Menyerah atau bertahan
b
u Ibu di masukkan semua ke dalam pla
Bu! Kita sudah di usir dari si
leh Ivan. Di luar, sebuah mobil pik-up sudah m
i dia mati, ku ludahi mayatnya. Dasa
i merasakan seperti aku ini. Pilih i
elihat Ibu sudah duduk di dalam mobil pengangkut barang. Terdengar suara mesin mobil di hidupkan, perlahan mobil itu
🌷
mbahagia kan Ibu. Sejak aku menikah dengan suamiku bernama Beni, Ibu tinggal bersama adikku, dengan mengontrak sebuah rumah kecil. Ivan dan Dery yang bergantian mengurus dan membiaya
berusaha membawanya berobat ke dokter dan meminumkan ramuan yang bisa menetralkan penyakitnya. Karena Ibu mulai sakit-sakitan, ku bujuklah Bang Beni suamiku ini, agar mengizinkan Ibu tingg
gurus Ibu. Setelah punya anak tiga barulah bisa terwujud. Awalnya semua baik-baik sa
ikku bekerja dari pagi hingga malam. Sebulan tinggal bersamaku, kok tubuh Ibu semak
untuk menjenguk. Lalu ku telfon adikku, agar datang ke rumah. Adikku kaget melihat kondisi Ibu yang tambah lemah.
🌷
erobat ke rumah sakit, biar sembuh tak lemas seperti ini. Ia pun menyetujuinya. Aku minta izin ke Bang Beni untuk membawa Ibu berobat. Dia diam saja tak menjawab. Aku pun berlalu dar
g Ibu udah sakit nih, dari ta
elah kanan, sudah nampak dari jauh rumah
Ibu tak usah takut, kita cuma perigin jalan-jalan lagi. Harus sehatlah
si roda. Perawat menyambutnya di depan pintu masuk, lalu membawa Ibu ke ruang UGD. Aku dan adikku pun bingung. Ibuku kan tidak sa
rangtua seusia Ibu. Takut pecah pembuluh darahnya, bisa berakibat fatal bagi pasien." Perawat pun
an rumah sakit. Ia merasa cemas dan ketakutan. Dan itu lah penyebab tensinya naik secara tiba-tiba. Akhirnya
🌷
tahu pada Bang Beni kalau Ibu sekarang ada di rumah sakit
pa yang bayar biaya rumah sakitnya. Nanti kalau mati siap
sehatan dari pemerintah, tak ba
jadi sesuatu dengan Ibumu, aku tak
manusia atau b
ku pun berlalu masuk ke kamar meninggalkan Bang Beni yang masih
ergi meninggalkan Ibu. Dan lari bersama lelaki yang sekarang jadi suamiku. Setiap pulang kerja ia mengomel dan memakiku dengan
ndiri di kontrakan. Lagian anakku pun masih kecil-kecil, masih repot mengurusnya. Biar lah kami bergantian mengurus Ibu, pikirku kala itu. Setiap m
amar yang di pakainya itu! Di sini
gian kita tinggal di sini pun tak bayar. Hanya menempati rumah pabrik. Di berikan ru
kut peraturanku. Kalau tak suka silakan pergi dar
marah dan kecewa terhadapku. Dengan orangtua sendiri pun perhitungan sekali. Pasti
a penghasilan. Kalau ku lawan, tak di beri nya uang belanja, lalu anakku hendak makan apa. Begitu Ivan gajian langsung di b
mbung