DUA HATI SATU PENGKHIANATAN
k dengan urusan dapur, menyusun sarapan seperti biasa, dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahny
"Kenapa diam aja, Mas? Ada masalah di kantor?
, Maya. Hanya... capek saja," jawabnya dengan suara d
ah lama bersama. Kalau ada yang mengganggu, ceritakan. Jangan ditahan-tahan," katan
"Maya, kadang aku merasa seperti terjebak dalam rutinitas. Semua
ahnya. "Apa maksudmu, Mas?" suaranya terdengar
asa ada yang hilang... aku tak tahu harus bagaimana." Ia merasa lelah dengan kata-katan
ukan tipe pria yang mudah mengungkapkan perasaan. "Mas, jika ada yang mengganggu, kita bisa cari j
tak tahu lagi bagaimana menjelaskan apa yang sedang menggerogotinya. Ada
erkata pelan, "Aku butuh... sesuatu
hatian. "Apa maksudmu, Mas? Apakah
ati istrinya, namun kenyataan bahwa ia merasa terjebak dalam pernikahannya semakin memb
nuh kekhawatiran. "Kamu tidak sendiri, Mas. Aku ak
adar kebosanan. Sesuatu yang ia tak bisa jelaskan, tapi perlahan mulai mengisi kekosongan hat
eningan di antara mereka. Ia meraih ponselny
satu lagi yang akan merubah hidupnya-seseorang yang me
irnya menekan tombol terima panggilan. "Halo?" Suaranya terdengar jauh, se
uatu yang menggoda di balik kata-katanya. "Gimana kalau
s, dan meskipun hatinya penuh kecemasan, ada perasaan lain yang
khirnya, suaranya ren
angan di udara. Ia menoleh sebentar, hanya untuk melihat
n lembut, tetapi kali ini Arman merasa seolah-o
aha tersenyum, meskipun ia ta
a yang kini beranjak menjauh, dan rasa bersalah mulai memenuhi dadanya. Namun, seiring dengan gema suar
embawa Arman pada pilihan ya
aru saja ia simpan kembali bergetar, dan hati Arman berdebar seiring nama Laras muncul lag
g malam ini kan?
n terpendam di antara kata-kata Laras. Maya, istrinya yang setia, tidak tahu apa yang terjadi. Ia tidak tahu bahwa ada dunia lai
dalam hati. Ia menatap ponselnya sekali lagi
"Mas, hari ini kamu nggak mau keluar makan siang bareng aku?" t
eskipun senyum itu terasa dipaksakan. "Maaf, Maya.
mu pasti capek banget, ya? Jangan terlalu dipikirin, nanti jadi s
meja yang sama. Seperti ada jurang yang perlahan tumbuh antara mereka. Laras, dengan segala pesonanya, telah b
au kamu butuh waktu buat diri sendiri. Tapi, jangan sampai kita jad
am dirinya yang berbisik: "Pergilah. Cari kebahagiaanmu." Dan Arman merasa
ranya hampir tak terdengar. "Aku
n, lalu berbalik dan pergi dari ruang makan. Arman mendengar langkah kakinya menjauh, dan rasa kosong itu kemba
ngin melihat Maya, takut kalau itu akan membuatnya ragu. Dengan cepat, ia mengenakan jas
dengan tatapan yang sulit dibaca. Sepertinya Maya ingin berbicara, namun Arman
s?" tanya Maya, akh
usaha menghindari tatapan Maya, merasa d
alan menuju pintu. "Jangan terlalu larut, ya?" kata Maya, su
merasa semakin terjebak. Ia ingin berbalik dan memeluk Maya, memberi penjelasan, tapi kata-k
ahu bahwa malam ini akan menjadi titik balik. Begitu ia memasuki mobil dan melaju menuju tempat yang telah dijanjika
rman melihatnya, dan seketika perasaan yang sudah lama hilang dalam dirinya kembali mengalir. Laras tersenyum s
lembut, namun ada kehangatan yang berb
ikan perasaan bersalah yang mengga
a menatap Arman dengan penuh perhatian, seolah hanya ada mereka berdua d
g keluar dari bibir Laras seperti membiusnya, membuatnya merasa seolah hidu
yembunyikan kegelisahan yang semakin besar. "Aku me
"Kamu tidak perlu merasa terbebani, Mas. Kita bisa lebih dari sekada
ilihan yang semakin jelas-antara melanjutkan hidup yang penuh kenyamanan bersa
ia tahu: malam ini, s
ngan di dadanya semakin meningkat. Ia tahu bahwa ia telah melan
etia, berusaha memahami Arman, sementara Laras, dengan pesonanya, menjadi pelarian dari kekosongan yang
ambu