Perpisahan Terakhir, Jejak Abadi
dang Arin
ng menciptakan keindahan dari kekacauan, seorang istri yang membangun hidupnya di atas cinta dan kepercayaan. Aku bukan tipe wanita yang mendapatii. Dia sedang menyusun jawabannya, memilih kata-katanya dengan presi
an muncul. Sederhana
ang dan lih
ium mewah di pusat kota, salah satu menara kaca ultra-modern bar
ada. Ini adalah sebuah tantanga
menyeimbangkan diri. Mengabaikan protes dari tubuhku yang sakit, aku terhuyung-huyung ke kamar tidur, mengenakan celana jins dan sweter pe
badai pertanyaan. Apa yang akan kukatakan? Apa yang akan kulakukan? Sebagian dari diriku, bagian yang rasional dan lelah, berteriak agar a
baru saja menyaksikan hidupnya terbakar dalam
aat aku berjalan menuju lobi, sebuah mobil Alphard hitam mengkilap berh
dak se
di badan yang menonjolkan sosoknya yang ramping, dan rambutnya, air terjun sutra gelap, berg
. Baskara balas tersenyum, senyum tulus dan tanpa penjagaan yang sudah lama tidak kulihat ditujukan padaku. Dia meng
seperti pukulan fisik. Itu lebih
belum otakku bisa
ska
k, pecah di
dan kemudian, tak salah lagi, kekesalan yang luar biasa. Ekspresi Karin lebih sulit dibaca, tetapi saat mata
ia mengambil setengah langkah ke depan, secara halus memposisikan dirinya
idak percaya. "Seharusnya aku yang bertanya padamu, Bas.
enak, pandangannya jatuh ke trotoar. "Ponselku ma
tu dengan rasa ingin tahu yang acuh tak acuh, seperti penont
is dan dibuat-buat. "Mbak Arini, ya? M
uaranya begitu kental hi
amu naik duluan saja." Dia menyuruhnya pergi, tapi rasanya seperti dia m
sa yang mentah. "Dia bisa tetap di sini. Aku ingi
kitar jalan yang sepi seolah-olah paparazzi akan segera t
menghilang sepanjang malam, dan aku dikirimi foto-foto
as dengan dramatis. "Bas, mungkin kamu harus
sehat-membakar s
bicara tentang kesehatanku," g
lembut, tapi dengan kuat, mendorongku mundur. "Cukup,
karang digunakan untuk mendorongku menjauh demi perempuan itu-membuat sesuatu dalam diriku patah. Aku mendorong
a kaget dan murka. "Ada apa denganmu, s
u. "Kamu meninggalkanku, kamu membohongiku, kam
jadi ekspresi penolakan yang dingin. Dia memunggungiku, meletakka
enghancurkanku. Dia bahkan tidak menoleh ke belakang saat dia membimbing Karin masuk
tidak tersenyum lagi. Dia hanya mengamatiku, matanya dingin dan
natap balik adalah hantu-pucat, kurus, dengan mata liar dan jej
ingat lalu lintas atau rutenya. Aku hanya ingat me
belum ad
nyiksa. Aku merosot ke sofa, pandanganku jatuh pada anggrek dalam pot di meja kopi. Kelopakny
seperti kamu, Rin," katanya, jari-jarinya menelusuri lekukan halus kelopak b
tu sekarat. Sama se
uh ibuku. Aku butuh beliau untuk memberitahuku semuanya akan baik-baik
ar saat aku me
ng, ada apa?
tak terdengar. "Boleh... bol
elepon. Aku bisa me
anya melembut tapi diwarnai kelelahan
dari itu,
ebat. Setiap pernikahan punya masa-masa sulit. Kamu harus lebih pengertian. Dia sedang banyak tekanan d
mendengarkan rasa sakitku; dia mengelola ekspektasiku, menutupi r
pi
h mau main golf pagi-pagi. Nanti kita
Benar-benar sendirian, ditinggalkan oleh du
-