/0/13690/coverorgin.jpg?v=34d407bff7def1b62c3b6d9da1a2d824&imageMogr2/format/webp)
“Aku bener-bener sudah menyerah, Pak!” pekik tertahan dari seorang wanita berusia 45 tahun.
Lelaki berusia 55 tahun berbaring kaku di atas tempat tidur, tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Tatapannya kosong, menembus langit-langit kamar yang tampak biasa saja, seolah tak ada lagi yang bisa dia perbuat. Wajahnya menyiratkan penyesalan dan keputusasaan yang mendalam.
Di sampingnya, seorang wanita berbaring membelakanginya. Keheningan di antara mereka terasa menekan. Lelaki itu terjebak dalam pikirannya sendiri, meratapi kegagalannya. Ia merasa telah berusaha, tetapi kembali gagal memberi kepuasan pada istrinya. Perasaan tak mampu, tak berdaya, dan tidak cukup menghantui setiap sudut hatinya, mengikis kepercayaan dirinya.
Keheningan yang semula mendominasi kamar tiba-tiba terpecah oleh helaan napas berat dari sang istri yang masih cantik dan bugar, menahan kekecewaan yang kian memuncak. Perlahan, dia membalikkan tubuhnya menghadap suaminya yang masih terpaku menatap langit-langit, lalu berkata dengan nada dingin, namun tajam.
"Berapa lama lagi kamu mau seperti ini, Pak? Aku capek..."
Lelaki itu tersentak, meski tetap tak segera menoleh. Dia tahu ini akan datang, tapi tak pernah siap menghadapinya.
Suaranya serak saat menjawab, "Aku... Aku sudah berusaha, Bu. Kamu tahu itu..."
Sang istri duduk, menyilangkan tangan di dadanya. Matanya berkilat dengan kemarahan yang selama ini terpendam.
"Berusaha? Itu yang kamu sebut berusaha? Sudah berbulan-bulan kita seperti ini, dan aku—aku tidak tahan lagi! Kita punya empat anak yang sudah dewasa dan berumah tangga, Pak. Di balik pintu ini, aku merasa... kosong. Merasa sendiri. Kamu tahu itu? Kosong!"
Mendengar kata-kata tajam itu, lelaki itu merasakan pukulan lain pada harga dirinya yang sudah rapuh.
"Aku tahu... Aku tahu, Bu... Aku cuma... aku cuma..." katanya terbata-bata, merasa tak punya kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. Keberhasilannya sebagai petani sukses, penghasilannya yang melimpah, semua terasa tak berarti lagi ketika dia gagal dalam urusan rumah tangga yang paling pribadi.
"Jangan beri aku alasan lagi!" potong istrinya dengan cepat. "Apa gunanya semua uang dan ladang yang kamu punya kalau kita... seperti ini? Kamu sibuk di luar, sukses, dihormati, tapi di sini... kamu bukan siapa-siapa. Aku merasa seperti perempuan tak punya suami!"
Lelaki itu menoleh perlahan, tatapannya penuh rasa sakit dan ketidakberdayaan. "Aku minta maaf, Bu... Aku benar-benar sudah berusaha. Ini bukan soal keinginan, ini soal... aku..."
“Aku tidak butuh kata-kata maaf!" balas istrinya dengan suara yang mulai bergetar. "Aku butuh kamu. Aku butuh suami yang masih bisa aku andalkan! Lelaki jantan walau sudah tua. Aku nggak bisa terus hidup dalam kekosongan ini. Aku masih perempuan normal, Pak! Aku juga butuh... butuh nafkah lahir batin yang seimbang!"
Tangisan tipis terdengar dari tenggorokan sang istri yang tercekat, sementara suaminya hanya bisa diam. Kata-kata itu menggantung di antara mereka seperti dinding yang tak kasat mata—kekosongan yang begitu nyata, namun tak pernah terucap. Pertengkaran kecil itu terasa lebih menyakitkan daripada ledakan emosi besar.
Setelah pertengkaran itu, lelaki itu terpuruk dalam kebisuan. Kegagalan dan rasa bersalah terus membebani. Dia semakin tertutup, jarang berbicara dengan istrinya. Hari-harinya hanya diisi oleh pekerjaan di sawah dan ladang, diiringi keheningan yang menghancurkan hatinya. Bahkan enggan bertemu atau bahkan bermain dengan cucu-cucunya.
Suatu sore, saat pulang lebih awal, suara dari kamar mengusik langkahnya. Firasat buruk muncul. Dengan hati-hati, dia mendekat, mengintip melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Pandangannya tertuju pada istrinya—dan anak buahnya, terbaring bersama di ranjangnya.
Dunia lelaki itu runtuh seketika. Napas tersengal, tubuhnya kaku. Pengkhianatan dari istri dan anak buahnya sendiri menusuk lebih dalam dari sekadar kecurangan. Tanpa kata, dia mundur, menjauhi kamar dengan hati hancur.
Saat itu juga, dia menulis surat cerai. Tak ada keributan, tak ada luapan emosi. Saat istrinya dan anak buahnya keluar dari kamar dengan wajah ceria penuh kepuasan, dia hanya berkata, "Kita selesaikan di sini saja. Aku sudah nggak punya apa-apa lagi untukmu. Dan kalian harus menikah nantinya."
Istri dan anak buahnya tertegun. Namun akhirnya istrinya menandatangani surat itu tanpa perlawanan. Semua berakhir tanpa drama. Mereka berpisah dengan perasaan campur aduk—kehilangan, kesedihan, tapi juga lega.
Lelaki itu menatap langit, menarik napas panjang. Hidupnya tak seperti yang dia bayangkan, tapi kini dia melangkah lebih ringan, tanpa beban dan kebohongan.
^*^
/0/24416/coverorgin.jpg?v=3f42961cc95c0f05100f937190aa6aeb&imageMogr2/format/webp)
/0/6796/coverorgin.jpg?v=77ceec9053e5593ed76133f01eef5393&imageMogr2/format/webp)
/0/11003/coverorgin.jpg?v=4c9c871159c713d743e3a5910adc5aa8&imageMogr2/format/webp)
/0/5470/coverorgin.jpg?v=cbdf88d81c2addfd83ee09b879732ab1&imageMogr2/format/webp)
/0/10518/coverorgin.jpg?v=8ff38c6e7cbca3345dd52772a7e0e1aa&imageMogr2/format/webp)
/0/6688/coverorgin.jpg?v=2b549a2a6472ff248b6848f3fc2699be&imageMogr2/format/webp)
/0/4309/coverorgin.jpg?v=b5780a5b1873c92bc5151b1dde0265dc&imageMogr2/format/webp)
/0/26509/coverorgin.jpg?v=830b73a37413432e6f7ce9f1b5ade740&imageMogr2/format/webp)