"Dasar wanita mandul! Aku sangat menyesal telah menyetujui pernikahan kalian!" Kalimat pedas itu meluncur dari bibir wanita yang telah melahirkan suamiku. Ya, dia adalah ibu mertuaku. Ibu mertua yang selalu menyulitkanku dengan banyaknya pekerjaan rumah. Ibu mertua yang selalu memojokkanku karena aku masih belum bisa memberikannya cucu. Dan lain sebagainya. Masih banyak tuntutan demi tuntutan yang selalu ibu mertuaku harapkan dariku. Apakah aku harus tetap bertahan? Atau sebaiknya aku menyerah dan memilih mundur?
"Naima!" teriak ibu mertua dengan sangat lantang membangunkan tidurku pagi hari ini.
Aku yang agak kurang enak badan terpaksa harus cepat bangun dan menghampirinya. "Ada apa Bu?"
"Kamu, ya! Jam berapa ini? Kenapa masih belum masak juga?? Hah!" sentak ibu mertua yang sepertinya sudah berpatroli dari dapur.
Ya, sehari-hari tugasku di rumah ini sudah seperti seorang babu. Ibu mertuaku tak pernah menganggapku sebagai anak menantunya. Aku hanya dijadikan pekerja rodi yang tak pernah mendapatkan imbalan.
Sebenarnya aku sangat tersiksa, namun aku juga tak tega jika harus bercerita tentang hal ini kepada mas Ilham, suamiku. Aku takut jika nanti mas Ilham malah merasa keberatan dan tak nyaman dengan ibu kandungnya sendiri.
"Hei! Diajak ngomong koq malah bengong??" Lagi, dan lagi, mukaku disemprot dengan omelannya.
Andai aku bisa mengeluh satu kata saja, aku akan berteriak kepada semua orang bahwa aku LE-LAH! Aku sungguh lelah!
"Maaf Bu, hari ini agak kurang enak badan," jawabku ragu. Aku takut jika ibu mertuaku akan semakin garang jika aku sampai salah bicara.
"Ck! Palingan cuma pusing! Manja banget sih? Dulu kamu waktu di panti asuhan pasti sudah biasa kan, kerja berat?" sahut ibu mertua seolah tidak perduli.
"Tap ...."
'Prang!'
Belum saja aku selesai mengucapkan kalimatku, ibu mertua sudah beraksi menjatuhkan wajan penggorengan tepat di bawah kakiku.
Nyaris saja menimpa kakiku, untungnya meleset ke samping. Memang, ibu mertuaku ini benar-benar ganas!
"Halah! Manja banget! Cepat masak!" protesnya tak ingin lagi mendengar alasanku.
Mendengar kalimat itu membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa ibu mertuaku itu berubah drastis dengan saat pertama kali bertemu.
Jika mengingat hari itu, hari di mana Mas Ilham membawaku ke rumah ini untuk memperkenalkanku dengan keluarganya. Bu Ratih yang dulu masih calon bumer, bersikap sangat baik padaku. Sambil tersenyum dia memuji-muji parasku yang ayu. Tapi, saat ini, di saat aku sudah menjadi istri anaknya, kenapa perubahan sikapnya begitu kentara?
Ya Allah, dosa apa waktu kecilku hingga saat ini aku mendapatkan perlakuan seperti ini?
"Cepetan masak! Semua orang sudah lapar!" bentaknya lagi. Bagaimanapun hatiku ingin berontak, begitu juga akhirnya aku pasrah dan menurut. Demi keutuhan rumah tanggaku dengan putranya.
Aku langsung melangkahkan kaki menuju lemari pendingin untuk mencari bahan yang bisa kugunakan.
"Masak nya yang enak! Jangan keasinan kayak kemarin!" celetuk wanita setengah tua itu mengingatkan.
Aku mengangguk cepat. "Iya Bu." Aku mulai berjibaku dengan semua bahan yang ada.
Jika mengingat hari kemarin, padahal ibu mertuaku sendiri yang membuat masakanku keasinan, tapi tetap saja aku yang disalahkan.
Kejadiannya adalah, saat aku sudah menyetel semua rasa, kutinggal sayur santan yang masih belum mendidih di atas kompor. Karena aku sedang ingin ke kamar mandi untuk membuang hajat, maka aku tinggal sebentar.
Namun, saat aku kembali kulihat ibu mertuaku itu mengicip kembali dan memasukkan sesuatu lagi ke dalam panci masakku. Aku paham betul toples yang dipegangnya saat itu adalah toples yang berisi garam. Otomatis! Rasa sayur dan kuah, terasa sangat asin.
Tapi, ibu mertuaku yang sangat pintar di atas rata-rata mengumumkan kepada seluruh anggota keluarga bahwa akulah yang sengaja membuat asin masakanku.
Hingga akhirnya, sayur sepanci besar itu harus terpaksa dibuang karena tidak ada yang mau memakan.
Kembali ke masa sekarang. Jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul 08.00 pagi. Sesuai jadwal rutin, seharusnya kami sudah selesai sarapan dari beberapa puluh menit yang lalu.
Karena kondisi tubuhku yang kurang fit, aktifitas memasakku menjadi terganggu dan sangat lama.
"Naima!!!" teriak ibu mertua lagi memanggil namaku.
Aku yang tengah membalik tahu dan tempe memilih tetap di posisi dan tidak langsung mendatanginya.
"Naimaaaa!!!"
Astaghfirullah ... Itu mulut atau toa?? Nyaring sekali.
"Iya, Bu." Setengah berlari aku menghampiri ibu mertua yang sedang berdiri di depan pintu.
'Bruk!'
Setumpuk pakaian berbau menusuk hidung dilemparkan ke arahku. "Habis masak, cuci semua ini!"
Ya Allah, tugas satu saja belum kelar, sudah ditambah lagi? Mana badan lagi meriang begini?
Aku memungut semua pakaian kotor ibu mertua dan langsung membawanya ke kamar mandi. Mulai memasukkan barang itu ke mesin cuci dan mengisinya lagi dengan air.
"Ya Allah, Naima!!! Tempemu gosong ini, lho!"
Mendengar teriakan ibu, aku buru-buru lari ke dapur.
Ya Allah, ngebul! Asap di mana-mana. Dan tempe yang tadi berwarna kuning sekarang sudah menjadi hitam legam.
"Ck! Jadi menantu koq nggak becus banget sih!" Ibu mertua berkacak pinggang. Sudah macam mandor sedang mengomeli bawahan.
"Maaf, Bu." Aku langsung mengangkat wajan penggorengan dan mencucinya.
Untung saja ini gorengan terakhir, jadi tidak terlalu menyesal karena minyaknya tidak bisa dipakai lagi. Maklumlah, jadi wanita itu harus perhitungan. Kan lumayan, harga minyak lagi mahal!
Ups! Koq malah jadi curhat?
Sang Ratu kembali menghampiriku. "Ini sudah mateng semua kan? Sana siapin di meja!" bentaknya lagi memerintahku.
Ya, ibu mertuaku itu sudah seperti ratu bagiku. Karena setiap perintahnya tidak boleh kutolak, Apapun itu.
"Iya, Bu." Aku berjalan ke arah meja makan dan mempersiapkan semua menu yang sudah kumasak.
"Ish! Ini bau apa, Sayang?" tanya mas Ilham sambil menutup hidung.
"Bau tempe gosong istrimu!" seloroh ibu mertuaku seenaknya.
"Masa sih? Nggak biasanya Naima masak, gosong?"
"Dibilangin juga! Tanya aja istrimu!"
Mas Ilham ikut kena sembur, kan?
"Iya Mas, memang tadi aku yang gosongin tempe. Soalnya tadi pas lagi masak, aku dipanggil sama ibu."
"Eh, eh! Koq malah nyalain ibu!" sewot ibu mertuaku dengan mata melotot seperti mau copot.
"Sudah, sudah." Mas Ilham menengahi kami dan langsung menarik kursi untuk duduk. " Sudah, Ibu, Naima, Mari sarapan.
Bab 1 Mertua Garang
03/06/2023
Bab 2 Sabar dan Ikhlas
03/06/2023
Bab 3 Mencari Perlindungan
03/06/2023
Bab 4 Kapan Hamil
03/06/2023
Bab 5 Kamu, Mandul
03/06/2023
Bab 6 Antara Aku dan Ibumu
03/06/2023
Bab 7 Sikap Aneh Ibu
03/06/2023
Bab 8 Teman Lama
03/06/2023
Bab 9 Kesalahpahaman
03/06/2023
Bab 10 (POV Ilham) Kekecewaan
03/06/2023
Bab 11 Wanita Pilihan Ibu
03/06/2023
Bab 12 Pernikahan Kedua
03/06/2023
Bab 13 (POV Naima) Menjanda
03/06/2023
Bab 14 Nasib yang Tak Terduga
05/06/2023
Bab 15 Penjual Brownies
05/06/2023
Bab 16 Dituduh Pelakor
05/06/2023
Bab 17 Kang Ujang Berulah
06/06/2023
Bab 18 Kenekatan Ujang
07/06/2023
Bab 19 Kebenaran tentang Ujang
09/06/2023
Bab 20 Sang Penolong
10/06/2023
Bab 21 Kembali Pulang
11/06/2023
Bab 22 Tamu Spesial
13/06/2023
Bab 23 Perjodohan
14/06/2023
Bab 24 Kejutan Besar
16/06/2023
Bab 25 Memantapkan Hati
19/06/2023
Bab 26 (POV Hakim) Kekaguman
20/06/2023
Bab 27 Keinginan Hati
24/06/2023
Bab 28 Menuju Gerbang Baru
26/06/2023
Bab 29 Awal Kebahagiaan
28/06/2023
Bab 30 Bertemu Seseorang
08/07/2023