Nita merupakan gadis yang diselimuti daya tarik. Sedangkan Arung hanya pemuda tak berguna yang kerap tersandung oleh kecantikannya. Awalnya Arung pikir semuanya akan menyenangkan, tapi rupanya dia salah. Perkenalannya dengan Nita justru membawanya terjebak dalam rentetan tragedi tak terduga. Kardiograf nadi meronta, suaranya menggema dalam pikiran, dan terkadang senyum-senyum sendiri. Ia belum gila, hanya sedang jatuh cinta. Hubungan dengan pacar sewaan secara alami mulai berubah, sedikit demi sedikit.
Namaku Arung Patonangi, umur 20 tahun dan baru saja masuk kuliah beberapa bulan lalu. Aku tinggal di salah satu rumah kost tak jauh dari kampus.
Sebagai mahasiswa aku tidak punya pekerjaan, tapi aku tidak pernah khawatir soal keuangan. Aku mendapatkan uang 300 juta dari keluargaku sebagai biaya hidup selama kuliah. Kalau habis sebelum lulus, aku tinggal minta lagi, alasannya bisa kupikirkan nanti saja.
Omong-omong aku sudah punya pacar, loh. Kutegaskan sekali kalau aku sudah punya pacar! Dan sekarang aku lagi di jalan mau ketemu sama dia. Asal tahu saja, hatiku saat ini sedang berbunga-bunga, rasanya aku tidak bisa berhenti senyum-senyum sendiri.
Setelah perjalanan yang terasa sangat panjang, akhirnya aku sampai di sebuah kafe di mana Leni sudah menunggu dari tadi. Aku yakin dia juga sudah tak sabar mau melihatku.
Aku langsung duduk di depan Leni, tersenyum sambil menatapnya dalam-dalam. Ketika pelayan datang bertanya aku mau pesan apa, aku cuma tunjuk dua menu secara acak tanpa melihat tulisannya. Rasanya aku tidak mau berhenti menikmati wajah gadis yang duduk di depanku.
"Em, Arung ...!"
Terasa jelas tempo detak jantungku meningkat waktu Leni memanggil namaku.
"Ya," lirihku menjawab singkat.
"Aku mau putus."
Saat itu aku belum mencerna apa yang dia katakan, masih larut dalam lamunanku, berandai-andai akan segala hal tentang kami. Hingga beberapa detik kemudian.
"Huh ...! Pu-putus ...?"
Leni mengangguk pelan. Isyarat itu membasuh harapanku luntur tak berbekas, sirna, habis tak tersisa. Dan entak kenapa aku jadi sok puitis begini, padahal ini cuma urusan cinta.
Andai saja kalian tahu seperti apa sulitnya mendapatkan pacar, terutama Leni. Perjuangan Rama mendapatkan Shinta yang diculik Arwana mungkin tidak ada apa-apanya kalau dibanding dengan perjuanganku. Mungkin.
"Tapi kenapa?" tanyaku.
Seperti orang pada umumnya, aku menuntut penjelas dari sesuatu yang tidak bisa aku terima.
"Maaf, tapi sekarang aku suka sama cowok lain."
Leni bilang begitu sambil tersenyum. Apa dia tidak tahu kalau alasannya itu membunuhku? Dan senyuman tak berdosa yang dia perlihatkan seperti sengaja mau membunuhku lagi setelah aku mati. Sebagai tambahan biar sakitku makin lengkap, hubungan kami bahkan belum sampai sebulan.
Lalu, setelah bilang putus dengan gampangnya, dia pergi begitu saja tanpa bayar makanan sama minumannya, dijemput sama cowok yang biasa saja membuatku makin kacau. Kalau itu laki-laki tajir atau good looking, aku masih bisa mengerti, tapi cowok itu levelnya mungkin berada di bawahku.
Perjalanan pulangku tak seindah saat berangkat tadi, walaupun masih sama mau cepat-cepat sampai.
Di kamar remang sederhana berhias poster yang tidak lagi indah, aku meratap. Mengutuk diriku yang sial, mengutuk laki berani-beraninya merebut Leni dariku.
Ini pertama kalinya aku merasa putus asa setelah putus cinta, selama ini belum pernah. Bukan karena apa, tapi Leni adalah pacar pertamaku. Setelah berhasil menghapus kutukan jomblo selama bertahu-tahun sampai aku berkarat, sekarang aku balik lagi ke titik awal.
Dua hari berlalu dan aku belum pernah tidur, tidak keluar kamar dan tidak datang ke kampus. Kuperiksa ponselku karena penasaran dengan status Leni, tapi dia sudah memblokir semua aku media sosialku.
Mungkin dia sama pacar barunya sudah enak-enak bersama. Bayangan erotis itu terus melekat di kepalaku, Leni yang mendesah ditindih seorang lelaki gelap dalam bayanganku.
"Aaakkhhh ...! Ini yang terburuk! Ini sudah melenceng! Kenapa aku malah nganceng di saat begini! Sial!"
Saat kuambil ponselku yang masih membuka aplikasi Facebook, aku melihat iklan yang menarik perhatianku.
"Pacar sewaan?" lirihku memutar klip iklan itu.
["Luar biasa dan bertalenta seperti gadis dalam mimpi! Bagus untuk lelaki yang tidak punya pengalaman dengan wanita! Membantu menghilangkan stres dan kegelisahan setelah putus cinta! Cukup bayar 500.000 per jam!"]
Kuletakkan kembali ponselku, aku tidak tertarik. Namun, bayangan Leni yang ditindih seorang lelaki balik lagi dalam kepalaku. Pada akhirnya kuambil lagi ponselku.
Dan keesokan harinya.
Aku berdiri menunggu di titik yang sudah kami sepakati. Aku tidak tahu apa yang kulakukan ini benar atau salah. Aku hanya memilih seseorang di situs itu dari foto profilnya saja, penampilan aslinya pasti beda jauh. Mungkin aku terlalu terburu-buru memilih.
Saat aku mulai ragu dan berpikir untuk pulang saja, seorang cewek datang menghampiriku.
"Hei, kamu yang baju hitam. Apa kamu Arung?" cewek cantik itu bertanya padaku.
"Eh, iya."
"Ini aku, Nita. Apa kamu tinggal di sekitar sini?" dia bertanya lagi.
"I-iya." Aku menjawab singkat, grogi.
"Ini pertama kalinya aku datang ke sini, loh."
"Be-benarkah?"
"Ini akan aneh kalau kita bicara di sini. Bagaimana kalau ke kafe?"
"A-ah. Ayo."
Kuajak dia ke kafe terdekat, kafe tempat aku diputuskan Leni beberapa hari yang lalu. Bukan cuma kafenya saja yang sama, meja tempat kami duduk juga sama. Dan seperti sebelumnya, lagi-lagi aku hanyut menikmati wajah cewek di depanku. Dan kali ini jauh lebih cantik, sampai-sampai jantungku rasanya mau lompat keluar.
Kami seperti sedang pacaran, tapi sensasinya berada di level berbeda dibanding saat aku sama Leni. Dia sangat cantik, pakaiannya, gayanya, semua yang ada pada dirinya itu sungguh cantik. Siapa pun pacarnya, cowok itu bisa menyombongkan cewek ini pada siapa saja.
Aku tidak berani mulai bicara padanya. Rasanya dia seperti malaikat dan aku cuma manusia hina yang tak pantas bicara dengannya.
Setelah dia memilih menu, akhirnya dia bicara sama aku.
"Kamu kuliah?"
"Iya."
"Semester berapa?"
"Satu."
"Wah, sama."
Seperti sebelumnya, dia bertanya dan aku cuma menjawab singkat. Dia pasti berpikir aku ini cowok menyedihkan.
"Um, Arung. Kayaknya ini waktu yang pas buat itu." Dia tersenyum.
Aku mengerti maksudnya. Kutarik dompetku dan kuambil uang 1.000.000 lalu aku berikan padanya. Aku memesan dia tadi malam untuk menemaniku hari ini selama dua jam, dan waktunya dimulai sejak aku memberinya uang.
Ah, sepertinya aku cuma mau lari dari kenyataan, seharusnya aku tetap di kost dan tidur.
Seperti yang aku mau, dia menemaniku ke akuarium, jalan-jalan sambil melihat berbagai jenis ikan.
"Wah! Tempatnya bagus banget!" kata Nita tersenyum kagum.
Aku yang mau ke tempat ini, tapi kenapa malah dia yang terlihat menikmati. Tidak apa-apa, aku senang kalau dia senang.
"Omong-omong, ini pertama kalinya aku ke akuarium, loh," ungkap Nita.
"Oh? Itu cukup nggak biasa."
Reaksi macam apa itu. Tapi jujur saja, aku tidak bisa berpikir jernih saat ada di dekat cewek ini.
"Apa itu di sana? Mereka terlihat cantik." Nita menempel ke kaca, terpukau melihat kawanan ikan.
"Oh, itu? Itu Neo Api," jawabku.
Akhirnya aku bisa pamer kepintaran, walaupun sebenarnya aku ini bodoh. Tapi kalau soal jenis ikan, aku ahlinya.
"Eh, apa kamu suka ikan?" tanya Nita.
"Nggak juga. Cuma aku suka ke akuarium saja."
"Itu luar biasa. Aku senang karena pengalaman pertamaku ke akuarium itu sama kamu," puji Nita tersenyum.
Dia terlihat tulus bilang begitu, dan aku jadi baper karena pujiannya. Saat itu kuberanikan diri memegang tangannya, dia tidak menolak atau mengelak seperti yang selalu Leni lakukan.
Ini pengalaman pertamaku pegang tangan cewek, rasanya tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Kalau penasaran, coba sendiri.
Kami berkeliling di akuarium melihat berbagai jenis ikan sampai dua jam waktuku sama dia habis.
"Makasih untuk hari ini, aku menikmatinya! Sampai ketemu lagi, Arung."
Nita melambai dan teersenyum sebelum pergi. Aku tidak mengantarnya pulang, itu sudah jadi peraturan mereka.
Semangatku yang hilang habis diputuskan sama Leni kembali. Aku pulang ke kost dan langsung membuka situs tempat aku memesan Nita. Entah kenapa aku mau tahu banyak tentang dia, jadi aku buka profil Nita dan melihat ada apa saja di sana.
Rupanya, sudah banyak laki-laki yang kencan dengannya, dari yang tua sampai yang muda. Semua review mereka ada di profil Nita. Dan pegangan tangan ternyata sudah jadi acara rutin saat mereka kencan.
Apa yang aku temukan di sana cuma rasa kecewa.
"Jadi itu semua cuma akting! Dasar lacur sialan!" aku berteriak, membanting ponsel ke kasur.
Sebagai pelanggan, kami diminta memberi penilaian setelah kencan. Aku memberi Nita review bintang satu, kesal karena sudah mempermainkan perasaanku.
Aku marah, jadi aku menyewa Nita lagi supaya aku bisa memakinya.
Buku lain oleh Xii Zii
Selebihnya