/0/15094/coverorgin.jpg?v=e47e40b3c69070a2e7c84429b1b2df6d&imageMogr2/format/webp)
Keira. Aku benci nama itu. Selama dua puluh tujuh tahun, nama itu identik dengan 'gadis baik-baik', 'gadis yang tahu diri', 'gadis yang menyimpan mahkotanya untuk malam pertama'.
Sekarang, nama itu cuma jadi bahan tertawaan se-Jakarta Selatan.
Semua orang tahu. Semua. Mulai dari tante-tante arisan di Menteng sampai penjual kopi keliling di depan kantor Ayah, mereka semua tahu: Pernikahan Keira dan Adnan batal seminggu sebelum hari-H. Alasannya klise, menjijikkan, dan sangat menusuk harga diri: Adnan menghamili wanita lain.
Dan kenapa dia menghamili wanita lain? Karena Keira terlalu suci.
"Lo bilang lo mau jaga diri, Keira! Demi apa?! Demi mahkota yang sebentar lagi jadi barang rongsokan?! Demi dia?" Sarah, sahabatku sejak SMP, membanting segelas es kopi di meja kafe yang sepi. Matanya merah, lebih marah daripada mataku sendiri.
Aku cuma menatap genangan es kopi yang mulai mencair di meja marmer. Kenapa aku harus repot-repot memarahi Adnan, kalau seluruh alam semesta sudah melakukan itu untukku?
"Gue nggak bilang gue nyesel," kataku pelan, suaraku serak. Gaun pengantin yang rencananya mau kupakai sudah tergantung rapi di lemari, dikelilingi sarung plastik. Setiap melihatnya, perutku serasa diaduk-aduk. Bukan cuma marah, tapi jijik pada diriku sendiri.
Aku menjaga prinsip itu mati-matian. Bertahan dari godaan Adnan selama tiga tahun pacaran. Malam Minggu kami selalu diakhiri dengan kecupan di kening, bukan desahan di kamar hotel. Aku bangga. Aku merasa istimewa.
Ternyata, Adnan merasa bosan.
"Dia bilang, dia nggak kuat, Keira. Nggak kuat," Sarah mengulang kata-kata yang sempat Adnan bisikkan padaku dalam telepon memohon maaf dua hari lalu. "Sinting! Lo tunangannya, lo yang seharusnya jadi satu-satunya. Kenapa lo masih anggap prinsip itu mulia kalau akhirnya lo yang dicampakkan?"
Aku terdiam. Ya, kenapa?
Aku menyimpan sesuatu yang sangat berharga, yang kubayangkan akan kuserahkan pada suamiku di malam sakral pernikahan. Aku membayangkan momen itu sebagai penobatan, sebagai perayaan kesetiaan.
Ternyata, di mata Adnan, 'kesetiaan' dan 'kesucian' itu cuma jadi rem. Rem yang dia injak sampai dia menemukan jalan lain, jalan tol yang lebih cepat, ke wanita lain yang tak punya rem.
"Gue capek jadi suci," bisikku pada Sarah, nyaris tak terdengar.
Sarah langsung menoleh, wajahnya tegang. "Maksud lo?"
Aku mengangkat pandangan, menatap Sarah lurus-lurus. Di bola matanya, aku melihat pantulan Keira yang baru: mata yang mati, tapi menyimpan api yang siap membakar.
"Gue bakal nikah, Ra. Dalam dua minggu ini."
Sarah terbatuk. "Lo serius? Sama siapa? Siapa yang mau sama lo setelah skandal ini?"
Sakit. Tapi benar. Siapa yang mau? Aku bukan lagi 'gadis baik-baik' yang siap dinikahi. Aku adalah Keira, korban pengkhianatan yang gagal nikah.
"Sama siapa aja yang mau. Tapi bukan nikah biasa. Ini marriage of convenience."
Awalnya, ide itu muncul seperti bisikan setan. Setelah malam nangis-nangis di kamar, aku membuka laptop. Mencari apa saja. Dan tak sengaja menemukan forum gelap tentang jasa pernikahan kontrak.
Awalnya itu cuma lelucon, tapi semakin kupikirkan, semakin masuk akal. Ini bukan tentang cinta lagi. Ini tentang membuktikan. Membuktikan pada Adnan, pada keluargaku yang malu, dan yang paling penting, pada diriku sendiri, bahwa Keira tidak lagi takut pada sentuhan.
Keira bisa memilih. Keira bisa mendominasi.
"Syarat utama gue cuma satu," lanjutku, suaraku kini lebih tegas. "Gue nggak mau nikah kontrak yang cuma formalitas. Gue nggak mau pisah kamar. Gue nggak butuh cinta atau harta, tapi gue butuh malam itu."
Sarah mencondongkan tubuh, matanya membesar. "Lo... lo mau jual mahkota lo, Keira?"
"Jual?" Aku tertawa, tawa yang terdengar seperti pecahan kaca. "Bukan jual. Ini transaksi. Aku udah simpan ini baik-baik, tapi dia jadi alasan aku dikhianati. Sekarang, aku mau kasih ini ke pria yang nggak peduli sama sekali. Pria yang nggak akan pernah mengungkit 'kesucian' ini lagi. Aku mau buang beban ini."
Aku menghubungi kontak yang kudapat dari forum itu. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang bergerak cepat. Nama pria itu muncul: Dion. Profilnya minim. Pengusaha, usia sekitar tiga puluhan, butuh 'istri' untuk memenuhi syarat warisan atau perjanjian bisnis. Transaksional. Sempurna.
Pertemuan pertama kami diadakan di sebuah kantor pengacara yang sangat dingin, di lantai paling atas gedung pencakar langit. Dion duduk di seberang meja kaca tebal, didampingi pengacaranya yang tampak kaku.
Dia adalah pria yang tenang. Sangat tenang. Terlalu tenang, malah. Wajahnya tampan dengan garis rahang tajam, mata gelap yang sangat profesional, dan setelan jas yang terlihat mahal. Dia memancarkan aura 'uang' dan 'bisnis', bukan 'cinta' atau 'gairah'.
"Jadi, Nona Keira," kata pengacaranya, suaranya kering, "Anda sudah membaca draf kontraknya. Anda setuju dengan durasi satu tahun, kompensasi finansial, dan tidak adanya hak waris?"
Aku mengangguk, melirik Dion yang hanya menatapku tanpa ekspresi, seolah aku adalah sebuah proposal investasi yang kurang menarik.
"Saya setuju dengan semuanya," kataku. Aku menarik napas dalam-dalam, ini bagian tersulit. Aku harus menyerang langsung. "Kecuali satu klausul. Tentang skinship."
Pengacara itu mengangkat alis. "Klausul 4.1 menyatakan bahwa keintiman fisik tidak diwajibkan dan akan didiskusikan dari waktu ke waktu. Apa keberatan Anda?"
Aku mendorong map tebal itu ke tengah meja. Mataku lurus menatap Dion, mengabaikan pengacaranya.
"Keintiman fisik tidak diwajibkan, tapi saya mewajibkannya," kataku. "Saya tahu ini pernikahan kontrak. Tapi saya mau satu hal dari Anda, Tuan Dion."
Dion akhirnya bereaksi, meski hanya sedikit. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi kulit, pandangannya tetap datar. "Apa itu?"
/0/30153/coverorgin.jpg?v=4de25308a5c79d794d091b981d2b1e14&imageMogr2/format/webp)
/0/5356/coverorgin.jpg?v=ffda3a761434a6526b416ab99b2fbf53&imageMogr2/format/webp)
/0/29173/coverorgin.jpg?v=1dcb4e2f61ac8c9239f0cd7c6807ea17&imageMogr2/format/webp)
/0/23176/coverorgin.jpg?v=29df0eb71f180be0b26e24bee90a2844&imageMogr2/format/webp)
/0/5638/coverorgin.jpg?v=ac6e1142b93103ee1ef1cb162c971dc1&imageMogr2/format/webp)
/0/13134/coverorgin.jpg?v=9d80efd0e0ccd9371498b582e62c4aa6&imageMogr2/format/webp)
/0/19449/coverorgin.jpg?v=4d31b0e31059b4191b700f800bf00d57&imageMogr2/format/webp)
/0/29100/coverorgin.jpg?v=03be4522533c953cafeb3bf578abe6ab&imageMogr2/format/webp)
/0/4193/coverorgin.jpg?v=7015db8782cda68d196a0c4fe63039f5&imageMogr2/format/webp)
/0/19807/coverorgin.jpg?v=7e8c6aec421b352f16d080836299290c&imageMogr2/format/webp)
/0/10098/coverorgin.jpg?v=76fa2e4069af95af0652da326c5a578a&imageMogr2/format/webp)
/0/27606/coverorgin.jpg?v=6ec4f207f52e481d680f04e3e9fb6f14&imageMogr2/format/webp)
/0/16080/coverorgin.jpg?v=82c42b37571355a9dd5552a48607d63c&imageMogr2/format/webp)
/0/17691/coverorgin.jpg?v=7e5c276000575bd8df0b24150b3f5521&imageMogr2/format/webp)
/0/12672/coverorgin.jpg?v=e267e35c6f73324fb77bb52565e1bcfb&imageMogr2/format/webp)
/0/12697/coverorgin.jpg?v=a0855fc8ab55c7606ce607d6619d7a60&imageMogr2/format/webp)
/0/23663/coverorgin.jpg?v=20250429185631&imageMogr2/format/webp)
/0/23402/coverorgin.jpg?v=956d1bff272bfc1af42c4423b22a8af3&imageMogr2/format/webp)