Escape
unia. Tanpa tahu apa yang dirinya inginkan. Sejauh dirinya berlari dari kehidupannya di masa lalu, seakan kian membuatnya meras
ia. Menghabiskan sisa umurnya bersama hingga ajal datang menjemput. Sali
ah menjadi seorang pengajar dengan prestasi yang hebat, hingga ia memutuskan untuk menghilang dari dunia akademisi, yang Emily sendiri jug
elas pada sikapnya. Namun bagi Emily, biar bagaimanapun Mercy tetap ibunya, yang melahirkannya ke dunia. Sedangkan C
u ke pargelaran lainnya. Dari pesta ke pesta. Bertemu banyak orang. Berbenturan dengan persaingan. Yang terkadang h
Ia butuh untuk hidup di tengah kejamnya kehidupan kota London yang terkenal mahal dan kompetitif. Selain semua alasan itu, ia melakukan hal itu untuk menuntaskan p
tetap kesepian. Ia tetap tidak mendapatkan yang bers
a muncul dari arah belakang, dalam sekejap mata se
memperbaiki posisi duduknya sementara Alec menunjukan beberapa foto hasil pemotretan sore ini. Kedu
y dan Alec Dorantes. Jerry menghilang di balik pintu lift yang membawanya turun. Emily hanya m
ampak terdiam sambil tetap menatap ke arah deretan foto yang dihasilkan Alec. P
lec yang ada di sampingnya. Keduanya bertatapan. "Aku s
Emily perlu untuk mengangguk. Alec memonyongkan
tersenyum, meski Alec masih bergeming. "Apakah masih ada yang perlu aku lakukan?" tanya Emily yang te
an kamera nya
Ia hanya tersenyum masam, seirama dengan yang ia rasakan pada dirinya. Merasakan kebosanan yang tidak ia ket
utuhkannya. Sebelum pergelaran London fashion week lima minggu lagi." Alec mengatakannya sebelum tersenyum pada Emily, menampilkan deretan gigi pu
ku ikut?" t
k sebelah sec
Kau sudah menandatangani kontraknya s
as dengan berat, sebelum manik mata
seraya meraih tas di hadapannya lalu ber
ah," ujar Alec yang dilengkapi dengan senyuman menawan di wajah tampan nya.
h mengapa Emily merasakan hidupnya mulai terasa membosankan. Ada lelah yang b
kian larut. Jalanan mulai sepi, hanya satu dua buah mobil melintas. Cuaca malam kian dingin menggigit. H
pria yang muncul secara tib
Emily coba mengabaikan. Ia bergerak selangkah ke ka
aku a
kirkan tangan pria itu dari lengannya. Emily beranjak
baikannya dan terus berjalan sementara pria itu mengikutinya. Mereka mengekor di belakang langkah Emily. Du
dak tepat. Ia masih mengenakan heels. Tak ada pilihan lain selain memperlebar langkahnya dan pria itu
gkeram Emily dengan kuat. Dengan usaha yang mencoba melepaskan diri dengan menyingkirkan cengkeraman pada le
y kencang yang berhasi
uka. Dengan sekuat tenaga Emily mencoba menjauhkan diri dari tubuh pria itu. Dadanya terasa sesak, namun apa yang ia l
ernya. Terjangan angin malam yang dingin terasa berbanding ter
ga. Tangan pria itu kokoh mencengkram tangan Emily dengan begitu kuat. Tu
mily di sela napasnya
pria itu tepat di leher Emily lagi. Panas terasa menerjang kulitnya yang bercampu
tang di sisa keberaniannya. Emily tak mampu berpi
yang datang tiba-tiba disusul denga
gemetar dan menempel pada dinding. Emily merasakan kepalanya berat, pusing seakan ingin meledak. Ia tak ingin melihat baku ha
ing, berusaha untuk bangkit, hingga bayang menyilaukan yan
esis Emily sambil memegangi
a berputar cepat di porosnya. Hidung Emily menangkap aroma wangi dari pengharum.
ada jawaban, selain keheningan sampai manik matanya mendapati dashboard dan menyadari saat ini ia
udah s
pun untuk melindungi dirinya. Napasnya memburu sambil menatap lurus ke pria di hadapannya. Tatapan yang menyalang dan
ekat. Pria itu menatapnya dengan tatapan lurus dan menghujam, tapi terasa lembut. Emily menarik na
pria itu yang ditujukan padanya. Pertanyaan terdengar penuh penek
tertahan, ada jeda seb
p pria jahat itu melintasi kembali di dalam kepalanya. Kedua
berbuat tidak
ngat mengundang, Nona," seloroh pria itu dengan tatapan sinis dan s
yang dikatakan pria itu benar dengan penilaian nya. Seharusnya ia mengganti pakaiannya dengan t-shirt dan jins
atanya kian melebar, dan tenggorokan nya terasa kering hingga tak d
enatap. "Aku tak ingin kau sakit karena pakaian seksi mu itu." Pria itu seak
sebelum ia menghidupkan mesin mobilnya. Emily mencoba untuk melepaskan jaket yang ia
ripada melepaskan jaketmu," ujar pria itu si
ap
i, tatapan tajam yang membuat napas Emily terasa tersekat, tersedak di teng
rdiam, menatapnya beberapa detik
kan tatapan matanya keluar jendela mobil yang mulai beranjak. Tanpa mengatakan apa pun, mencoba mengatur dirinya agar duduk lebih nya
lik kemudi. Ia tampak tenang. Tak menunjukan sosok yang memiliki niat j
ku
sampai satu blo
keliling, keluar kaca jendela, dan apa yang pr
k mata yang kian melebar karena terkejut. Terdenga
al rem di kaki pria itu. "Yup. Kau sudah sampai, Miss." Ia mengatakannya dengan santai. Pria itu menggeser sedikit posisi duduknya untuk berhadapan langsung de
seraya menatap Emily dengan
u..
ng dengan alis te
alu menghela napas dalam dan menghembuskan-nya dengan kasar disusul dengan melirik-nya sambil mendengus. "Terima kasih untuk tumpangannya, Sir," kata E
ak menoleh, perasaannya be
berbintang, bulan bergelantung rendah. Jarum jam menunjukan pukul satu malam dan hari telah berganti. Matanya tak juga merasakan kantuk. Ia terus terjaga, bahkan
," desis Emily seorang dir
ia membaringkan tubuh lelahnya. Menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Mata hijaunya menatap
baik denganmu. Dan itu wajar,
Emily lagi dan lengkap dengan
sakit karena paka
an bagai cibiran yang ditujukan padanya. Pria itu j
sabuk pengamanmu, daripa
yang terngiang
"Benar-benar menyebalkan. Dasar pria mata keranjang
*