Balapan Terakhir Sebelum Dijodohkan
isi miring, rambutnya berantakan, wajahnya yang polos tampak lelah setelah semalam dipaksa menjalani pesta pernikahan
ngantin itu. Setelah selesai, ia duduk sebentar, menatap Raina yang masih terlelap. Ada rasa tanggung jawab yang berat di pundaknya, tapi wajahnya
engambil beberapa setel pakaian dari lemari, memasukkannya ke dalam koper bes
-acakan, kaos tidurnya longgar. Begitu matanya menatap punggung Fahri y
pagi-pagi gini?" seru Raina, suaranya
etap datar, tidak berubah sama sekali
rburu-buru, lalu berdiri di depan Fahri. "Apaan? Ikut? Gue nggak ada rencan
inya yang masih seperti singa baru bangun tidur. "Sekarang kamu ist
"Lu pikir gue mau tinggal di tempat yang penuh
ya menarik napas panjang, lalu berkata pelan namun tegas, "Kalau kamu menolak i
ang. Ia tahu, papahnya pasti akan lebih marah jika mendengar itu. Pap
a bergemeletuk menahan kesal. "Sialan...
ancam. Saya hanya mengingatkan. Kamu sek
pernah minta nikah sama lu, Fahri! Gue masih pengen bebas, gue masih pengen balapan, n
ng lagi. "Raina, saya tahu ini berat buat kamu. Tapi kamu harus
buk kerja terus. Gue cuma punya temen-temen gue. Balapan itu satu-satunya cara gue ngerasa hidup. Seka
benar marah, sementara Fahri tetap
Fahri tenang, "saya akan bicara
kali melawan. Tapi bayangan papahnya yang tegas dan keras kepala membuatnya
"Arghh! Gue benci banget sama situasi ini! Fine, gue ikut! Ta
ngangguk pelan, lalu berkata, "Baik. Kalau begitu, si
k punya barang yang cocok buat tinggal di pesantren lu. Baju gue semua pendek-pe
inya. "Saya sudah duga. Mulai sekarang, saya ingin
gue siapa? Gue bukan boneka lu yang bisa lu dandani seenak jidat! Gu
belajar. Saya akan bantu. Tapi
dup bebas, gue balapan, gue nongkrong sampai pagi, gue nggak peduli sama omongan orang. Dan sekarang lu mau
mun tidak menghakimi. "Saya tidak mimpi, Raina. Saya hanya
eriak, "GUE NGGAK BUTUH JALAN YANG LEB
eberapa pelayan di luar kamar sampai m
alau begitu, siapkan d
h, tapi ia buru-buru mengusapnya kasar dengan punggun
suci..." gumamnya d
nya meraih kopernya, lalu duduk sebentar
an tanpa peduli. Ia melempar-lempar baju ke dalam tas dengan kasar,
"Terima kasih sudah mau menyiapkan barangmu. S
sendiri ke arah pintu. "Tenang pala lu!
a yang menantinya di pesantren. Takut kehilangan jati dirinya. Dan mungkin...