Alkisah Bunga Teratai
hampir mencapai setengah abad sedang berada di depan kompor gas. Dia sedang memanggang selembar roti gandum di atas fryi
elai cokelat sebagai pembuka selera makan pada pagi hari. Dia yang mengenakan seragam SMA sebentar lagi akan berangkat, maka terlebih dah dimasak sebelumnya. Makanan itu dihidangkan di atas meja makan yang telah dialasi pi
i Kusuma. "Dari tadi dia belum keluar, Bu, dari kamar mandi. Gak tau tuh ngapain aja," jawabnya yang lan
objek pembicaraan jauh di sana. "Kalau mau roti lagi, ambil aja yang paling atas. Atau kalau mau dibawa bekal
atas, dia mendekati sebuah ruangan yang tidak jauh dari tangga. Rumah dua lantai ini menjadi saksi bisu akan aktivita
sangat hening ketika diteliti lebih jauh lagi. Tidak ada jawaban pula,
dari ruangan lain di dalam kamar. Sudah pasti sang puan yang dicari berada di dalam sana. Tetapi yang men
eperti sedia kala. Tapi saat baru saja mengangkat selimut tebal, satu buku catatan kecil terlempar ke atas ran
um tahu kejadian sebenarnya. Ketika membaca tulisan sang puan, dia mengerutkan kening. Tulisan itu berisi nama-nama orang y
erdengar. Saat ibu menoleh, gadis itu keluar dengan baju lengan panjang dan mengalun
bicaraan di antara dirinya dan Jingga. Dia mengang
tampak tidak tertarik untuk membahasnya. Tanpa membawa rasa be
mpi seperti
kan mengucapkan salam perkenalan kepada rambut yang butuh perawatan. Dia meng
ita itu membantunya mengibas-ngibas helaian rambut yang belum kering. "
agi dan menggangguku tanpa henti. Aku akan terus melihat hal yang sama sampai aku muak dengan itu," ujar Jingga yang
mimpi itu dan mungkin orang lain akan menganggapmu tidak normal.
l seolah aku lahir dari dunia lain. Padahal kalau aku memiliki kemampuan ini atau tidak, gak bakal
mu gak k
leh karena itu, dia memberi sebuah pelukan hangat kepada wanita yang sangat disayangi dalam hidupnya. "Aku juga terganggu, Bu, tapi aku tahu cara menanganinya. Pasti ada alasan kenapa hanya aku yan
u ya
Percaya aj
tenang setelah diyakinkan sang putri tertua dalam silsilah keluarganya. Dia
us kota. Ada karyawan kantor yang masuk pagi, ada murid-murid sekolah, ada juga guru dan tenaga pengajar la
h seperti kota maju di masa depan. Akhir pekan juga tidak dapat dielakkan. Selain bus, ada juga warga kota yang menggunakan ke
gga menengok ke sisi kiri dan kanan untuk mencari bangku, tapi tidak ada lagi yang tersisa. "Pulang n
ai sini," balas Chandra. Pada saat yang sama, bus berwar
a melihat sebuah objek yang sama. Tidak butuh waktu lam
ada
lagi melihat adiknya yang tidak tahu duduk di bangku bagian mana. Tidak lama setelah itu, p
ebelum tiba di gerbang perumahan yang tidak jauh dari halte. Di hadapan, dia melihat beberapa pejalan kaki dan se
eh ke arah belakang. Di persimpangan, orang yang mengendarai sepeda tadi mengalami kecelakaan karena ditabrak mobil yang melintas dari arah simpang.
gguna sepeda tersebut. Seperti kawanan semut yang ketumpahan gula. Be
Cant
i menghilang dalam satu kedipan mata. Seolah kecelakaan itu tidak pernah ada.
sepeda tahu-tahu saja sudah berada di depan mata untuk menyapanya. Perawak
bibir dan menatap sang puan dengan sorot mata cerah. Jingga menganggukkan kepa
k tawarannya. "Makasih atas tawaran
ya. Lo juga hati-hati. Entar lo digodain lagi sama mas-mas freak di s
dah memutar badan dan melanjutkan
g-ngomo
lum beranjak dari tempat. Pemuda itu berkata, "Nama lo Jingga 'kan
gue Ji
nya. Kenalin juga. Nama gue Justin," ucapnya dengan semangat
erjadi berteriak sekuat hati. Tetapi yang bisa dia lakukan adalah diam di tempat. Sadar
hnya terpental dari sepeda. Darahnya keluar dari kepala saat punggungnya baru saja menyentuh aspa
sa mencegahnya bahkan meminta Justin untuk kembali. Dia sadar pemuda itu tidak bisa terpisah dari takdir yang sudah diputuskan. Pe
*