ANTARA DUA CINTA
k menikah, hobinya itu semakin jarang ia lakukan. Galeri itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa orang yang berkeliling mengamati lukisan. Ia berjal
a dengan bahu kokoh dan gaya yang santai namun memikat-Raka, mantan kekasihnya yang pernah memenuhi hari-harinya dengan tawa dan petualangan. Pria itu kini tampak
ggil Lina t
memanggilnya, wajahnya langsung berubah menjadi senyum
tiba-tiba muncul. "Iya, ini aku. Kamu di sin
dalam. "Iya, sudah lama banget. Kamu... ma
sambil tersenyum. "Aku sekarang lebih b
baru pulang dari traveling keliling Eropa, sekarang cuma
sampingnya, Lina merasa kembali ke masa-masa dulu-masa di mana hidup terasa lebih bebas, penuh kejutan, dan gairah. Setiap tawa Raka, s
di dekat sana. Di bawah langit sore yang berwarna jingga, mereka dud
sambil menyesap kopinya. "Kamu kelihatan
baik, Raka. Dia selalu mendukungku, membuatku merasa aman... tapi..."
emahami perasaan yang bergejolak dalam diri Lina
ya. "Entahlah, Raka. Terkadang aku merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupku.
ggak mau lancang... tapi kamu tahu, sejak dulu aku selalu bilang kalau hidup itu harus dijalani dengan sepenuh
yang selalu mengajaknya menjalani hidup tanpa rasa takut, yang selalu
an 'hidup sepenuh hati' itu?" tany
menyentuh tangan Lina dengan lembut. "Kamu tahu jawabannya, Lin.
dulu mengalir di benaknya-tawa mereka, malam-malam penuh petualangan, dan momen-momen kebebasan yang jarang ia rasakan sekaran
, suara bergetar. "Aku...
nggak ingin mengganggu hidup kamu. Tapi kamu harus tahu... aku masih
n di sisi lain, kehadirannya kembali telah menghidupkan rasa yang ia pikir telah mati. Malam
an bisa menahan godaan untuk meraih kebahagiaan yang ditawarkan Raka, atau tetap setia
a ada rasa bersalah yang mulai menggumpal di hatinya. Pikirannya terus berputar, menanyakan apa yang sebenarnya dia inginkan dalam hidup. Ketika ia m
dan Arman, kenangan-kenangan mereka berdua yang terekam dalam bingkai. Ada tawa, senyum, dan kebahagiaan sederhana. Namun
di atas meja, mengusik lamuna
mu baik-baik aja setelah tadi. Ada banyak hal yan
emakin kacau, antara keinginan untuk merespons atau mengabaikannya. Ia
nang ketemu kamu lagi. Mungkin ki
asaan bersalah kembali muncul, tetapi bersamaan dengan itu ada
terus kembali pada Raka. Setiap kali teringat senyum hangat dan percakapan mereka di galeri, hatinya berdesir, dan ia tak bisa menahan senyum keci
h taman yang cukup sepi di tengah kota, tempat mereka bisa berbicara dengan bebas tanpa tak
n senyum tipis, mencob
ungkin nggak bisa seperti dulu lagi, tapi aku cuma mau kamu tahu kalau aku mas
kasih, Raka. Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan. Dulu pun, waktu aku lagi kac
ucap Raka sambil menatap Lina dengan serius. "Tapi kalau pertemuan ini bikin kamu ta
kan hanya sekadar masa lalu; Raka adalah seseorang yang telah membuatnya merasa hidup,
u dan Arman. Aku sayang Arman, dia selalu jadi suami yang baik, tapi... dengan kamu, aku m
au kecewa. "Aku mengerti, Lin. Aku nggak minta apa-apa. Cuma satu hal y
anyaan besar di hatinya: apakah kebahagiaan sejati harus datang dengan keberanian untuk
dalam. Tetapi, ia juga tahu bahwa pilihannya nanti akan me
ambu