DUA HATI SATU PENGKHIANATAN
usahaan itu bukan kali pertama ia hadiri, tetapi entah kenapa kali ini ia merasa begitu lelah. Pekerjaan yang menumpuk, per
rang kolega, Danang, mendekat dan memberi tepukan ringan di bahunya.
nanti, Danang," jawabnya, meski perasaan di da
rang wanita muda yang baru saja melangkah masuk ke ruang konferensi. Dengan rambut panjang tergerai, mengena
Saat itu, entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang memancar dari Laras-sebuah energi yang membu
Danang dengan nada menggoda, meny
annya. "Tidak... itu hanya kebetulan," jawabnya, m
temu dengan mata Arman. Sesaat terjadi kontak pandang yang intens, dan Arman mera
ngan cuma diam saja, ayo kenalan dengan wanita it
ndekat, Danang segera membuka percakapan dengan Laras. "Hai, Laras! Senang akhi
Arman, kan? Kami pernah bicara tentang proyek yang akan datang, ya? Senang
bnya, mencoba terdengar biasa. Namun, suaranya agak serak, dan ia tahu
ngar tentang kamu dari Danang. Kamu selalu berhasil dengan setiap proyek, kan? It
g mulai terbangun-sesuatu yang sudah lama terkubur. "Ah, teri
bar nanti, Arman? Aku dengar kamu suka minum whis
um whiskey... dengan Laras. Suaranya terdengar seperti tawaran yang mengg
hat perubahan sikap Arman, tersenyum lebar dan mengangguk penuh arti. Ia tahu betul bahwa Arman ja
yak, tentang pekerjaan, kehidupan, dan hal-hal yang lebih pribadi. Setiap kata dari Laras terdengar seperti angin segar bagi Arma
amu pilih? Maksudku, pekerjaan ini. Semua orang bilang kamu cuku
ri yang ia kira. "Saya rasa... kadang kita memilih jalan bukan karena kita benar-benar ingin,
ng merasa seperti... terperangkap dalam rutinitas juga. Tapi, aku selalu mencari cara u
ertemu dengan orang seperti kamu?" godanya, mesk
Mungkin," jawabnya dengan sedikit menggo
ingatkan pada rutinitas yang membosankan. Ia merasa seperti hidup kembali, seolah semua yang t
yang terus mengganggu pikirannya-Maya. Perasaan bersalah itu semakin me
dalam, Arman mulai menyadari bahwa pertemuan ini bukan hanya sekadar pertemuan biasa. Laras tel
menatap mata Laras yang penuh percaya diri itu, Arman t
dari perjalanan yang ta
nyaman di sisi Laras, jauh dari keheningan dan ketegangan yang biasa ia rasakan di rumah bersama Maya. Setiap tawa Laras, setiap pertanyaan yang dilo
ambil menatap kosong ke arah langit malam di luar jendela, "aku selalu percaya bahwa hidup ini lebih dari sekadar rutinitas dan pekerjaan
lam dirinya. Ia merasa Laras sedang berbicara tentang dirinya, tentang kehidupan yang selama
dikit lebih rendah. "Tapi... aku juga merasa bertanggung jawab atas segalanya, terutama
ng... kita lupa untuk bertanggung jawab terhadap diri kita sendiri, kan?" Laras mengambil gelas minumannya, menyandarkan punggungnya di kursi dan tersenyum kec
okannya. Ada perasaan bersalah yang semakin mendalam, tetapi di saat yang sama, ada perasaan lega yang membuncah. Apa yang Laras katakan... terdengar benar. Di
rat. "Dia sudah banyak mengorbankan dirinya untuk aku. Kami sudah bersama lebih dari se
an yang ada. "Arman," katanya lembut, "kamu harus melihat dirimu sendiri. Terkadang kita ter
n energi yang berbeda, yang semakin mengikat dirinya dengan Laras. "Aku... aku tidak tahu apa yang sebe
a semua pernah merasakannya, Arman. Aku juga pernah merasa seperti itu
erasa seperti sebuah beban besar terangkat sedikit demi sedikit dari pundaknya. Setiap kali Laras berbicara, s
tahu sesuatu. Aku tidak di sini untuk mengubah hidupmu atau memaksa kamu memilih jalan yang sulit. A
ari. "Aku... aku tidak tahu bagaimana melakukannya," jawabnya, suara Arman hampir serak, penuh keraguan. "Aku takut, Lar
ba-tiba mengalir dalam dirinya. "Arman," katanya dengan suara yang lebih lembut, "hidupmu adalah milikmu s
il langkah lebih jauh, untuk memulai sesuatu yang baru, meskipun ia tahu bahwa itu mungki
api ingat, hidup ini terlalu singkat untuk hanya menunggu kebahagiaan datang tanpa kita mengejarnya." Dengan
duduk. Kata-kata Laras bergema dalam pikirannya, membuatnya semaki
dalah titik awal dari sesuatu yang lebih be
ju mobilnya, satu hal yang pasti dalam piki
ambu