Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mengandung Bayi Bos

Mengandung Bayi Bos

Zidney Aghnia

5.0
Komentar
95.7K
Penayangan
50
Bab

Marimar seorang gadis pegawai hotel. Kisah hidupnya yang semula normal harus berubah drastis karena seorang lelaki mabuk yang tak dikenal. Sampai akhirnya, ia harus mengandung anak di luar pernikahan. Ketika ia mencari pria tak bertanggung jawab itu, ia mengetahui kenyataan yang lebih pahit bahwa pria itu bukanlah pria lajang melainkan seorang suami dari wanita lain. Bagaimana masa depan Rimar? Akankah ia memberitahu ayah dari janin yang dikandungnya itu atau harus menggugurkannya?

Bab 1 Diusir Abah

Sebuah tamparan keras dari tangan seorang ayah mendarat di sisi wajahku. Membuat pipi ini panas, rambut berantakan, dan penglihatanku gelap rasanya. Aku menundukkan kepala karena bulir bening mulai menetes sampai suara isakanku mungkin terdengar oleh Abah. Aku takut akan kemarahan Abah, belum lagi emosi Bang Umar yang kadang bisa melebihi Abah saat kemarahannya memuncak.

“Testpack siapa ini?!”

Aku bergeming saat ditanya Abah.

“Jawab, Rimar! Dengan siapa kamu melakukannya?!” Abah mengguncangkan bahuku, tetapi aku hanya menggeleng karena aku benar-benar tidak tahu siapa dia.

“Mana ada orang hamil tidak tahu bapaknya! Memangnya kamu tidur dengan banyak lelaki?” pekik Ayah.

“Ri-rimar, ti-tidak tahu, Bah. Rimar … benar-benar tidak tahu. Rima juga bukan anak seperti itu, Bah. Tolong percaya sama Rimar ....“ Jawabanku tergagap.

Aku benar-benar tidak mengenal orang yang sudah merenggut keperawananku dan yang kutahu hanya satu: dia tampan tetapi menjijikkan.

“Minggat kamu dari rumah! Dan jangan pulang sampai kamu ketemu siapa bapak dari anak dalam kandunganmu! Abah tidak sudi keluarga kita jadi aib!”

“Ampun, Bah. Jangan usir Rimar. Rimar mau tinggal di mana?” Aku berlutut memegangi kaki Abah yang tertutup sarung, memohon agar Abah masih berbaik hati.

Abah melepas kakinya dari genggamanku, lalu melangkah ke kamar mandi. Aku pun tersungkur tak berdaya di lantai. Detik berikutnya, aku melihat kaki Abah lagi di hadapanku. Apakah Abah mengubah niatnya untuk tidak jadi mengusirku?

Lantas, seember air ditumpahkan tepat di atas kepalaku. Sudah tak bisa dibedakan lagi mana air mata dan mana air yang ditumpahkan. Setelah air habis, dilemparkannya ember itu ke kamar mandi, lalu Abah berjalan menarik paksa lenganku ke luar rumah dan menyungkurkanku ke lantai. Pintu dibantingnya sampai terdengar suara keras dan setelah itu terdengar suara pintu dikunci.

Aku menangis sesenggukan di teras rumah. Beberapa orang yang lewat memandangiku terheran-heran dalam kedinginan dengan rambut dan baju yang basah kuyup.

***

Aku Rimar, nama panjangku Marimar. Entah kenapa Almarhum Umi dulu memberiku nama itu.

Katanya supaya aku secantik artis favoritnya, tetapi kenyataannya nihil. Tak ada sedikit pun serbuk kecantikannya menurun padaku. Tentu saja, itu karena aku anak Umi dan Abah, bukan anak Gustavo, hah!

Aku bungsu dari tiga bersaudara. Umi sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Lalu, hidupku tiba-tiba berubah karena seorang lelaki yang tidak kukenal sama sekali.

Awal kejadian, saat itu aku sedang mendapat giliran sif dua sebagai housekeeper. Waktu aku sedang merapikan kamar untuk tamu yang akan menginap, tiba-tiba pintu kamar terkunci. Kukira itu teman yang tadinya sedang membantu karena memang dia izin keluar untuk merapikan kamar lain.

Aku hampir selesai memasang sprei, tapi tiba-tiba aku terkesiap saat ada yang memelukku dari belakang. Tidak mungkin itu Nita yang memelukku karena tubuhnya tinggi, besar, dan berisi.

“Ayo, Sayang. Kita buat anak yang banyak.”

Degh!

Anak? pikirku.

“Tu-tunggu!” Aku melepas tangan yang sedang memelukku dan coba menjauh darinya.

“Mau ke mana?! Sini kamu!”

Hanya dengan satu langkah besar, dia menarik tanganku dan membanting tubuhku ke ranjang yang baru saja dilapisi kain putih bersih.

“Tidak! Tolooong!” Air mata mengalir begitu saja saat dia menarik paksa kemeja kerjaku. Aku gemetaran. Aku berusaha teriak, tapi tak ada yang mendengar.

Aku lupa kalau itu adalah kamar VIP. Kamar yang sangat luas. Jarak dari ranjang sampai ke pintu saja cukup jauh. Kemungkinan kecil kalau ada yang mendengar teriakanku.

Dia membekap mulutku. Langsung saja kugigit tangannya.

Nahas, sebuah tamparan malah menyakiti pipiku. “Tu-tuan, tolong jangan lakukan ini!”

“Diam kau, Sari! Ini yang kamu mau. Aku akan membuktikan kalau aku tidak mandul!” Dia mencengkeram kedua tanganku dengan erat.

Bagaimana ini? Aku tidak bisa bergerak. Seluruh tubuhku dikuasainya! Aku berkeringat serta ketakutan memenuhi seluruh pikiranku. Sesaat aku teringat berita-berita yang beredar tentang gadis yang diperkosa lalu dibunuh.

“Tidaaak. Toloong, jangan sakiti aku, Tu-tuaaan.” Aku menangis dalam bekapannya, tetapi dia tak menggubrisnya. Aku berusaha menggeleng-gelengkan kepala agar mulutku terlepas. Sayang, tenaganya terlalu kuat bagi gadis bertubuh mungil sepertiku.

Air mata mengalir dengan deras. Malam itu menjadi malam yang hina bagiku. Jelas karena keperawananku hilang begitu saja oleh lelaki yang matanya memerah dan tajam. Dari mulutnya menguar aroma minuman beralkohol.

Dalam beberapa jam, aku menangis di ranjang yang sudah kupersiapkan untuk tamu yang sudah merusak sebagian hidupku itu. Aku menunggu sampai dia tertidur agar aku bisa cepat-cepat lari dari kamar itu.

***

Beberapa minggu berlalu, aku selalu terbayang kejadian hina itu. Aku mengalami trauma saat bertemu pria yang tak kukenal serta tekanan saat berada sendirian di dalam kamar. Aku takut—takut kejadian itu berulang. Aku takut menceritakannya pada keluargaku, termasuk Abah.

Abah tidak segan-segan menghukum orang jika ada yang melukai keluarganya. Di desaku, semua mengenal watak Abah. Karena itu, tidak ada yang berani mengganggunya.

Suatu pagi, aku merasakan mual-mual yang tidak biasa. Sehari, dua hari, sampai seminggu berlalu. Aku masih sering muntah-muntah. Hal yang menambah keyakinan pada ketakutan itu adalah aku telat datang bulan sampai dua minggu lamanya.

Diam-diam aku pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Aku berharap semoga saja tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Nahas, pelan-pelan dua garis merah memanjang. Pelupuk mataku memanas dan aku menahan isak tangis di kamar mandi. Aku mengatupkan mulut rapat-rapat agar tak terdengar ke luar. Karena pagi itu Abah dan kakakku sedang makan di ruang makan tepat di seberang pintu kamar mandi.

Aku ingin menyembunyikan kejadian memalukan itu dari keluarga. Namun, terlambat. Abah tidak sengaja menemukan hasil testpack-nya di kamar mandi yang lupa kubuang. Betapa bodohnya aku!

Bagaimana dengan calon anak dalam perutku? Kalau dia lelaki, aku sedikit lega. Bagaimana kalau dia perempuan? Aku khawatir akan masa depannya. Aku takut membuatnya malu karena terlahir sebagai anak tanpa nasab dan kalau ia menikah kelak, terpaksa menggunakan wali hakim. Berat rasanya memikirkan jauh ke depan.

Aku harus segera mencari lelaki itu dan membuat dia mempertanggungjawabkan semuanya! Aku harus pergi ke hotel untuk menyelidiki data pribadinya. Siapa pun dia, aku tak peduli!

Awas saja sampai aku menemukannya!

Lihat saja ... kalau dia berani mengelak atau pun menghindar. Aku akan mengacak-acak sarang burungnya yang hina itu!

***

Aku berjalan dari rumah hendak menuju hotel tempatku bekerja. Kebetulan hari itu matahari sangat terik. Jadi, sebelum naik angkutan umum, aku berjalan pelan sambil mengeringkan baju. Sesekali pula, aku mengusap perut yang di dalam sana terdapat kehidupan yang tak kuinginkan.

Aku berpikir berkali-kali. Apakah aku akan menyelamatkan anak ini atau menggugurkannya saja?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Zidney Aghnia

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku