Kembali ke tanah kelahirannya setelah lima tahun lamanya mengasingkan diri ke negara orang, Keyra mendapati ada begitu banyak yang berubah. Yang terbesar adalah ketika mengetahui orang terakhir yang bertahta di hatinya, kini akan mengikat janji sehidup semati dengan perempuan lain. Namun, takdir memiliki alurnya sendiri. Karena dari sana, Keyra bertemu dengan seseorang yang memiliki ikatan yang lebih jauh dari yang ia pernah duga, dari yang ia pernah tahu.
Rasanya ... sudah lama sekali. Melihat bagaimana hiruk pikuknya suasana kota besar ini. Kota dimana aku lahir. Dimana aku tinggal sampai umurku delapan belas tahun. Ya, karena lima tahun berikutnya aku memilih tinggal di London, hanya karena sebuah video yang beredar luas di media sosial. Yang padahal perempuan di video itu, sama sekali bukan aku. Tapi, mampu menghancurkan hidupku dalam kecepatan cahaya, mendorongku untuk segera mengasingkan diri ke tempat dimana tidak ada orang yang mengenaliku.
Untungnya, tak lama setelah aku pergi meninggalkan negara ini, seseorang yang tidak aku kenali meredam seluruh video tidak senonoh yang wajah perempuannya aku akui sangat mirip denganku dalam kurun waktu beberapa hari. Sayangnya, segala hal yang telah aku dapatkan akibat video itu membuatku begitu depresi dan tidak berani menginjakkan kaki di negara ini. Sampai tiba saatnya hari ini.
Dan meskipun begitu. Meski sudah berlalu begitu lama. Aku masih ingin sekali bertemu dengan orang itu. Yang entah siapa dia dan entah apa hubungannya denganku, tapi berbaik hati melenyapkan hal paling terkutuk yang pernah terjadi pada hidupku. Aku cuma mau bilang terimakasih yang sangat, sangat banyak padanya.
Aku menyalakan ponselku, melihat foto-foto yang aku ambil di dalam galeri. Ada satu tangkapan layar yang aku simpan sekitar lima tahun yang lalu. Yang isinya adalah sederetan grup penyebar video vulgar yang sudah diblokir oleh orang itu. Uniknya, sebelum menutup permanen, dia sempat mengganti foto profil grup-grup itu dengan lambang yang ... aku sendiri tidak tahu apa maksudnya. Namun yang pasti, seperti bentuk huruf A. Mungkin inisial namanya?
"Mbak? Di sini rumahnya?"
Kepalaku menengadah dan otomatis melihat ke arah luar jendela mobil. "Oh iya bener, Pak." Merutuki diri sendiri kenapa malah fokus pada orang misterius ini. "Tolong dibantu turunin barang ya, Pak," ucapku lagi sebelum turun dari mobil, diikuti oleh sang supir yang kemudian dengan baik hati membantuku menurunkan dua koper berukuran dua puluh empat inch berwarna abu dan hitam dari bagasi mobil.
Setelah membayar ongkos dan menolak tawaran si bapak untuk membantu membawakan koper masuk ke dalam halaman rumah, akhirnya aku berjalan tertatih-tatih karena menarik dua benda super berat di kedua tanganku.
"Non Keyra?"
Aku mendongak dan gerutuanku berhenti kala melihat seorang pria paruh baya dengan pakaian khas satpam sedang terheran-heran menatapku. Aku nyengir. Ya, bagaimana tidak heran kalau aku pulang tidak memberitahu siapapun. Alias kejutan.
"Pagi, Pak. Masih inget sama saya?" tanyaku dengan ceria sembari menunjuk ke diri sendiri. Rasanya memang benar-benar pulang.
"Masih atuh, Non. Ya ampun Non ke sini sendirian? Kok nggak minta jemput Den Milan atau Non Kalila?" Pak Hasan mengomel sembari membantuku membawakan salah satu koper. Aku tertawa pelan.
"Memangnya Kalila udah bisa nyetir, Pak?"
"Beberapa bulan yang lalu udah bisa, Non."
"Diajarin siapa? Bukannya semuanya sibuk?"
"Kayaknya sama pacarnya, Non." Pak Hasan nyengir yang tak sampai ke mata. Tampaknya menyesal sudah membocorkan informasi penting yang asalnya dari si bungsu keluarga.
"Santai aja, Pak. Toh ntar saya tau juga."
Pak Hasan hanya manggut-manggut saja. Kelihatannya sudah tidak ingin membocorkan lebih jauh lagi. Saat akhirnya langkah kami sampai ke beranda rumah. Pak Hasan tersenyum teduh menatapku. Membuatku merasa aneh karena biasanya Pak Hasan ini tidak pernah bersikap begitu.
"Kenapa, Pak? Ada yang salah sama saya?"
Pak Hasan menggeleng. "Enggak ada, Non. Cuma ... udah lama banget nggak liat Non. Kayaknya dulu masih remaja, sekarang udah keliatan dewasa. Makin cantik, Non." Pak Hasan tiba-tiba memuji dan mengangkat kedua jempolnya. Aku terpingkal karenanya. "Makasihh, Pak," balasku cekikikan.
Aku pun sudah lama sekali tidak ketemu Pak Hasan ini. Lima tahun. Dan ternyata beliau masih bekerja di rumah ini. Yang berbeda hanyalah sekarang beliau terlihat makin menua, tampak beberapa helai rambutnya yang sudah berubah warna.
"Ya sudah. Non masuk saja. Saya yakin, pasti langsung heboh ntar. Kaget Non dateng."
"Iya, Pak. Niatnya sih mau buat kejutan."
Pak Hasan tertawa dan mengangguk, kemudian pamit untuk kembali ke pekerjaannya. Sementara aku, cukup berdebar saat akan menekan bel. Gugup karena tidak tahu reaksi seperti apa yang akan keluargaku berikan. Mungkin terdiam, mungkin histeris, atau mungkin biasa saja.
Sejenak aku melihat ke sekeliling. Rumah ini masih sama seperti saat aku tinggal lima tahun yang lalu. Bedanya sekarang semakin rapi, mungkin karena mama sudah mengundurkan diri dari segala macam usahanya dan memilih untuk mengabdikan diri pada keluarga.
Sesaat, aku kembali menatap pintu ketika terdengar langkah terburu-buru. Aku hanya berdiri diam menunggu benda persegi panjang itu terbuka dari dalam. Dan ketika daun pintu terbuka, aku bisa melihat Kalila, yang penampakannya tampak sangat berbeda dari yang terakhir kali aku lihat dua tahun yang lalu ketika dia mendatangi London. Malah, si bungsu yang berbeda tiga tahun dariku ini kelihatan lebih dewasa dengan dress silk selutut dipadupadankan dengan sepasang heels. Sedangkan aku, hanya memakai celana jeans, kaos oblong dengan jaket yang sudah aku lepas, dan juga sepatu kets.
"KAK KEYRA?!" Pekikannya terdengar setelah keheningan mengudara selama beberapa detik. "WHAT THE F-- Kak Keyra? Ini beneran kakak?" Kalila kehilangan keanggunannya seketika saat ia tak bisa mengontrol wajah terkejutnya sembari mengguncang tubuhku pelan.
"Jadi siapa kalau bukan aku? Masa iya hantu secantik ini." Ucapanku membuat Kalila menarik tangannya dan wajahnya jadi kaku seketika.
"Haha ... kalau ini sih beneran kakak, ya. Pedenya masih setinggi langit." Kalila mencibir. "But! Forget it! Yang jadi pertanyaan ... kok bisa?! I mean, kenapa nggak bilang-bilang mau pulang?!"
Aku menghela napas, lelah akan kehisterisan yang tiada habisnya. "Nanti aja ya bahasnya. Capek nih. Mau istirahat."
"Oh iya iya. Tamu jauh nih." Kalila buru-buru menarik salah satu koperku ke dalam rumah. Sebelah tangannya yang bebas menggenggam tanganku, dibawa masuk.
"Kok sepi? Yang lain mana?" tanyaku ketika menyadari rumah benar-benar lengang. Seperti tidak berpenghuni.
"Siapa suruh pulang diem-diem? Orang-orang udah pada pergi lah," ujar Kalila sewot. "Abang, Mama, sama Papa, pergi tadi jam sembilan. Dan ini, aku mau nyusul. Cuma ketunda karena ada hantu cantik tiba-tiba muncul."
Tawaku melebur keluar mendengar perkataan sarkastik itu. Humor Kalila boleh juga.
"Eh tapi, kemana? Maksudnya, pergi kemana? Kok pakai pakaian yang rapi begini?" Aku menatap lagi dress Kalila. Mengernyit heran, dan penasaran.
Raut wajah Kalila seperkian detik terlihat khawatir. Seakan dia tidak mau memberitahu karena takut berdampak buruk padaku.
"Ngomong aja. Nggak papa. Memangnya sepenting apa sampai gugup begitu muka lu?" Candaku sambil mendaratkan bokong di sofa empuk ruang tamu. Kemudian mencomot cookies dari dalam toples yang ada di atas meja.
"Emm ...." Kalila mengatupkan kedua bibirnya. "Tapi, jangan marah, ya?"
"Hm?"
"Eh, tapi, aku yakin kakak udah nggak peduli lagi sih sama dia."
"Mau ngomong apa sih?" Aku jadi tidak sabar sendiri. Omongan Kalila mutar-mutar.
"Itu ... hari ini hari pernikahan Bang Arvin."
Gerakan mengunyahku berhenti. Aku menatap Kalila memastikan dia tidak sedang bercanda. Tapi, wajah itu penuh keseriusan. Arvin? Menikah? Tentu aku tidak melupakan dia. Pria terakhir yang menjadi pacarku sebelum aku meninggalkannya pergi ke London. Sudah lama, memang. Sudah lima tahun. Namun, aku tak menyangka kalau kabar seperti ini akan menimbulkan nyeri yang tak enak di dalam dada.
"Sama siapa?" Aku berusaha untuk tetap bersuara normal.
"Sama ... Kak Dina."
"Dina Amanda?" tanyaku memastikan. Dan Kalila mengangguk ragu sebagai jawaban. Aku hanya bisa tersenyum kecil dan mengangguk. Mantan pacarku, dan mantan sahabatku, kini bersatu.
***
Buku lain oleh keyrara
Selebihnya