus berbicara keras. Isi pembicaraannya berupa ancaman.

Sesungguhnya Jingga bertanya-tanya. Pikirannya menghubungkan keterkaitan ibunya dengan dirinya.

"Kasihan Ibu. Biar bagaimanapun juga, Ibu adalah orang yang merawatku sejak bayi. Ibu yang membiayaiku. Aku harus membelanya," kata Jingga.

Jingga mengambil nafas dalam-dalam lalu melangkahkan kakinya untuk menuju ke rumah. Lebih tepatnya menuju pada kerumunan kecil tersebut.

"Ibu, ada apa ini? Ibu kenapa?" tanya Jingga dengan suara bergetar menahan takut.

Semua orang memandang Jingga dengan pandangan licik. Terutama mami yang memandang Jingga dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku