Jatuh Padamu
h telanjangnya. Menghitung tiap ketukan jam dinding yang terasa nyata berirama di tengah kesenyap
nti. Membuat ia selalu kembali terjaga dengan hujaman rasa sakit yang sama. Rasa sakit yang t
begitu nyata bergaung di telinganya. Merasuk ke sudut terdalam untuk mengiris-ngiris hatinya hingga mati rasa. K
dalam tangisan frustasi. Bahu yang turun naik semakin cepat mau
rang dari balik punggungnya, mendarat untuk menghapus jejak aliran basah di sana. Cuk
untuk sekadar membuat ia merasa lebih baik. Namun entah kenapa, usapan telapak dingin
iri itu terlalu sering membangun benteng tinggi terhadap orang-orang di sekitarnya, benteng yang terlalu kokoh untuk bisa ditembus oleh siapapun, termasuk bagi seorang Namira Sanjaya sekalipun. Tak pe
ertahan tinggi tersebut, agar dirinya dapat menjadikan sosok itu sebagai tempat pelarian sementara da
pernikahan, tentu tak membuat mereka berdua memilih hidup selibat. Percikan gairah itu tetap ada, m
dalamnya. Sejak awal Namira tahu dengan pasti, hasil akhir seperti apa yang akan ia dapatkan jika ne
belah pihak keluarga mengusungkan niat perjodohan, tidak sulit bagi Namira untuk jatuh hati pada sosok mengagumkan seperti Andr
ia cari selama ini, tapi siapa sangka bahwa setelah mereka cukup saling mengenal dalam mahligai rumah tangga, Andreas ternyat
bih dulu pada hari pertama usai janji pernikahan mereka di atas altar,
butuhan hidup kamu, tidak ada hal lain yang bisa saya berikan, bahkan termasuk menjanjikan hati saya. K
u saat nanti kamu jatuh cinta dan menemukan seseorang yang tep
ang dipaksa berlayar di tengah-tengah laut lepas. Sudah rapuh dan tak tertolong lagi. Mu
besar hangat itu. Lalu membawanya ke dalam lingkupan hangat jari-jemarinya sendiri. Menggenggam erat di sana, seakan
terbaik yang bisa ia miliki. Meskipun hanya semu dan semen
*
ap kali datang menyapa di sela-sela tidur lelapnya. Kedua kaki kecil itu perlahan turun menapak ubin dingin
k lelaki itu seolah mempunyai kehendaknya sendiri. Memberi perintah bebas pada otak
kesenyapan ruang. Dari kamar kecil tempat tubuh mungil itu melongok keluar, tatapan lurusnya t
pa pendengarannya. Dari pencahayaan ruangan yang masih tampak terang-benderang,
am sebagai persembunyian ternyaman, pemilik kamar itu justru tak bisa m
m yang sudah-sudah. Suara piringan hitam yang begitu familiar dan s
tpun dari posisi tempat ia berdiri sekarang. Memberikan perlawanan sekuat
nuh atas kendali tubuhnya. Sekuat apapun ia melawan, langkah terseretny
up itu, tangannya kini juga ikut diarahkan terulur menyentuh tepian gagang. Hanya butuh satu tarikan ringan agar pin
peduli getar hebat yang melingkupi sekujur tubuh cekingnya, gerakan dari tangan ya
ur menghantam ubin, bersamaan dengar getar tubuh kian hebat yang menggiringnya dalam rasa sesak tak tert
kesekian kalinya. Tatapan yang sejak dulu tak pernah memandangnya penuh cinta dan
tu masih setia menatapnya dalam kebungkaman. Tergantung dengan gaun tidur menjuntai tanpa nyawa di atas lang
ng malang, benar-ben