Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Pekan ini keluarga kami tengah sibuk-sibuknya. Sebab saudari tertuaku, Kak Irma bakalan melangsungkan pernikahan dengan pria super tajir dan menawan. Macam manusia yang keluar dari Webtoon yang sering kubaca. Seorang bos besar, CEO muda atau apalah itu. Aku kurang tahu apa profesi utama beliau. Aku tidak terlalu pengin tahu tentangnya. Cukup tahu saja bahwa dia akan jadi kakak iparku nanti.
Aku dipilih sebagai bridesmaid yang akan mengiringi kak Irma di pelaminannya, tidak lama lagi. Dalam undangan yang disebar, hari Minggu jadi hari di mana acara itu akan dilangsungkan. Bahkan sebagai pengiring pengantin wanita, kami telah merencanakan akan menggunakan gaun putih berpadu dengan warna mint sebagai dress code. Oh, membayangkannya pasti sangat mewah acara pernikahan itu. Dua sepupuku dan satu sahabat kak Irma juga jadi pengiring pengantin wanita yang akan berdampingan denganku esok.
Aku bertanya-tanya, di mana dan bagaimana bisa kakakku bertemu dengan pria semacam itu. Pria yang bakal jadi suaminya nanti. Jika aku ada diposisinya, barangkali aku juga bakal bahagia. Sebab akhirnya bisa menikah dengan manusia sesempurna itu.
Maksudku, kakak sangat beruntung punya calon suami yang romantis, ramah, baik, memperlakukan keluarga kami dengan sopan, menyayangi ayah dan ibu kami. Bahkan dia juga perhatian. Selain nilai plusnya itu, calon kakak ipar juga punya penampilan yang cukup menawan, badannya tinggi, selalu berpakaian rapi dan terlihat bugar sepanjang hari.
Aku bertanya-tanya, apa pekerjaan kakak ipar (sekali lagi itu terlintas di dalam benakku). Kak Irma bilang, beliau bekerja sebagai direktur perusahan besar asal Singapura, makanya beliau selalu tampil rapi dan bersolek, tak pernah lepas dari setelan pakaian formal. Aku mengangguk setuju, jika demikian penjabarannya. Bisa dilihat dari sisi manapun, kakak ipar memang sangat pantas dengan riwayat pekerjaannya. Bersolek dengan setelan jas mahal nan rapi.
Kakak ipar berusia tiga puluh empat tahun. Berbeda lima tahun dengan kak Irma. Sementara aku dan kakakku terpaut berbeda lima tahun pula. Sejak kecil aku dan kak Irma hidup bersama dengan ayah dan ibu. Kami adalah teman sepermainan, sampai dewasa pun begitu. Selalu berbagi rahasia, terutama soal siapa yang kami suka. Haha, kedengarannya setiap rahasia yang kami miliki tidak ada yang namanya bersifat rahasia. Karena ujung-ujungnya pun tetap bakal ketahuan juga.
Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Aku masih memiliki adik lelaki, usianya tujuh belas tahun. Pertengahan tahun depan, dia sudah lulus SMA. Bakal melanjutkan studinya ke Perth, Australia. Rencananya begitu. Keluarga sepakat mengirim Iqbal terbang ke negeri kanguru buat menimba ilmu dan kelak bakal jadi orang hebat. Bah! Ambisi sekali kedengarannya.
Menyoal keluargaku, saat ini aku ingin bercerita dahulu tentang keluargaku. Ayah adalah kepala grup BUMN dan ibu adalah seorang dosen di universitas dalam kota. Sementara kakak adalah presenter, aku adalah sekretaris di perusahaan besar nasional di Jakarta.
Ini adalah tahun keduaku bekerja di perusahaan yang sampai saat ini masih aku datangi. Maksudku, saat ini aku masih bekerja sebagai sekretaris. Ini adalah posisi ternyamanku dalam jenjang karier yang selama ini aku impikan. Untuk urusan percintaan, aku belum kepikiran menjalin hubungan apapun dengan para pria di dunia ini.
Semenjak aku mandiri dan bisa mencari uang sendiri, rasa-rasanya bayangan untuk menikah dan ingin memiliki keluarga selayaknya wanita di luaran sana, ambil contohnya adalah kakakku—barangkali hanya bakal jadi wacana dan angan-angan semata. Masalahnya, aku belum siap untuk itu. Ditambah lagi, apapun yang aku inginkan, aku bisa memenuhinya. Jadi uang bisa mengalihkan pandanganku dari para pria. Sehingga aku tidak akan bergantung pada mereka.
Yah, walau keluarga sudah mengodeku dengan melontarkan pertanyaan “kapan nikah” atau “sudah punya pacar belum?” di dalam pertemuan keluarga, terutama di saat-saat hari raya. Walau pertanyaan itu agak menjengkelkan dan sedikit risih saat didengar, nyatanya aku hanya bisa tersenyum saja. Pura-pura mengiakan pertanyaan bodoh itu yang mengaitkan umur dua puluh empat tahun dan harus diburu-buru menikah takut jadi perempuan tua. Astaga, dikira aku tidak bakal laku, apa?
Heh, padahal aku saat ini dalam puncak karir yang bagus. Mana bisa buru-buru menikah. Lihat kak Irma. Di usianya yang ke-29, dia baru menikah. Walau kurasa kak Irma juga akan mupeng dan pernah melewati masa-masa yang sama dengan apa yang aku rasakan saat ini.
Baiklah, kembali ke topik awal. Tadi beberapa saat lalu, Iqbal—adikku disuruh kak Zacky, calon kakak ipar menemuinya di kamar tamu. Aku mengiakan perintah itu. Sebenarnya aku malas melangkah pergi, karena aku sedang disibukkan mengupas bawang-bawangan. Tetapi barangkali ada sesuatu yang penting untuk disampaikan, maka dari itu aku akhirnya memilih melangkah pergi. Meninggalkan dulu sebentar pekerjaan dapur ala-ala wanita rumahan.
Masuk ke dalam kamar tamu tempat kakak ipar istirahat, menemuinya. Katanya ingin bicara berdua, ini masalah penting. Aku sebenarnya heran, kenapa beliau ingin aku menemuinya, bicara sesuatu yang orang lain tidak boleh tahu. Padahal bisa saja dia menemuiku di tempat lain, tidak pula harus berada di dalam kamar.
“Permisi, kak Zacky mencariku?” Aku berdiri di perpotongan bingkai pintu. Mengetuk daun pintu itu lebih dahulu, sebelum melangkah masuk ke dalam. Orang yang dimaksud, berdiri di depan kaca jendela yang kordennya telah disingkap ke sisi kanan dan kiri jendela. Pria itu balik badan, menatapku lekat. Kemudian menyeringai tersenyum.
Dia mengangguk, lalu aku melangkah masuk makin jauh ke dalam kamar. Meski ini di rumah keluarga kami sendiri, tetapi jika ada beliau, rasanya aku cukup segan untuk saling bertegur sapa. Aku menelan ludah gugup.
“Oh, ya. Tadi kakak suruh Iqbal buat minta kamu datang ke sini.” Pria itu tersenyum lagi, aku pun membalas dengan senyuman canggung. “Ehm, kamu senggang nggak?”
Aku mengangguk pelan, “Ya, kayaknya sih. Kenapa memangnya, Kak?”
“Nggak ada apa-apa, sih. Sebenarnya kakak mau minta bantuan kamu. Jadi kakak mau buat suprise untuk Irma pas acara pernikahan nanti. Kakak perlu bantuan kamu buat memilih dekorasi yang bagus di acara pernikahan. Menurut kamu, ini konsepnya yang bagus yang mana, ya? Kakak mau minta pendapat aja sih.”
“Boleh aku lihat?”