Pernahkah kalian berpikir jika yang kita lihat di dalam cermin pada saat kita bercermin itu bukanlah kita, melainkan mereka dari dimensi lain yang ingin menipu kita? Benarkah wajah yang kita lihat di cermin itu wajah kita sendiri? Bukankah kita tak pernah sekalipun melihat wajah kita sendiri secara lansung tanpa media apapun? Inilah yang selalu aku pikirkan pada saat hendak bercermin, bagiku menatap cermin itu adalah sesuatu hal yang amat menakutkan. Lebih tepatnya, semenjak kejadian yang menakutkan yang pernah aku alami maka saat itu juga aku tak pernah lagi menatap cermin. Semuanya mengubah sudut pandangku tentang cermin.
Hari ini adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu, hari di mana aku akan mencoba mengadu nasib untuk pendidikan di rantau orang.
Semua barang-barang yang aku perlukan sudah dipersiapkan oleh ibuku semenjak dari kemaren, bahkan aku sendiri tak tau jika semuanya sudah dipersiapkan.
"Kalau hidup di negeri orang itu harus berhati-hati, jangan terlalu mudah percaya dengan orang asing, apalagi kamu perempuan yang cantik."
Ibu terus memandangiku seperti anak kecil, meski aku sudah berumur 15 tahun tetapi baginya aku tetaplah anak kecil.
"Dan yang paling penting jangan pacaran! Kakak tidak boleh pacaran sebelum lulus!" Suara yang begitu halus juga mulai terdengar dari dalam kamar.
Aku amat mengenali suara itu, suara Nisa, adikku. Ia tak ingin aku pergi meninggalkannnya sendirian di rumah itu tanpa teman.
Meski ada ayah, ibu dan juga kakakku tetapi ia hanya dekat denganku saja. Bahkan ia tak pernah bermain bersama dengan kakakku.
Entah apa yang telah terjadi dengan kakakku itu semenjak aku melihatnya bicara dengan makhluk aneh pada malam itu.
Ia begitu marah padaku saat ia melihatku sudah berada di belakangnya, dan aku sendiri tak dapat lagi melihat makhluk aneh itu.
Padahal dulunya kami adalah saudara yang paling akrab, banyak orang yang ingin memiliki saudara seperti kami.
"Apa lagi yang kamu pikirkan?" Ayah datang dengan sejuta senyuman yang ia bawakan untuk kami.
Aku hanya menggelengkan kepala saja, tak ingin mengatakan banyak hal mengenai apa yang sedang aku rasakan saat ini.
Selama ini mereka tak pernah tau jika aku dan kakaku tak lagi saling bicara kecuali jika dihadapan mereka.
Sudah berkali-kali aku mencoba untuk bicara dengannya dan berjanji takkan pernah mengatakan kepada siapun tentang makhluk itu.
Meski begitu, ia tak pernah menjawab pertanyaanku, ia hanya meminta supaya aku tak pernah masuk ke dalam kamarnya tanpa seizin darinya.
"Aku pasti akan sangat merindukan kalian semua nantinya." Aku mulai beranjak dari tempat dudukku untuk lebih dekat dengan mereka.
Keduanya hanya tertawa melihat tingkahku, aku sendiri tak tau apa yang aneh dengan sikapku kali ini.
"Kalau dia seperti ini terus bisa-bisa kita tidak punya menantu nantinya." Ayah tertawa melihat ke arahku.
Begitu pula dengan ibu, ia sangat senang sekali jika mengejek anaknya sendiri. Apalagi jika sudah berurusan dengan laki-laki.
"Aku nggak akan nikah sebelum kalian bahagia."
Aku benar-benar serius dengan apa yang aku katakan pada saat ini, aku hanya ingin mereka bahagia sebelum aku menikah nantinya.
"Kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan kami juga." Ibu mulai mengelus-elus rambutku layaknya seperti anak kecil.
Semua itu tak masalah bagiku, aku selalu ingin untuk menjadi anak kecil yang akan selalu mereka manjakan seperti ini.
"Dira, kakak kamu mana?" Ayah mulai memperhatikan sekeling.
Ibu menjelaskan jika kakak masih sibuk di kamarnya untuk mengerjakan tugasnya, karena itulah ia ada di sini bersama yang lainnya.
Ayah menyuruhku untuk memanggil kakak yang berada di kamarnya, tanpa berpikir panjang lagi aku segera melangkah menuju ke kamarnya.
Aku berpikir jika sekarang adalah saatnya bagiku untuk bisa memperbaiki hubunganku dengannya. Aku rindu masa-masa indah berdua.
Jarak kamarnya dengan ruangan keluarga sangatlah jauh, ia lebih memilih gudang untuk dijadikan kamarnya setelah dibersihkan.
Do'a demi do'a telah aku ucapkan, aku benar-benar berharap jika hari ini aku bisa berdamai dengannya seperti dulu.
Hari ini jugaa aku akan pergi, hanya dia yang bisa aku percaya untuk membuat ayah dan ibu bahagia seperti yang aku inginkan.
"Kak, ayah dan ibu memanggil kakak!" Aku mulai mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.
Rasanya amatlah berbeda, pada saat aku berada di depan kamarnya rasaya aku sedang berada di tempat yang tak aku kenali.
"Kak, ayo keluar!" Ayo kembali memanggilnya.
Tak ada jawaban yang aku dapatkan, aku mencoba untuk lebih mendekatkan telingaku ke arah pintu itu.
Sama saja, tak ada suara yang keluar dari kamar itu, hanya pinggangku yang mulai terasa sakit, sudah seperti orang tua saja.
"Kakak ada di dalam atau tidak?" Aku kembali bertanya untuk memastikan.
Tak ada jawaban, aku bahkan tak mendengar jika ada tanda-tanda kehidupan yang berasal dari kamar itu.
Berkali-kali aku mencoba untuk memanggilnya, mulai dari nada yang rendah hingga nada yang tinggi.
Lelah menunggu di depan pintu itu saja tanpa mendapatkan sebuah jawaban, aku mencoba untuk masuk ke sana.
Ceklek....
Aku mulai membuka pintu dengan dada yang berdebar-debar, keringat dingin mulai bercucuran di wajahku.
Tanganku mulai gemetaran, mulutku tak lagi bisa bicara dan hanya mataku yang masih menatap apa yang baru saja aku lihat.
Semuanya seakan hanyalah mimpi buruk, aku bahkan mencoba untuk menampar tanganku sendiri dan memastikan jika ini hanyalah mimpi saja.
Plak....
Sakit dan perih, itulah yang aku rasakan. Aku semakin merasa gemetaran saat menyadari semua ini tidaklah mimpi buruk melainkan kenyataan buruk.
Di depanku sudah berjejer cermin dengan ukuran yang sangat yang sangat besar, setiap cermin memantulkan bayangan yang berbeda.
Mulai dari bayangan yang nampak indah hingga bayangan yang terlihat sangat menakutkan lagi menyeramkan.
Aku semakin terkejut pada saat melihat salah satu cermin yang memperlihat makhluk yang dulu pernah aku lihat bicara dengan kakak.
Telingaku juga terasa sakit, aku tak lagi bisa mendengar apapun yang berada di sekitarku untuk saat sekarang ini.
Aku benar-benar panik dan ketakutan, aku mencoba untuk melangkah mundur namun yang terjadi malah sebaliknya.
Kakiku tanpa kusadari dan kuinginkan mulai bergerak ke arah bayangan makhluk itu, aku semakin tak bisa berbuat apa-apa.
"Jangan!" Aku segera berteriak pada saat bayangan itu menarik tanganku dan hendak memasukkanku ke dalam cermin itu.
Aku terus berusaha untuk melepaskan tanganku dari bayangan yang nampak menyeramkan itu, tetapi ia lebih kuat dariku.
"Tolong!" Aku masih berusaha untuk meminta tolong dan hanya bisa berharap jika ada orang yang akan menolongku.
Di samping cermin itu, terlihat kakakku yang hanya tersenyum dan menyuruh bayangan itu terus menarikku masuk ke dalam.
"Tolong!" Aku kembali berteriak diantara sisa tenagaku yang masih tertinggal sedikit.
"Dira! Bangun Dira!" Aku merasa ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku.
"Dira, bangun!" Perlahan suara itu semakim jelas aku dengar, dan aku coba untuk melihat ke sekelilingku.
"Kamu mimpi buruk lagi? Kami semua cemas melihat kamu." Ibu mulai memelukku.
Aku juga ikutan menangis namun juga merasa sangat beruntung karena apa yang baru saja aku alami hanyalah sebuah mimpi.
Ibu memintaku untuk segera mencuci muka dan mempersiapkan keberangkatanku untuk belajar di luar kampung ini.
Tanpa berpikir panjang lagi aku lansung menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menghilangkan semua mimpi buruk itu.
"Apa kabar Dira?" Aku terperanjar ketakutan pada saat sesosok muncul di depan cermin kamar mandiku.
Buku lain oleh Whira
Selebihnya