Setelah Malam Pengantin
rapan dan
untuk mendatangi rumah terakhir. Sore ini, mendung sud
ebelum lebat aku sudah tiba di tujuan. Dua b
gi nguli, sore berkeliling mengantar pesanan susu segar y
t yang mengalir, setiap lelah yang kurasa, semuanya kuterima tanpa keluhan. Sejak kecil aku sudah belajar satu hal, selama kerja keras itu men
akoni sejak setahun lalu. Setelah celingak-celinguk beberapa wak
na belum pula
i depan pintu, mengenakan seragam perawat yang bersih dan rapi. Rambutnya yang hitam lurus terurai lembut di pundaknya, dan senyumnya begitu manis sa
harapanku. Regina terlalu jauh dari jangkauanku. Dia bagaikan bintang yang bersinar di langit malam yang gel
lelaki yang hanya bisa makan dari hasil kerja
ni, penuh dengan barang-barang bekas yang kusebut "perabotan." Sementara Regina, pasti hidup dalam kenyamanan, dengan kehidupan yang tertata rapi. A
ik hati padaku. Bahwa mungkin, suatu hari nanti, aku bisa mendekati Regina dan menyampaikan perasaanku. Tetapi, setiap kali aku melihat bayangan diriku di cermin, aku seg
amun tidak bisa menenangkan hati yang sedang gelisah. Di kepalaku, bayangan Regina terus terlintas. Aku membayangkan bagaimana rasanya jika bisa berbicara dengann
Aku tidak meminta-minta atau bergantung pada belas kasihan orang lain. Namun, di sisi lain, ada rasa tidak puas yang selalu menghantui. Setiap kali aku melihat
duduk di sana, memandangi langit y
g di benakku. Aku tidak tahu jawabannya. Yang kutahu hanyalah, aku tid
jung perjalanan ini, ada cahaya yang menunggu. Siapa tahu, mungkin suatu hari takdir akan tersenyum kepadaku dan memberikan kesempatan untuk mendekati Regina. Meski hanya sedikit, hara
api senyum penuh keteguhan. Besok adalah hari baru, dan aku akan kembali menjalani hidupku. Siapa tahu, besok aku bisa m
kut juga ikut menelusup saat sa
ini jika nanti Regina menemukan jo
enghujam dada. Membayangkannya