icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
SUKSES USAI DICERAIKAN

SUKSES USAI DICERAIKAN

Rara Qumaira

5.0
Komentar
112.1K
Penayangan
41
Bab

Andini diceraikan, usai diduakan. Sakit, itu pasti. Selama menikah dengan Agung, Dini selalu diremehkan oleh mertua dan iparnya karena statusnya yang Hany lulusan u dan anak panti. Usai bercerai, dia mampu membuktikan bahwa di bisa sukses walau statusnya janda beranak satu. Setelah meraih kesuksesan, Agung kembali datang dan mengajaknya rujuk? Bagaimana respons Dini? Maulah dia rujuk kembali dengan alasan sang buah hati?

Bab 1 KELAKUAN AGUNG DAN KELUARGANYA

Bab 1

Kelakuan Agung dan Keluarganya

"Bang, tolong dong, belikan air minum! Itu galon sudah kosong semua!" pinta Andini.

"Alah… beli sendiri kan bisa! Biasanya juga beli sendiri! Manja banget!" ujar sang suami sambil terus memainkan game onlinenya.

Andini hanya bisa menghela nafas. Selalu begitu. Agung tidak pernah peduli kepadanya. Pun kepada anak semata wayang mereka. Padahal, dia sedari pagi hanya bermain game online. Sementara Andini harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menyelesaikan jahitan tetangga.

Memang, sejak awal menikah, Agung tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah. Baginya, pantang mengerjakan pekerjaan wanita. Itu akan menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang pria.

Andini beranjak bangun dari kursi kerjanya. Dia pergi ke warung sendiri.

"Nitip belikan rokok sekalian!" teriak Agung. Andini tak menjawab. Dia terus melangkah.

"Mak, beli rokok satu sama galonnya satu ya!"

"Aduh, Din! Kamu kok mau-maunya sih angkat galon sendiri! Berat itu! Mbok, ya, suruh si Agung itu!" omel Mak Warsih.

Mak Warsih adalah pemilik toko kelontong dekat rumah. Walaupun orangnya cerewet, tapi dia satu-satunya orang yang bersimpati terhadap Andini.

Andini hanya menanggapinya dengan senyuman. Saat dia hendak melangkah pergi, tiba-tiba ada yang memanggilnya.

"Din, gue mau beli sabun mandi sama bumbu dapur! Bayarin sekalian ya?" ujar Niken dengan tak tahu malu. Niken adalah kakak iparnya.

"Enak saja! Situ yang belanja, kenapa Dini yang harus bayar?" bela mak Warsih.

"Ya elah, Mak! Gue ngomong sama Dini, kenapa situ nyahut, sih?"

"Maaf, mbak! Saya bawa uang pas!" ujar Dini sambil melangkah pergi.

"Huh…! Dasar pelit!" omel Niken. Dini sudah terbiasa dengan semua itu. Jadi dia tidak kaget.

Melihat itu, mak Warsih tertawa terpingkal-pingkal.

"Syukurin…!" ujar mak Warsih sambil meneruskan tawanya.

"Ketawa ja, terus! Puas? Ya udah, kalo gitu gue ngutang dulu!"

"Eits, gak bisa! Utang elu saja yang Minggu kemarin belum dibayar, ini mau ngutang lagi! Gak ada! Bayar utang dulu!"

"Ish, dasar pelit! Tak sumpahin tokomu bakalan bangkrut, gak laku!"

"Tokoku jelas akan bangkrut kalau pembelinya modelan kamu semua!"

Akhirnya Niken pergi sambil ngedumel.

"Awas, kamu, Din! Akan aku adukan sama Ibu! Biar tahu rasa kamu!" omel Niken sambil jalan.

**************

Sesampainya Dini di rumah, dia sudah disambut teriakan Agung.

"Dini! Buatkan kopi! Sekalian, mana rokoknya?" ujar Agung tanpa merasa bersalah.

Dini beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk Agung. Berulang kali dia mencoba menyalakan kompor, tapi tak berhasil.

Ceklek … ceklek….

Dini masih berusaha, tapi kompornya tetap tak mau menyala. Saat dia mengecek, ternyata gasnya habis.

Dini menghela nafas lelah.

"Dini… mana kopinya? Lama amat!" teriak Agung.

"Bentar, Bang! Gasnya habis!" ujar Andini sambil melangkah ke luar untuk membeli gas di warung Mak Warsih.

Tak lama kemudian, Dini sudah kembali sambil menenteng tabung gas. Dia segera kembali ke dapur untuk membuat kopi, sebelum Agung kembali berteriak marah.

"Ini, Bang, kopinya!" ujar Dini.

"Hm…." Agung menanggapinya hanya dengan deheman. Dini segera kembali ke dapur untuk memasak makan siang.

Siang ini, Andini ingin makan sayur asem, sambal terasi, dan lauk ikan asin. Membayangkannya saja, membuat Dini menelan liur.

"Din! Dini!" teriak mertua Andini saat masuk ke rumahnya.

"Ada apa sih, Bu? Kok teriak-teriak gitu! Malu kalau didengar tetangga!" ujar Agung.

"Mana istrimu? Dia itu sudah berani kurang ajar sama kakak iparnya! Dini!"

Dini yang mendengar suara ribut dari depan rumahnya, bergegas keluar.

"Ada apa, Bu? Kok teriak-teriak? Saya tadi masih masak."

"Kamu itu bikin malu saja! Mbok, ya, kalo Niken minta dibayarin, ya dibayarin saja! Wong belanja segitu saja kok, kamu pelit! Jangan lupa, uang yang kamu pakai belanja itu uangnya anakku! Adiknya Niken!"

Selalu begitu. Sebenarnya, Dini sudah jengah. Namun, dia berusaha bertahan. Demi anaknya.

Dia kasihan jika anaknya harus tumbuh tanpa kasih sayang ayahnya.Walaupun, selama ini, Agung nyaris tidak pernah mau memegang anaknya. Dia terlalu asyik dengan dunianya.

"Maaf, Bu! Tadi itu saya memang benar-benar hanya bawa uang pas! Jadi, tidak bisa membayar belanjaan mbak Niken!" ujar Dini halus.

"Alah..., alasan saja kamu! Emang dasar kamunya saja yang pelit!"

"Memang tadi mbak Niken belanja apa, Bu?" tanya Agung.

"Tadi mbakmu belanja sabun mandi sama bumbu dapur. Tapi, gak jadi. Sama Mak Warsih gak boleh ngutang. Wong hutangnya yang dulu belum dibayar!"

"Memang berapa, Bu, hutangnya?"

"Gak banyak, kok! Hanya lima ratus ribu!"

Agung membuka dompetnya dan memberikan uang lima ratus ribu kepada ibunya.

"Udah, ini Ibu bayarkan hutangnya mbak Niken!"

"Tambahin dua ratus ribu, dong, Gung! Besok Ibu ada arisan!"

"Lho, kan kemarin sudah Agung kasih dua juta, Bu! Buat belanja satu bulan dan buat bayar arisan! Ini uang tabunganku untuk membayar kreditan mobil dan uang semesteran Shelly."

"Itu, Gung! Emmm…, uangnya Ibu pakai buat beli gamis baru. Kan Ibu malu, pakai gamis itu-itu terus!"

Agung hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Koleksi gamis Ibunya sudah satu lemari penuh. Namun, tetap saja. Selalu beli dan beli lagi.

Agung mengambil dompet lagi dan menyerahkan uang dua ratus ribu kepada Ibunya. Dini hanya mampu memandangnya.

"Terimakasih, Gung! Ibu pulang dulu!"

"Jangan boros-boros, Bu! Agung juga ingin menabung!"

"Iya, iya!"

Dini kembali ke belakang. Dia meneruskan pekerjaannya dan membereskan rumah dengan berurai air mata.

Sampai kapan dia harus begini? Dia mencoba bertahan, tapi suaminya tidak ada tanda-tanda mau berubah. Agung begitu royal kepada keluarganya, tapi perhitungan kepada anak dan istrinya.

Dia hanya mendapat nafkah dua juta rupiah per bulan. Itu pun harus dipotong untuk bayar listrik lima ratus ribu. Belum lagi untuk membelikan susu dan diapers anaknya. Sisanya untuk belanja kebutuhan dapur.

Sebenarnya, gaji Agung sebesar sepuluh juta rupiah sebulan. Dini mengetahui itu pun karena tidak sengaja menemukan slip gaji di kantong celana suaminya. Itu belum termasuk tunjangan dan uang lembur.

Selama ini, Agung tidak pernah jujur tentang jumlah gajinya. Sejak awal menikah, Dini hanya diberi nafkah dua juta rupiah. Bahkan, hingga usia pernikahan mereka tiga tahun dan memiliki seorang balita yang tampan, uang nafkah yang diberikan Agung pun tidak berubah.

Sebenarnya, dengan gaji segitu, seharusnya mereka bisa hidup berkecukupan dan memiliki sedikit tabungan. Tapi sayang, Agung lebih suka menghabiskan gajinya untuk keluarga dan teman-temannya daripada untuk anak dan istrinya.

Sejak awal menikah, mereka sudah menempati rumah sendiri. Rumah itu dibuatkan oleh ayah mertua Dini untuk anak lelakinya. Dini senang karena tidak harus serumah dengan mertua dan iparnya. Jadi, dia bisa bebas. Tidak ada yang merecoki rumah tangga mereka. Walaupun pada kenyataannya, sungguh berbeda.

Hampir setiap hari mertua dan iparnya pasti membuat masalah. Jarak yang dekat membuat mereka bebas keluar masuk rumah Dini. Bahkan, Dini merasa, dia kehilangan privasinya di rumah sendiri.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Rara Qumaira

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku