Langit yang Merindu
enggantung rendah. Hujan semalam telah berhenti, tetapi jejaknya masih tertinggal di trotoar basah dan da
. Namun bagi Aruna, suasana sunyi itu justru mengingatkannya pada sosok Langit. Setiap sudut kampus, setiap lorong, bahkan bangku
kapan panjang antara dirinya dan Langit. Di sana, mereka menghabiskan banyak sore bersama, berbicara tentang
pikirannya. Di benaknya, ia bisa melihat senyum Langit yang khas, suara tawan
ru
tika ia membuka mata, Jati sudah berdiri di depannya, m
sambil menyodorkan secangkir kopi yang entah kapan ia beli. Kehadirannya
yebar di telapak tangan. Ia mengangguk pelan, tatapannya j
apa yang dibutuhkan. Beberapa detik keheningan berlalu, namun Aruna merasa nyaman d
ka perasaannya, mungkin karena ia merasa cukup nyaman dengan Jati, at
buatku," Aruna mulai berbicara, suaranya lirih dan pelan. "Kami punya mimpi yang
ng, tatapannya tetap pada waj
menjauh. Bukan secara fisik, tapi... rasanya seperti dia menjadi orang lain. Setiap kali kami berb
, "Mungkin dia punya alasan? Kadang, orang berubah bukan karena ingin men
terjadi begitu perlahan namun pasti. "Aku tidak pernah tahu alasann
Aruna. "Kadang, yang kita butuhkan adalah menerima bahwa tidak semua hal akan berjal
sudah lama berlalu. Ada bagian dari dirinya yang masih berharap Langit akan kembali, atau setidaknya memberikan pe
keheningan di antara mereka. Ia melihat nam
u asing sekaligus akrab. Ia menatap Jati sejenak, yang hanya memberi anggukan kecillan di seberang telepon, suara yang dulu selalu
enjaga nada suaranya tetap stabil meski
Langit berbicara lagi. "Aku... ingin bertemu denganmu
tang tanpa diundang. Penjelasan. Itulah yang selama ini ia nanti
bergetar. "Kamu pergi begitu saja tanpa penjelasan, dan seka
Aruna. Saat itu, aku merasa ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui. Tapi sekar
h. Selama ini, ia berusaha keras untuk melupakan, namun s
s panjang, ia menjawab, "Baikl
ela napas lega. "Besok
ski Langit tak bisa
eolah masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Jati, yang s
ngannya kalau itu menyakitka
asa pahit. "Aku butuh jawaban, Jati. Mungkin den
s menghantui pikirannya. Ia terbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya yang gelap, bertany
lihat pantulan dirinya, ia menyadari bahwa gadis di cermin itu bukan lagi Aruna yang dulu, yang pernah begitu bergantung
butnya terlihat lebih panjang dari terakhir kali mereka bertemu, dan ada ga
eka bertemu. Dalam keheningan itu, mereka seolah berbicara tanpa kata-kata
mantap. "Aku datang karena ingin menjelaskan s
kan Langit katakan. Ia tahu, apa pun jawaban yang
-