Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
1.8K
Penayangan
10
Bab

Kirana adalah seorang model yang berada dipuncak karir. Sayangnya kesuksesannya yang nampak sempurna ternyata dibangun oleh Elisa / mama Kirana dengan disiplin keras dan paksaan. Kirana merasa ingin berontak. Akibatnya Kirana masuk kedalam pergaulan modelling yang buruk. Belum lagi ulah Sammy yang membuat Kirana hamil. Dalam keadaan hamil mama Kirana terus memaksa Kirana melakukan aborsi. Rasa tertekan, kejaran pers serta amarah Mama Elisa membuat Kirana tertekan dan akhirnya depresi. Belum lagi akhirnya bayi Kirana lahir prematur dan cacat. Membuat Kirana makin merasa bersalah dan ketakutan. Dapatkah Kirana bangkit dan menata hidupnya kembali? Akankah Mama Kirana dapat mengatasi gugatan hukum karena kontrak kerja Kirana dilanggar. Akankah Mama Kirana dapat terus bertahan walau Kirana bukan seorang artis dan model terkenal lagi?

Bab 1 Kirana the modell

Kirana the modell

"Kiran, pagi ini kamu pemotretan di Vagans, jam 1. 30 iklan produk kecantikan Le' mieree. Malam menghadiri fashion show bergengsi perancang batik terkenal. Kamu bintang tamu pakai master piece dari Mba Gayatri. Kamu cuma satu kali Jalan di puncak acara. Jam 23.00 kita finish, sayang!

"Hemm" Kirana malas membicarakan agenda. Jam makan adalah me timenya. Tak boleh ada gangguan. Selera makannya bisa buyar.

Tak ada penolakan bahkan ketika tidurpun jadwal telah tersusun. Baju telah disiapkan. Bangun pagi pun terjadwal kecuali kegiatan modelling minta dilakukan di jam siang. Kirana larasati berumur 22 tahun. Model yang sedang bersinar.

Bukan sebuah kebetulan karena Mama juga mantan model. Masa depan Kirana telah dirancang Mama bahkan semenjak Kirana masuk sekolah SMP kelas satu atau kalau sekarang ini kelas 7. Dunia Kirana tak jauh dari kelas Modelling, agency satu ke Agency lain. Lomba satu ke lomba yang lain. Seperti rancangan Mama Elisa, Kirana selalu salah satu yang terbaik sebagai peserta lomba atau pilihan anggota Agency model yang terlaris. Itu biasa bagi Kirana maupun Mama Elisa. Prestasi maupun sanjungan adalah makanan sehari-hari Kirana.

Di umur 22 tawaran menjadi model internasional sudah masuk ke Mama Elisa sebagai Manajer Kirana larasati. Semua itu hanya tinggal menunggu waktu karena kontrak kerja iklan dengan perusahaan sabun mandi mengharuskan Kirana selama lima tahun tetap berada di Indonesia. Juga kontrak lain berkaitan dengan fashion show tahunan yang sebagian sudah ditanda tangani kontrak. Jadwal Kirana padat bahkan hingga setahun ke depan. Hebat kan Mama Elisa?

"Ma? Aku cuti dong satu hari besok" rengek Kirana.

"Kirana Besok belum bisa sayang, pemotretan sama you tuber Avril kan? Terus kamu lupa ya? Kamu terpilih jadi Duta Narkoba. Talk show sama Pak Menteri pemuda dan olahraga, lo. Masa begitu pentingnya jadwal bisa lupa. 3 hari lagi, Say! Kita libur. Mama juga cape." Imbuh Mama Elisa.

Kirana merengut. "Hff ... baiklah" jawab Kirana malas. Tak ada penolakan semua sudah diatur, sudah tanda tangan kontrak, kadang sudah terima fee, kadang bisa kena denda melanggar perjanjian kontrak. Jadi tak ada pilihan bagi Kirana selain kata “Baiklah.”

Kirana menumpahkan kekesalannya dengan melukis itupun masih belum tentu bisa. Kanvas dan cat air selalu ada di mobil. Suasana tenang itu tak pernah Kirana temui. Gegap gempita dunia model lengkap dengan fans dan wartawan sungguh sangat berisik. Privasi itu tak pernah ada. Apa yang Kirana sandang adalah berita. Apa yang Kirana makan, berapa banyak, caranya menyendok pun bisa jadi berita bila tak sesuai dengan citra seorang model.

Harusnya aku bangga, di usia 22 prestasi modelku dengan bantuan Mama begitu cemerlang. Ah bahkan Mama sedang dirayu sutradara untuk menjadikan aku aktris film, langsung berperan sebagai tokoh utama di film garapannya.

Sayangnya aku begitu lelah dengan segala jadwal itu. Sejak SMP, eh malah sejak SD aku sudah sedikit berkecimpung didunia modelling. Sudah kuturuti mau Mama. Tak adakah kesendirian hanya tentangku dan mauku di benak Mama. Aku malah tidak yakin aku suka Model.

Aku suka dunia akademis. Aku kuliah S1 dengan nilai IP yang lumayan lo 3,8. Kategori cerdas. Tidakkah Mama tahu aku ingin sekolah S2 atau menjadi orang di belakang Kantor seperti Analis perusahaan. Manajer perusahaan atau mungkin juga aku buka usaha dengan brand khusus. Sungguh aku makin muak dengan modelling.

Setiap hari adalah senyum bias kamera. Senyum yang bukan dari hatiku. Senyum sesuai angle kamera. "Kirana, wajahnya kurang ekspresif!" Ujar sang pengarah gaya. Aku cukup menarik nafas sedikit berkonsentrasi dan klik, klik ... jepretan demi jepretan kamera membanjiri poseku.

Majalah on line kadang tidak hanya memintaku berfoto. Berinstrumen dengan produk melalui rekam video juga harus bisa kulakukan. Buat model lain ini tantangan. Buat ku ini kacangan. Bukan meremehkan, tapi itu makananku sejak kecil. Di mana tantangannya? Aku boleh bangga Kirana larasati tetap salah satu model terbaik yang dipunyai Indonesia. Sayangnya, aku tidak bangga dengan predikat itu.

Aku lebih suka menonjolkan kecerdasanku dengan memamerkan kemampuan tiga bahasaku. Ketika kemampuan tiga bahasaku diuji oleh pers dan menjadi berita seminggu terakhir di media gosip pertelevisian disitulah Kirana larasati merasa bangga. Merasa hidup bila itu tentang kecerdasan otak. IQ.

Bukan lenggak lenggok kaki jenjang dengan tubuh diumbar dibagian mana saja terserah perancang. Bukan wajah penuh kepalsuan dari pemotretan selama berjam-jam. Aku menolak taqdirku.

"No, Kirana. Hells hitam. Kau mau ikut meresmikan butik bukan ke mall. Dear, belajarlah menghilangkan sikap sederhana seperti itu. Aku tahu itu dirimu tapi tuntutan pekerjaan menolak selera seperti itu. Kemewahan dan keanggunan itu adalah citra dirimu sayang. Cam kan. Jangan rusak semua dengan bersikap seenaknya." Mama bicara pelan anggun dan jelas. Aku masa bodoh telah terlalu lelah dengan aturan modelling. Citra seorang model. Pantas tidak pantas.

Tak bisa menolak adalah taqdirku yang lain rupanya, yang bisa kulakukan sambil menghabiskan kegiatan iklan dan modelku adalah bersandar pada kursi lipat ternyaman yang ku bawa dari rumah dan selalu ada untuk memanjakanku. Kakiku kuluruskan membiarkan Jane, asisten dan Arden penata rias profesional yang bekerja padaku mengikuti perintah Mama.

Tak perlu banyak kata karena yang lebih penting adalah mencuri privasiku. Mencoba menjadi diriku walau cuma beberapa detik. Ada rasa puas ketika aku sengaja mengenakan flat shoes atau nekat mencicipi jajanan pinggir jalan tetapi Jane lebih senang mengamankanku dengan terlebih dulu menanyakan apakah ingin membeli somay? Apakah ingin batagor? Yang kadang diomeli Mama Elisa karena berat badanku harus di jaga. Kasihan kan Jane. Jane cuma berusaha mengerti mauku yang kadang ingin menjadi diriku. Ingin punya mau tersampaikan. Tidak dijajah oleh jadwal. Malah dia yang kena semprot oleh Mama.

Aku tahu Jane menyayangiku seperti adik. Dia memposisikan diriku adalah putra mahkota. Eh putri mahkota, kali ya. Ah, yang jelas aku membalas kebaikannya dengan tidak mau di asisteni oleh siapapun kecuali Jane. Kadang Jane marah juga jadi tidak bisa ambil cuti karena aku tidak mau asisten lain. Habis bagaimana lagi Jane, karenamu aku bisa tetap kuliah S1. Kau selalu punya strategi meluluskan mauku dengan 1000 alasan tentang kebaikan bagi seorang model yang kau sampaikan pada Mama. Bahkan les bahasa asing yang ku ambil lagi-lagi atas jerih payah Jane, Mama mau mengabulkan.

Mama tak segan menolak mauku bila satu jam yang harusnya dibayar puluhan juta terbuang untuk belajar. "Kau asisten yang terbaik Jane, jangan tinggalkan aku walau cuti sekalipun. “Hihihi ... " jane meringis tersenyumnya seperti tersedak sendok. Aku kadang kelewatan pada Jane atau Mama yang kelewatan?

Tak pernahkah terpikir oleh Mama aku lelah. Aku muak. Aku tak suka takdirku sebagai model. Aku ingin menjadi orang biasa. Aku tak suka eksploitasi wajah maupun tubuh atau lenggok berjalan. Aku mau orang lain menilai kepribadianku, kecerdasanku, ketertarikanku atau kemampuan lukisku yang menurun dari bakat Papa.

Ah ya, mungkin kau belum tahu Papa dan Mama telah bercerai. Aku hanya tahu Papa dari video call, sambungan telepon beberapa kali dan syukurnya Papa selalu mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Itu sedikit menghibur. Karena cukup menyedihkan ketika anak lain diantar Papanya ke sekolah aku diantar Jono sopir kami.

Waktu pers menanyakan tentang Papa hatiku perih menahan tangis. Cukup aneh bukan Papa sekarang tinggal di Belanda dengan istri dan anaknya.

Lalu aku dan Mama siapa? Kenapa Papa tak pernah ke Indonesia sekedar menengokku walau ia berpisah dengan Mama. Harusnya ketika ku telepon Papa, Papa tidak sedang mencuci mobil dengan Rein, anaknya. Rein adik tiriku tapi sungguh aku cemburu kepadanya. Dia pemilik Papa sejati. Aku hanya putrinya di sambungan jaringan komunikasi. Jadi? Kirana tak punya segalanya kan?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku