icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon

Pelangi Di Atas Singasari

Bab 4 Bunga tertawan Di Istana Pakuwon

Jumlah Kata:4193    |    Dirilis Pada: 13/02/2024

LS

ba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan serta-merta ia bangkit dan me

Semp

, seandainya Ken Arok tidak segera menangkapnya, dan membaringkannya kembali perlahan-lahan. Bah

ihat wajah Witantra itu menjadi merah padam. Dengan geramn

. Namun segera memakluminya. Karena itu seger

bahwa kau mempunyai beberapa nama dan sebutan. Namun kini tern

bukan W

mendengar pula Kuda Sempana menyebut nama

tahu, bahwa aku

orang menjadi terkejut dan heran karenan

dikku berbuat curang. Namun aku tidak menyang

ana pada waktu itu maka keadaan akan menjadi lain. Mungkin Kuda Sempana tidak akan berbuat seperti sekarang, dan mungkin Mahendra akan dapat mempertahankan dirinya daripadanya. Ketika Kebo Ijo memberikan keris kepada Mahendra, aku berk

ku ingat sekarang, ternyata kawanmu waktu itulah yan

isa Agni yang terbaring luka itu. Sehingga tiba-tiba Ken Arok menyela, "Kakang Witantra. Meskipun aku tidak mengetahui persoala

erguruanku dan dirinya sendiri. Ketika persoalan timbul antara Wiraprana dan Mahendra, maka Mahisa Agnilah yang mencoba menyelesaikanny

Kakang. Tunggulah sampa

dilan atas adik seperguruanku. Kalau ia telah berbuat atas

ang," sahut Ken Arok, "sekali lagi aku minta, bia

ini Adi," jawab Witantra, "persoalan i

a sedang

hannya. Apakah yang

ali tidak langsung itu. Biarlah itu berlaku masa-masa lamp

n dari masa lampau itu. Dari

sebab-sebab yang sama sekali tidak aku ketahui ujung dan pangkalnya. Namun kalau kau memaksakan persoalan sebab yang menimbulkan akibat ini,

aku cegah untuk berbuat tidak jantan. Sekarang persoalan itu ternyata telah diambil alih oleh Kuda

kang. Setidak-tidak

seseorang yang akan teta

aksana. Buatlah perhitungan, tetapi

ku Ken Arok!" bentak W

ukai Mahisa Agni, maka perasaannya telah tersinggung. Kini Witantra membentaknya lagi dalam persoalan yang bertolak belakang. Karena itu, maka Ken Arok itu pun menjawab dengan suara gemetar "Witantra. Aku sadari bahwa k

di dalam tindak pribadi. Aku akan membuat persoalan menjadi adil. Atas nama adikku Mahen

a Agni di padang rumput Karautan. Suara hantu padang yang menakutkan, "Kalau tetap pada pendirianm

cat berdiri. Dan hampir dalam saat yang bersamaan Ken Arok telah berdiri pula. S

kian anehnya sehingga suara tertawa itu benar-benar mengejutkan. Lebih-lebih bagi Witantra dan Ken Arok. S

tawa Agni?" ber

lah kalian," ber

pa orang yang duduk di sekitar mereka itu telah bergeser

hirnya mereka menyadari, bahwa suara tertawa yang aneh itu adalah suara tertawa yang melontarkan kepedihan yang

ut suara keadilannya. Aku membenarkan semua kata-katanya. Aku telah mengkhianati kejantanan Wiraprana menurut istilahnya. Kalau Witantra itu menuntut pengakuanku atas kecura

Arok, "apakah sebetulnya

untuk banyak berbicara Aku lebih senang menikmati perasaan nyeri di punggungku

r-putar di dalam benaknya, namun ia tidak dapat berbuat sesuatu.

nya Mahisa Agni yang terbaring diam. Bahkan se

u kau akan dapat menghindari setiap pertanggungan jawab yang harus kau berikan kepadaku, atas nama adikku Mahendra. Dengan lukamu itu kau akan dapa

ingkannya wajahnya memandang kepada Witantra yang ber

ucu!" benta

uda Sempana, Akuwu Tum

emakin tajam. Bahkan kemudian ia

bahwa orang-orang yang pernah aku kenal, ternyata

n meng

g kau lakukan itu wajar. Baru saja kau marah-marah kepada Ken Arok. Kau sangka anak muda itu melukai aku. Aku sangka

itantra dengan lantangnya. Wajahnya menjadi sem

kau tida

-wenangan. Aku tidak mau melihat

rti. Kau tersentuh rasa keadilanmu karena aku menamakan diriku Wiraprana. Kau tidak mau ikut serta dalam tindakan yang sewenang-wenang Namun apakah sebenarnya yang kau lakukan itu? Huh. Kau menentang perbuatan Akuwu Tunggul Amet

antra. Perempuan itu melihat bahwa Akuwu telah mengancam aku untuk menggantung aku besok. Nah, apalagi? Aku tidak mau ikut serta dalam perbuatan yang terkutuk itu. Perbuatan yang meninggalkan kebebasan perseorangan untuk berbuat menurut pilihan se

emuanya itu, karena semuanya itu akan menguntungkan orang lain. Menguntungkan Kuda Sempana. Bukan menguntungkan adikmu Mahendra. Tetapi Witantra yang bijaksana. Kau melihat sendiri, apa yang akan dilakukan oleh Mahendra. Keadilan yang kau katakan itu benar-benar timpang. Kalau Mahendra ingin memaksakan kehendaknya dengan kekuatan yang diagung-agungkan saat itu. Kalau Mahendra ingin mengadakan pertand

ya yang merah seakan-akan memancarkan nyala kemarahannya. Tetapi ket

"Mahisa Agni. Kau mencoba mencari alasan untuk melindungi kesalahanmu. Kau me

an aku tidak akan mencari dalih apa pun yang dapat menutupi kesalahan itu. Tetapi sekarang

ng jawab. Ia tidak memperalat kekuasaan atau orang lain. I

arus menentukan keputusan. Bukan kebenaran menurut penilaianmu. Kebebasan seseorang untuk menentukan pilihan. Bagaimanakah

n lamat-lamat dapat dilihatnya pula bahwa sebenarnya adik seperguruannya a

a suatu ketika ia harus menghadapi kekerasan. Karena itu, maka ia tidak pernah dengan sungguh-sungguh menekuni ilmu tata berkelahi dan tata bela diri. Ia percaya akan peradaban manusia yang semakin tinggi. Ia percaya akan kedamaian hati dan ia percaya bahwa manusia akan menentukan sikapnya dengan baik di antara sesama manusia, Namun ia menjad

Namun ia sama sekali tidak memperhatikannya. Perlahan-lahan darahnya kembali meleleh membasahi tikar tempatnya berbari

i sampingnya, "beristirahatlah. Jangan piki

gni. Dan sebenarnyalah bahwa pedih lukanya seakan-akan

ilaianmu atas diriku dan terserahlah kepadamu, apa yang akan kau lakukan. Kesalahan yang telah aku perbuat itu ternyata tidak ada gunanya. Aku hanya dapat menunda bencana yang me

a meletakkan tubuhnya duduk di samping Mahisa

telah terjadi. Ia pun kemudian duduk pula di samping Witantra dan dengan sepenuh ha

kukan?" terdengar sua

s harus dibebaskan dari himpitan kedukaannya. Kalau ia menjadi istri Kuda Se

itu pun sangat jauh daripada yang diharapkannya.

erkata, "Angger Mahisa Agni. Meskipun Wiraprana telah mati, tetapi aku masih akan mengucapkan terima kasih

Panawijen itu, maka dilihatnya betapa duka yang telah menggores di dind

ah aku mengambil kau sebagai gantinya. Aku ingin menumpang kebanggaan Empu Purwa yang telah memiliki seorang anak laki-laki ya

atanya. Hatinya menjadi bertambah pedih, sakit dan pahit. Ia harus menghad

mpir tidak terdengar ia berkata, "Akhirnya hal ini terjadi. Wiraprana pernah berkata kepadaku, kalau Kuda Sempana mendapat ke

k di samping Mahisa Agni menjadi semakin jelas. Dan Ki Buyut P

i Buyut Panawijen, "hanya karena di padukuhan ini dil

di redup. Ken Arok duduk tepekur sambil menggores-gores lantai dengan kuku-kukunya. Sedang emban pemomong Ken Dedes y

membawa Wiraprana. Mayat itu akan aku rawat dan akan merupakan peringatan bagi kita, bahwa seorang

akit, sehingga Ki Buyut Panawijen itu menahannya, "Jangan Ngger. Tid

alam. Desahnya, "Sayang. Aku tida

Ki Buyut, "kau sendiri

n, "Ken Arok. Tolonglah aku. Aku ingin meliha

. Katanya, "Apakah tidak lebih bai

menggeleng "Tidak tolong

ke halaman, untuk melihat wajah sahabatnya terakhir kalinya. Witantra dan emban tua it

ahisa Agni menekurkan kepalanya. Alangkah pedih h

kah dengan gadis itu? Namun kembali wajahnya terkulai lemah. Ken Dedes telah pergi jauh. Jarak Panawijen sampai ke Tumapel adalah jarak yan

ul di dalam hatinya. Seandainya, ya, seandainya Ken Dedes tidak pernah dilepaskannya kepada Wiraprana, apakah peristiwa seterusnya akan berbeda? Seperti pik

Yang lewat biarlah lewat, teta

gar Ki Buyut Panawijen berkata, "Angge

a, ia tidak dapat membendung gelora perasaannya. T

" desis Mahisa Agn

yang telah membeku. Beberapa orang cantrik segera m

n," desis

ampai hilang di balik regol halaman. Sesaat mereka

punggungnya dan pedih di hatinya. Kemudian kat

pahnya Mahisa Agni masuk ke dalam biliknya. Witantra dan

nggalkannya. Tetapi tak sehelai benang pun yang berubah sejak ia pergi. Bahkan tak sebutir debu pun yang mengotori seti

ahun-tahun bersama-sama dengan seorang gadis yang bernama Ken Dedes dan seorang sahabat yang hampir setiap hari

antra berdiri kaku di samping pembaringannya. Dan dilihatn

Agni selain emban tua itu. Sepeninggal Wiraprana, maka hadirlah Ken Arok dan Wi

rengah-engah Mahisa Agni yang terbaring itu pun kemudian mencoba untuk menenteramkan hatinya,

annya. Sebab emban tua itu pun berkata, "Mahi

dah meminta kepada Ken Arok untuk mengamat-amat

," desah emban tua itu, "aku adalah pemomo

nuhi permintaan itu. Namun tiba-tiba Witantra itu

" sahut pe

i, biarlah perempuan tua itu ikut ke Tumapel. Sebelum itu dapat menemui Ken De

gu-raguan. Apakah orang itu berkata dengan ju

ainya. Meskipun, demikian ia tidak menjawab. Ditatapnya wajah Agni yang pucat itu, berganti-ganti dengan w

untuk sementara tinggal bersama keluarga Witantra atau keluarga Mahendra di Tumapel. Setiap kesempatan akan segera dapat d

h baik daripada itu. Karena itu, maka jawabnya, "Aku sebenarnya

akan berkebe

e Tumapel dan singgah sementara di dalam lingkungan keluarganya. Mungkin kesempatan itu akan datang, berada

n tua itu pergi. Dengan penuh harapan Mahisa Agni berpesan kepada Ken Arok dan

encoba," sah

-gesa membenahi pakaiannya. Beberapa lembar k

siap," kata

berkata Ken Arok sambil

melangkah mendekati Mahisa Agni. Bisiknya,

ta Witantra itu. Karena itu maka ia pun menjawab, "Aku juga minta maaf k

akan persoalan it

njawab, tetapi ia ha

a Witantra kemudi

angisnya perempuan itu berkata, "Agni. Lekaslah sembuh. Aku terpaksa pergi ke Tumapel. Mudah-mudahan aku dapat berb

bertemu, bercakap dan bergurau. Tetapi perempuan ini bukan sekedar orang asing yang sudah menjadi kerabat dalam satu keluarga. Tetapi perempuan itu adalah ibunya. Karena teras

di pintu sekali lagi ia berpaling. Ditatapnya wajah Agni yang pucat. Dan bibir perempuan itu bergetar-getar, namun tak sepatah kata pun yang terloncat keluar. Tetapi di da

tu mau juga naik ke atas punggung kuda dengan dilayani oleh Ken Arok. Mereka berdua naik di atas satu punggung kuda. Sedang Wita

ta yang cerah. Namun di belakang kecerahan wajah kot

pernah tersangkut di hatinya, satu-satu telah meninggalkannya. Wiraprana tel

pat menghibur dirinya sendiri dengan kata-kata itu. Kepergian Ken Dedes kali ini tid

a melepaskan ibunya dengan penuh harapan. Setidak-

Buka APP dan Klaim Bonus Anda

Buka