Aisyah (Kisah Pilu Gadis tak Beribu)
rosok ke sela-sela kran air yang bersisian dengan gedek. Gedek lapuk yang menjadi dindi
sya
peka akan keha
enyahut, "Aisya
ngan Ridwan, menarik tubuhnya dan mencoba mengeluark
h kecil mungil. Namun, ia sama sekali tidak berputus asa.
.," erangn
udah bisa," pinta Aisyah seraya t
isyah yang turut terpental. Tubuh keduanya ambruk di tanah
Aisyah m
pa-apa?" tanyanya dengan tangan mer
dak semakin membuat Simbah khawatir. Lengannya tergores beling dan ad
api ... Aisyah sedikit kesulitan b
f. Mbah akan
hu jika Simbah tidak memiliki cukup tenaga untuk bangkit. Ia pun terus berupaya untuk mencari jalan agar bisa cepat keluar dseraya mencari
ti apa yang Ridwan cari. I
rus ke depan seolah mampu memandang cucu k
ngan tangan yang meraba-rab
hangat tangan k
Tidak usah takut lagi. Mbah m
a seperti itu, Ridwan
kanmu, ya, Nduk?" ucapnya lirih denga
rjap, menunjukkan betapa rapuhnya pria renta itu. Wajahnya pun k
Mbah Kakung sudah merawat Aisyah dengan sangat baik. Aisyah tidak akan
g berbeda Maimunah melihat semua kejadian mengharukan itu. Ia memegan
ak di sana?" tanya Aisyah sembari menuntun s
menga
e kran itu untuk membersihkan dir
diri. Kakinya pun masih dipenuhi lumpur. Secepat mungkin Aisyah menggandeng tangan Mbah Kakung menuj
mbali terdengar. Hati
ke mana, Syah?" t
hat saja nanti, ya? Jangan kemana-mana
pa memangn
k'an,
h. Mungkin di
bah Kakung di ranjang. Ia merapikan posisi tid
g masih duduk di luar. Gadis itu datang membawa segelas air putih, meminta sim
emauan Aisyah. Batu
ak jadi mengerokinya karena Maimunah bersikeras menolak. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Gad
nah mencoba tegar, tapi jelas itu hanya menc
s. Hidung Aisyah mulai tersumbat. Aisyah sesenggukan. Maimunah meras
ngin melihat Aisyah tumbuh, sekolah, dan menikah. Jatuh ke tangan
ingin Aisyah bahagia, hanya itu saja sebab penyakit paru-paru juga berhasil merenggut nyawa U
tikan seraut wajah sedih Aisy
is, Nduk?" tanyanya
ang begitu perih, ia pun menekan sesak di dadanya.
mengerti. Ia mencoba mengulurkan tangannya, meny
angisnya. Ia memeluk Mai
berbicara. "Mbok jangan mati, ya? Aisyah sudah tidak pun
gan kepala berat. Air m
Aisyah," ucapnya lirih sembari menyembuny
sudah batuk darah, dan Simbah yang tuna netra. Andai dirinya tetap me
ah. Setidaknya Abah harus bertanggung jawab at
ap lurus ke depan. Penuh arti, penuh rencana. Bagaimana pun c
eiring Aisyah yang mend
uhuk,
annya. Namun, percuma! Batuk it
at Simbok terus berupaya menye
anya Aisy
enyum. "Tidak apa, Nduk. Jangan khawati
ah ta
terus men
gilkan Bu bidan?" ta
ah men
pintanya seraya mencoba bangk
nah. Ketika perempuan renta itu berusaha mencari p
rit Aisyah