Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istriku Disiksa Sampai Gila

Istriku Disiksa Sampai Gila

RICNY

5.0
Komentar
98.5K
Penayangan
45
Bab

Siapa sangka kepulanganku yang mendadak dari Taiwan membuatku amat terkejut saat sampai di kampung halaman. Aku mendapati istriku gila dan anakku sudah meninggal dunia. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah semua kesaksian keluargaku itu bisa dipercaya?

Bab 1 Istriku Gila

"Kok mendadak banget San? Gak niat perpanjang aja kontraknya?" tanya Mas Danu, orang yang selama ini banyak membantuku selama di Taiwan.

"Enggak, Mas, saya emang udah niat mau pulang sih, mau kasih kejutan ke anak istri saya," jawabku yakin.

"Oh ya udah kalau itu udah jadi keputusan kamu."

Aku pun keluar dari ruangan itu, lalu berjalan tergesa menuju mess untuk segera membereskan baju-bajuku.

5 tahun merantau menjadi TKI di Taiwan tanpa pernah pulang sehari pun membuatku sangat merindukan anak dan istriku, makanya sekarang aku memilih tidak memperpanjang kontrak kerja karena aku rasa usahaku mencari pundi-pundi rupiah selama ini sudah cukup, aku ingin membuka usaha saja di kampung halaman agar bisa menghabiskan banyak waktu juga bersama Lusi dan Yassir.

"Lusi dan Yassir pasti seneng aku pulang tanpa memberi mereka kabar, ini bakal jadi kejutan buat mereka."

Aku tersenyum seraya memandangi mainan mobil-mobilan yang kemarin baru saja kubeli itu.

Selesai memberskan baju, kuraih ponselku. Sudah seminggu ini entah kenapa nomor Lusi tidak bisa dihubungi, padahal aku ingin menanyakan kabar Yassir karena mungkin tahun ini anakku akan masuk TK, tapi ya sudah biarkanlah, mungkin hp Lusi rusak.

_______

Pukul 3 sore aku sudah mendarat di bandara Soekarno-Hatta, rasa rindu yang membuncah membuatku tak banyak menghabiskan waktu lagi ke mana-mana, dari bandara aku langsung melaju menuju rumahku.

Ibu dan kedua kakakku serta adik bungsuku juga pasti kaget dengan kedatanganku, mereka akan sangat senang sekali pastinya karena selama aku merantau merekalah yang banyak membantuku menjaga anak dan istriku.

Sambil menenteng tas baju, kedua kakiku langsung menuju teras rumah saat bang ojek sampai di pekarangan rumahku.

Rumah tampak sepi dari luar, entah kemana mereka semua pergi.

"Assalamu-."

Brak. Belum selesai aku mengucap salam tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam.

Cepat kutengok kaca rumah dan betapa terkejutnya aku saat melihat Lusi tengah dijambak oleh Kak Tuti di dekat bufet tv.

"Nih balasan buat kamu yang banyak ngeyel!" sengit Kak Tuti.

"Ampun Kak, ampun." Lusi istriku meringis kesakitan sambil terisak-isak.

Tak lama datang ibuku membawa segayung air namun kulihat air itu mengepulkan uap panas.

"Mandi nih pake air panas biar kamu tahu rasa kalau ayam itu mahal harganya, kamu malah bikin gosong begitu."

"Jangan Bu, jangan!" Lusi makin histeris memohon dan bersujud di kaki ibuku.

Hatiku nyeri, kaget dan tentunya tak terima, kenapa istriku diperlakukan begitu? Apa kesalahan Lusi sampai ibuku segitu marahnya? Tanpa menunggu lagi cepat kutendang pintu rumah hingga pintu itu terbuka lebar.

Darrr.

Ibu dan kak Tuti langsung terkesiap, mereka tampak terkejut saat melihatku datang, mata mereka sampai tak berkedip barang sebentar.

"Bang Sandi," isak Lusi seraya menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

Kulihat wajah istriku yang dekil dan kumal, matanya bengkak dan sembab. Refleks kulemparkan tas baju yang masih kupegang itu ke atas sofa, lalu setengah berlari ke arah istriku.

"Lusi, ayo bangun! Ada apa ini ya ampun." Kuraih bobot istriku yang kurus kering bahkan nyaris seperti hanya tersisa tinggal tulang belulang saja.

Seperti sangat ketakutan, Lusi dengan cepat memeluk tubuhku dari belakang, ia bersembunyi di balik punggungku.

"Lusi Lusi tenanglah, ada Abang di sini," ucapku.

"San--di?" Ibuku tergagap. Pun dengan wajah kak Tuti yang kulihat tiba-tiba sudah berubah pias.

"Iya ini Sandi, kenapa? Ibu kaget? Ada apa ini? Apa yang terjadi dengan istriku? Kenapa kalian memperlakukan istriku begini?" cecarku.

Ibu menelan salivanya, mulutnya terlihat sulit untuk bicara.

"Itu loh anu-tadi-lagi ada kesalahpahaman antara kita," sahut Kak Tuti kemudian.

"Kesalahpahaman apa? Apa perlu kalian perlakukan istriku begini? Dan apa ini? Air panas buat apa, Bu?"

Mulut mereka terkatup-katup.

"Itu tadi-air ini-."

Tak mau buang-buang waktu mendengarkan alasan mereka, kubawa saja istriku ke dalam kamar. Niat hati ingin menenangkannya dulu di kamar tapi kenyataan yang kulihat justru membuatku lebih terkejut.

"Astagfirullah, apa ini?"

Kulihat kamarku sangat berantakan, piring, gelas plastik, nasi kering dan baju-baju semuanya tercecer di lantai.

Tak ada ranjang atau pun kasur, kulihat di sana hanya ada rantai besi dan sebilah bambu.

Saat aku mencoba masuk bau menyengat langsung menguar ke hidungku, bau apek, pesing dan segala macamnya. Kulihat kamarku juga sudah sangat berdebu dan kotor sekali.

Entah apa yang sudah terjadi, ibu jadikan apa kamarku ini? Kenapa berubah seperti kandang bebek begini?

"Takut, Bang, takut." Lusi di punggungku semakin gemetar dan ketakutan.

"Ada apa ini Lusi? Tenanglah tenanglah, ada Abang di sini." Aku berusaha terus meyakinkan Lusi sambil memeluknya. Tapi yang membuatku heran Lusi justru semakin menangis ketakutan.

"Ibu ... Kak Tuti ...!" Aku pun berteriak.

Ibu dan kak Tuti langsung berjalan mendekati kami, wajah mereka tampak cemas dan semakin pias.

"Apa ini, Bu? Apa yang udah terjadi? Kenapa kamarku jadi berantakan begini? Kenapa ada rante dan bambu juga di dalam?" Aku mencecar mereka.

"Katakan ada apa ini? Dan kenapa Lusi istriku seperti sangat ketakutan begini?"

"Kamar ini-kami jadikan tempat buat memasung istrimu San," sahut Kak Tuti.

Terkejut bukan main, aku segera menatap istriku dan kamar itu secara bergantian.

"Dipasung? Buat apa? Emangnya istriku kenapa?"

"Istrimu gila San."

"Kak Tuti!" Aku berteriak tak terima.

Bagaimana bisa istriku gila? Sebelum aku berangkat semuanya baik-baik saja, bahkan beberapa minggu terakhir aku masih meneleponnya dan omongannya masih nyambung.

Tapi kenapa tiba-tiba mereka bilang istriku gila? Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan apa yang sebenarnya mereka sembunyikan?

"Nyatanya istri kamu sekarang gila Sandi, makanya kami kurung dia di kamar ini, dari pada dia merusak rumah warga?" ucap Kak Tuti lagi.

Di belakangku Lusi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apa? Gila? Kalian bilang istriku gila? Kenapa istriku bisa gila? Terus kenapa kalian gak kabari Sandi soal ini?" cecarku lagi.

Aku yakin sekali pasti ada yang udah gak beres di rumah ini, kalau enggak, kenapa istriku tampak sangat ketakutan? Dan kenapa wajah ibu dan kak Tuti juga seperti sedang berbohong menyembunyikan sesuatu?

"Ceritanya panjang Sandi, nanti Ibu ceritain. Tapi ini kenapa kamu pulang gak bilang-bilang?" Ibu malah balik bertanya, seperti ingin mengalihkan topik pembicaraan.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh RICNY

Selebihnya

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku