Aruna selalu percaya bahwa waktu bisa menyembuhkan segala luka. Namun, bayangan masa lalu terus menghantuinya, meninggalkan bekas yang tak kunjung pudar. Dalam keheningan yang menyesakkan, dia bertemu Langit, seorang pria yang menyimpan rahasia di balik senyumnya yang tenang. Keduanya saling terikat oleh ketidaksempurnaan masing-masing, oleh mimpi-mimpi yang rapuh dan rasa takut yang tak terucap. Di tengah jalan hidup yang rumit, hadir pula Jati, sahabat lamanya yang selalu ada, serta Santi, sahabat yang membawa tawa di setiap kepedihan. Dengan kehadiran mereka, Aruna dihadapkan pada pilihan yang sulit-antara merelakan masa lalunya atau merangkul masa depan yang penuh ketidakpastian. "Langit yang Merindu" adalah kisah tentang perjalanan menuju penerimaan, tentang cinta yang tak sempurna namun berani melawan keterbatasan.
Aruna berdiri di bawah langit senja yang kelabu, merapatkan jaket tipisnya saat angin sore menyusup hingga ke tulang. Di sekelilingnya, jalan-jalan kampus mulai sepi. Beberapa mahasiswa yang baru selesai kuliah melangkah terburu-buru menuju parkiran, takut terjebak hujan yang tampaknya akan segera turun. Langit di atas tampak seperti kanvas yang dicat dengan berbagai gradasi abu-abu, seakan menyimpan rahasia yang tak terucap.
Di tengah hembusan angin yang membawa aroma tanah basah, Aruna menatap jauh ke depan, melihat gedung-gedung tinggi yang tertutup kabut tipis. Ada perasaan kosong yang menyelimuti hatinya, seperti mendung di langit yang tak kunjung reda. Hari ini seharusnya menjadi hari biasa; kuliah, tugas, dan sekumpulan obrolan tak penting di kafe kampus. Namun, di balik rutinitas itu, ada kerinduan yang menyesakkan, perasaan kehilangan yang selalu berhasil membayangi langkahnya, meski ia berusaha mengabaikannya.
"Aruna?"
Suara itu datang dari belakang, membuyarkan lamunannya. Ketika ia menoleh, Jati, seorang teman lama dari jurusan sastra, sudah berdiri dengan senyum khasnya yang tenang. Jati selalu ada seperti angin yang tak pernah berhenti berhembus; kehadirannya sering kali begitu halus, namun tak bisa diabaikan.
"Kamu nunggu hujan turun dulu atau nunggu seseorang?" tanya Jati sambil menyelipkan kedua tangannya di saku jaket, matanya menatap langit yang semakin gelap.
Aruna tersenyum kecil, mencoba mengalihkan perasaannya. "Mungkin dua-duanya."
Jati mengangguk, seolah memahami jawaban itu tanpa bertanya lebih lanjut. Ada sesuatu yang membuat Jati berbeda dari yang lain. Ia jarang banyak bicara, tetapi selalu tahu bagaimana berada di saat yang tepat, seperti sekarang. Aruna tak bisa menghitung sudah berapa kali mereka berbagi keheningan bersama, tanpa perlu satu pun kata untuk saling mengerti.
"Kenapa kamu nggak langsung pulang? Udah sore, nanti malah kehujanan," kata Jati, suaranya terdengar seperti sebuah nasihat sederhana, namun ada kehangatan yang membuat Aruna merasa dihargai.
"Aku suka suasana sebelum hujan. Rasanya... seperti tenang dan kacau dalam waktu yang bersamaan," jawab Aruna, mengalihkan pandangannya ke arah pohon-pohon yang bergoyang pelan di hembusan angin.
Jati tertawa kecil. "Kamu memang aneh."
"Mungkin," balas Aruna sambil tersenyum. "Tapi kamu tetap di sini, kan?"
Jati hanya mengangguk lagi. Itulah yang ia lakukan, selalu di sana. Entah bagaimana, ada kenyamanan dalam kehadirannya yang tidak pernah berusaha memaksa Aruna untuk berbagi beban yang ia sembunyikan. Namun, sore itu, ada hal yang tak biasa di hati Aruna. Ada sebuah kenangan lama yang kembali menyelinap, membuatnya ingin berbagi cerita, meski hanya sedikit.
"Jati..." Suaranya terdengar ragu, tetapi tatapannya lurus menatap wajah Jati yang penuh perhatian. "Apa kamu pernah merasa... kehilangan, meski orang itu masih ada?"
Jati terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan pertanyaan itu dalam-dalam. "Kehilangan itu bukan cuma soal fisik, Aruna. Kadang, orang bisa terasa jauh meskipun mereka masih ada di samping kita. Mungkin karena... hati kita sudah berjarak."
Jawaban itu menyentuh sesuatu di hati Aruna, membuka perasaan yang selama ini ia kunci rapat. Dalam benaknya, bayangan Langit muncul, seorang yang pernah begitu dekat namun kini terasa seperti hanya sosok samar yang tertinggal di balik kabut masa lalu.
"Dia... masih di sini, tapi rasanya... seperti dia sudah jauh sekali." Aruna berbisik, tak yakin apakah ia ingin Jati mendengar atau hanya ingin menyuarakan perasaannya pada angin.
Jati mendekat, menempatkan diri di samping Aruna sambil menatap senja yang mulai tertutup awan tebal. "Orang datang dan pergi dalam hidup kita, Aruna. Tapi mereka meninggalkan jejak, dan kadang jejak itu yang membuat kita tetap berdiri di tempat, sementara dunia di sekitar kita terus bergerak."
Aruna terdiam, mengunyah kata-kata itu dalam pikirannya. Langit pernah menjadi segalanya baginya, tempat ia bisa tertawa dan menangis tanpa merasa dihakimi. Mereka berbagi mimpi, harapan, dan rahasia yang tak pernah ia bagikan pada siapapun. Namun, pada suatu titik, jarak mulai tercipta. Bukan jarak fisik, melainkan jarak yang terbentuk dari kepingan luka dan perbedaan yang tak terjembatani.
Suara petir tiba-tiba menggelegar di langit, mengguncang bumi dan membawa kembali Aruna ke dunia nyata. Jati menatapnya dan tersenyum kecil.
"Sepertinya hujan akan turun. Mau berteduh di kafe kampus?" tawarnya.
Aruna mengangguk, dan mereka berjalan berdampingan menuju kafe yang tak jauh dari sana. Di sepanjang jalan, rintik hujan mulai turun, membasahi rambut dan jaket mereka. Aruna merasakan dingin yang menusuk, tetapi anehnya, ia merasa hangat di samping Jati. Meski rasa rindu pada Langit masih ada, entah kenapa, kehadiran Jati memberi kenyamanan yang berbeda.
Mereka tiba di kafe, dan Jati memesan dua cangkir teh hangat. Mereka duduk di sudut, tempat mereka bisa melihat jendela yang basah oleh titik-titik hujan. Aruna menatap tetesan hujan itu, membayangkan setiap tetesnya membawa pesan yang tak terucapkan dari langit.
"Jati, pernah nggak kamu merasa kalau hidup kita kayak hujan?" tanya Aruna tiba-tiba.
"Hujan?" Jati mengernyitkan dahi, penasaran.
"Iya, hujan. Setiap tetesnya jatuh, meninggalkan jejak sebentar, lalu menghilang. Tapi setelah hujan reda, tanah akan selalu mengingatnya. Begitu juga dengan kenangan," kata Aruna, suaranya hampir seperti gumaman.
Jati terdiam, lalu mengangguk pelan. "Mungkin itu sebabnya, meski kita mencoba melupakan, selalu ada yang tertinggal. Sama seperti jejak hujan di tanah."
Sore itu mereka habiskan dalam obrolan ringan dan keheningan yang damai, sementara hujan di luar semakin deras. Namun, meski tubuh Aruna duduk di samping Jati, hatinya melayang jauh. Ia tahu, kenangan tentang Langit masih tertinggal di setiap sudut kampus ini, di setiap sudut hatinya.
Ketika akhirnya hujan berhenti dan mereka harus berpisah, Jati menatapnya dengan senyum lembut. "Kalau kapan-kapan kamu ingin berbagi lagi, aku akan ada di sini."
Aruna mengangguk, merasa hangat oleh janji sederhana itu. Ketika ia berjalan pulang sendiri, langkahnya terasa lebih ringan. Meski rindu pada Langit masih menghantui, Aruna tahu bahwa ia tidak lagi sendirian. Ada Jati, dan mungkin, seiring berjalannya waktu, ia bisa belajar untuk melepaskan.
---
Bab 1 Hujan di Bawah Langit Senja
04/11/2024
Bab 2 Jejak di Tengah Hujan
04/11/2024
Bab 3 Mencari Makna Perpisahan
04/11/2024
Bab 4 Menjemput Harapan Baru
04/11/2024
Bab 5 Bayangan Masa Lalu
04/11/2024
Bab 6 Badai yang Menguji Cinta
04/11/2024
Bab 7 Jalan Penuh Rintangan
04/11/2024