Setelah Malam Pengantin
ang Tak
terdengar dari luar, nadanya penuh kepanikan. Jantungku berdetak kencang. Aku segera membuka pintu lagi, dan betapa terkejutnya aku melihat sosok Regina berdiri di sana. Wajahny
at. Tetapi saat tatapan matanya bertemu denganku, aku segera tah
menarik pintu lebih lebar
hirnya ia melangkah masuk, tubuhnya sedikit gemetar. Aku menutup pintu dengan ce
merasakan kegelisahan Regina seolah udara di sekitarnya bergetar dengan rasa takut. Kami berdiri
gina? Apa ya
atanya memerah, dan meski ia mencoba menenangkan diri, jelas terlihat bahwa dia sedang sangat ketakutan. Setelah menarik napas dalaluar, mereka tidak peduli siapa yang mengemudi. Mereka hanya melihat kami berdua, dan sekarang mereka mengejar kami." Regina berhenti
Aku bisa membayangkan betapa paniknya situasi itu. Tempat kecil ini, meskipun tenang di siang
tertabrak?" tanyaku pelan, berhara
, dan ada yang berteriak-teriak. Mereka menuding kami... menuduh kami melarikan diri. Padahal kami berhenti... Meisya
ang Regina rasakan. Kampung ini, meskipun biasanya tenang, kadang bisa berubah menjadi tempat yang sangat keras ketika emosi mengambil alih. Aku bisa memb
nyaku pelan, mencoba menawarkan sesuatu, meskipu
arena aku melihat rumahmu yang paling dekat saat itu. Aku tidak tahu kemana harus pergi. Mereka akan men
ah orang-orang di luar sana tahu di mana Regina berada dan datang mencarinya. Aku mulai merasa cemas. Rumahku yang kecil in
ipun dalam hati aku juga tak yakin bagaimana cara melindunginya. "Tapi kita harus berpikir cepat. Kal
arus dilakukan. Aku berpikir keras, mencoba mencari solusi. Kampung ini kecil,
tah kenapa aku merasa seolah-olah ketenangan ini hanya menunggu waktu sebelum badai datang. "Kita tidak bisa tinggal
tanya Regina dengan suara
ng kampung. Dia sudah tua dan tinggal sendirian. Mungkin ora
ikannya pada Regina. "Pakai ini, untuk menyamarkan dirimu," ucapku sambil berusaha memberikan sedikit rasa a
enusuk tulang. Langit gelap tanpa bintang, seolah menggambarkan suasana hatiku saat ini-penuh ketidakpastian. Kami berjalan cepat mela
agi lelaki tua itu untuk membuka pintu. Matanya menyipit menatap kami berdua sebelum akhirnya tersenyu
h mendengar cerita kami, Pak Darman mengangguk pelan. "Masuklah, kalian bisa aman di sini untuk semen
t lebih tenang, meskipun aku tahu ketakutan itu belum sepenuhnya hilang. Aku hanya bisa berhara
wal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang mung