ANTARA DUA CINTA
man kecil di halaman rumahnya. Rumah itu begitu tenang, hanya terdengar bunyi rintik-r
nya merasa kekurangan. Setiap pagi, Arman selalu menyiapkan teh hangat untuknya sebelum berangkat kerja, mengant
ya. Lina, yang sedang menonton televisi di ruang k
sapa Arman dengan se
is. "Selamat datan
samping Lina. "Lumayan. Hari ini banyak sekali urusan di kantor." Ia mengus
merasa ucapan Arman terdengar datar. Tidak ada kehangat
entar." Ia mengusap pundak Lina dengan kasih, lalu beralih k
arak yang terasa. Sebuah jurang yang semakin lebar dan membua
an diri mengutarakan isi hatinya. "Mas, kamu me
ak sedikit bingung.
initas saja," ucap Lina pelan, mencoba menaha
a kurang apa, Lin? Aku selalu berusaha menjaga ka
ap wajahnya, seakan-akan kata-katanya sulit terungk
a, kamu tahu kan aku selalu berusaha untuk ki
itu seolah semakin menusuk. "Mas, aku bukan hanya ingin ada di rumah dan me
bisa coba jalan-jalan akhir pekan ini, seperti waktu kita baru me
guk kecil. "Baik, Mas... Mungk
liburan yang ia butuhkan. Ia menginginkan sesuatu yang lebih
bali terjebak dalam pikirannya. Hujan di luar masih terus turun, membawa rasa tenang ya
keluar jendela. Hujan telah berhenti, menyisakan embun tipis di kaca jende
erangkat bekerja. Lina hanya bisa tersenyum tipis saat bangun dan menemukan secangkir teh itu. "Arman memang suami yang baik," pikirnya. Tapi
kan kerjanya, Sari, yang duduk di meja sebelah,
sambil mengetik di komputer. "K
a. "Ah, nggak apa-apa, Sar. C
"Mikirin apa, tuh? A
. "Nggak mikirin siapa-siapa. Cuma lagi
amu boleh cerita kalau ada apa-apa. Kadang kita
eseorang yang mau mendengarkan. "Sar, kamu pernah ng
ang cuma menjalankan perintah, bangun, kerja, pulang, terus tidur lagi. Tapi... hidup kan mema
kesenangan kecil yang diinginkannya terasa lebih dalam dari sekadar hiburan. Ada ses
bisa berbincang lagi malam ini, mencoba menyelami apa yang salah di anta
luar kota selama dua minggu," kata Arman den
yembunyikan kekecewaanny
nunggu kesempatan seperti ini. Lagipula, selesai proyek ini, ki
iri dengan Arman, selalu saja ada sesuatu yang menghalangi. Dua minggu terasa seper
pan perasaan kosong ini akan berlalu. Namun, di balik rasa hampa itu, terselip keinginan u
ndiri, "Mungkin aku butuh perubahan. Aku nggak tahu apa,
am masih terngiang di telinganya, membuatnya merasa semakin gelisah. Hari ini adalah hari terakhir Arman di rumah sebelum berangkat ke
gang, dan menyeduh kopi favorit Arman. Ketika Arman akhirnya turun dari kamar, Lina me
ayang," sapa Lin
ng sudah tertata rapi. "Wah, apa nih?
ring Arman. "Ya... aku pikir ini kesempatan te
gannya. "Aku bakal kangen kamu, Lin. Dua mi
.." jawabnya, walaupun di hatinya, ada
bersama. Namun, tak lama setelah itu, Arman harus segera berangkat untuk menyelesaikan persiapannya. Dengan ciuman ce
ngat sepi. Ia melirik ponselnya, ingin mencari hiburan atau melakukan sesuatu yang bisa mengisi wak
aktivitas. Ia pergi ke gym, mengikuti kelas yoga, bahkan mencoba menon
sudah lama tak ia jumpai-Bram, teman lama dari masa kuliahnya. Bram adalah sosok yang dulu sempat dekat
ari arah meja di seber
ram? Ya ampun, udah lama b
depan Lina. "Iya, aku baru balik dari luar negeri. Kaya
, sudah lama banget. Kam
yak hal lain. Bram selalu punya cara membuat Lina tertawa, sesuatu yang sudah jarang ia rasakan belakangan ini. Di a
sejenak. "Lin, aku tahu ini mungkin mendadak, tapi... kalau kamu
an, tetapi tak bisa menolak perasaan yang mulai muncul. "Ya, mungk
gat. "Bagus. Aku t
sa bersalah muncul di dalam dirinya, tetapi bersama rasa bersalah itu, ada percikan y
ngan Bram mungkin bisa membawa kebahagiaan baru, tapi ia sadar bahw
ambu