30 Days Lover
i buta. Aku mempercepat langkahku di atas treadmill, merasakan peluh mengalir deras di pelipis dan punggungku. Napasku te
gus saat melihat nama yang tertera di layar. Liana. Mau apalagi dia? Semalam dia sudah mengirimiku seabrek
an lariku selama 15 menit ke depan, sampai kakiku terasa kebas dan napasku nyaris habis. Dengan
masuk. Aku menatap layar dengan jengah. Lagi-lagi Liana. Apa maunya sih? Tak bisakah dia mem
menghakimi para pengunjung restoran lain, noda anggur di kemeja putihku... Lalu tiba-tiba muncul bayan
la. Kami hanya berbasa-basi sejenak, tanpa obrolan berarti. Tapi entah bagaimana dia berhasil meninggalka
s pikir. "Sampai kapan kau mau lari dari komitmen, Ray?" tegurnya saat itu. "Suatu saat nanti kau harus berhenti main-main dan mulai serius. Atau ka
, bukan aku. Kau tidak pernah mengalami sakit hati seperti yang kualami. Tidak
, kemudian melangkah ke bilik shower. Guyuran air dingin sedikit menyegarkan pikiranku yang kalut
aku melangkah ke luar gym menuju parkiran. Mobil sedanku sudah menunggu di sana. Sambil bersiul pelan, aku masuk
Apakah aku memang harus mengubah caraku selama ini? Apakah aku harus berhenti membatasi semua hubunganku? Tapi..
ariku yang lain menari lincah di atas layar, membuka kontak dan mencari nama Liana. Harus kuakhiri semua ini. Jika
p. Semua panggilannya tersumbat. Semua aksesnya padaku tertutup. Aku menghembuskan napas panj
o. Sudah lama kami tidak bertemu, jadi aku mengajaknya makan siang bersa
ku. Dia duduk di meja dekat jendela, dengan kemeja biru muda dan celana kain hitam. Wajahnya yang
undakku. "Aku sampai lumutan menunggumu dari tadi. Aku nggak
ori, tadi macet di jalan," dalihku sambil meraih
Yang Mulia Rayhan." Rico menyeringai, yan
a seafood kesukaanku, sementara Rico memilih steak tenderloin dengan kentang goren
begitu kami tinggal berdua, "aku
pkan aturan 30 hariku seperti biasa. Liana saja yang terlalu
ak korbanmu selama ini? Apa kau tidak kasihan pada mereka?" cetusnya,
sejak awal aku sudah jujur pada mereka? Aku tak pernah berjanji apa-apa. Mereka
ur hidup. Suatu saat nanti kau pasti membutuhkan pendamping. Seseoran
ong jangan samakan aku denganmu atau orang lain. Kau beruntung m
ingin membantah, tapi tak ada suara yang keluar. Aku memalingkan muka, mena
an lahap kusuap nasi pastaku. Samar-samar tercium pula aroma seafood - udang, cumi,
esekali terdengar. Rico tampaknya tak ingin mendesakku lagi, dan aku sangat mengh
angkat bicara. "Well, aku tak bermaksud mencampuri urusanmu atau menggurui. Kau sudah
co baik. Dia sahabatku, tentu saja dia ingin melihatku bahagia. Tapi dia mungkin tak paham, b
caraku sendiri. Tolong hargai itu," tuturku akhirn
Ray. Jika suatu saat nanti kau menemukan seseorang yang membuatmu ingin berubah, genggam
i entah kenapa terdengar lebih bermakna. Lebih menyentuh hati. Seolah dia tahu bahwa cepat at
, meski agak berat hat
hun ini. Kami larut dalam obrolan ringan yang menyenangkan, seolah persahabatan kami tak pernah terusik. Inilah yang kusuka d
ng saat perhatian Rico teralih ke arah pi
terkesiap kaget. Alda! Ya Tuhan, itu bena
anggun membalut tubuh rampingnya. Rambutnya yang coklat berkilau tertimpa cahaya matahar
ambat," sapanya ceria, sama se
baru selesai makan," balasnya. Lalu dia menoleh padaku. "Ah,
t dan coklat sedikit melebar, kentara terke
a memasang senyum. Dunia ini ternyata sempit sekali! Bagaimana bisa aku bert
ico memandang kami bergantian, wajahnya
lda. "Atau lebih tepatnya, tak sengaja bertabrakan." Ia
kau sedang kabur dari 'korban'-mu yang lain
tersenyum. "Omong-omong Rico, bukankah kau
mereka akan datang, kita tunggu saja di ruang VIP." Ia mengerling jahil p
yang tak bisa kumengerti. Kenapa aku merasa begitu... kehilangan? Padahal aku baru dua kali bertemu Alda,
ku tak bisa membiarkan diriku hanyut dalam angan semu yang mungkin hanya berujung luka. Bukankah selama ini aku s
ukubur dalam-dalam, perlahan bangkit dan berb
dak, aku tidak bisa gegabah. Aku harus memikirkan ini baik-baik
a pergi tanpa berusaha mengenalnya lebih jauh? Tanpa menc
ana, dengan tangan gemetar men
Alda dong. Ada sesuatu yang ingin kubicar
kiran. Jantungku berdebar tak karuan menanti bal
u. Sepuluh menit.
u. Mungkin dia menganggapku kurang ajar, berani mendekati teman wanitany
k meninggalkan kafe dengan pera
san masuk. Mataku membelalak tak pe
l