Cinta di Musim Semi
/0/29976/coverbig.jpg?v=d1d4433cdd5df3d4b63172c66fabef97&imageMogr2/format/webp)
an gedung di dekat SCBD itu terasa dingin meski AC dimatikan; malam Jakarta mengigilkan jenis sepi yang tak bisa dibeli dengan kopi atau playlist. Di mej
ilkan "Nina - Rumah". Amara menekan tombol hijau dengan jari yang
tanpa basa-basi. "Bapak minta
"Sekarang? Ke
h. Cuma- ya, pulang, ya?" Nina menutupnya seperti
. Amara menutup telepon lebih cepat dari yang ia sadari. Di dinding apartemen, kalender menandai tanggal dengan stiker merah-deadline besar untuk naskah
lebih 'trending'. Menjadi editor membuatnya terbiasa menimbang mana yang penting dan mana yang kompromi yang
rang laki-laki berkumis-ayahnya ketika masih muda, tersenyum lepas. Bayangan laki-laki lain-laki-laki yang meniggalkan
lu menunggu perintah. Tetapi sesuatu pada nada suara Nina membuatnya tak tega. Di atas taksi, kota berpendar lewat jendela; lampu neon seperti titik-titik kecil
dikit berbunyi, teras kecil yang selama bertahun-tahun dipenuhi pot bunga milik ibunya yang almarhumah. Di ruang tamu, lampu redup menyorot sa
ng keriput-seolah merunduk di bawah beban kata yang tak bisa ia ucapkan. Namun
anya Amara lebih
an menutup mata sesaat. "Kau m
ar, ia menyadari bagaimana kata itu menempel di
plop itu kusam, tepi-tepinya berkriting, seperti benda yang sudah
ata Haryo. "Surat dari seseorang yan
pudar. Tidak ada nama pengirim yang jelas, hanya ada inisial yang samar: R. Ia memb
alamat sebuah rumah di pinggir kota-tempat yang selama ini diselimuti oleh bisik-bisik tak enak. Di balik fot
nemuinya di kota. Dia bilang pria itu ingin b
samping sebuah mobil tua. Wajahnya tidak asing-namun terasa seperti bagian dari mimpi yang tak pernah selesai. Mata pria itu menat
" suaranya nyari
dia menulis namanya di s
idak pernah baik-baik saja melihat nama pria itu; ia tidak pernah baik-baik saja menerima kemun
ara. Untuk meminta maaf. Untuk... men
embuka luka yang lebih lebar. Ia teringat ketika ia masih SMA-malam ketika kunci tertinggal, ketika tawa berubah senyap, ketika ayahnya memeluknya dan
nya Amara. "Kenapa ti
Hutang-atau urusan lama yang tak selesai. Aku tidak tahu
ain: rasa ingin tahu. Bagaimana bisa seorang asing yang pernah merubah hidup mereka lalu berani kembali meminta berte
r. Amara memejamkan mata sejenak, lalu membuka surat itu sekali lagi. Pada sudut kertas ada coretan tang
al yang ia pilih, tapi awal yang datang mengetuk pintu hidupnya. Ia memegang foto itu er
ara, lebih pelan dari kata yang ia kata
juga takut. "Jika kau pergi-ingat, anakku, tidak semua kebenaran menyembuhk
ali ini bukan sekadar soal keluarga; ini akan membawa pula pilihan-antara memaafkan dan melupakan, antara mene
m selesai, dan sebuah nama-Rendra-me
-