Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Asa di Ujung Sajadah#bukuke-2

Asa di Ujung Sajadah#bukuke-2

Suzy Wiryanty

5.0
Komentar
15.2K
Penayangan
53
Bab

Ini adalah buku kedua dari Trilogi#womenpowerseries. 1. Merah Hitam Cinta#bukuke-1 2. Asa di Ujung Sajadah#bukuke-2 3. Bukan Perempuan Biasa#bukuke-3 Reuni membawa petaka. Jihan Khairiyah sama sekali menyangka akan mengalami perceraian di saat tengah mengandung tua. Tommy Wiranata--suaminya, mengalami fase CLBK dengan Diana, tetangga yang telah ia anggap sebagai saudara kandungnya sendiri. Ternyata selama ini Diana berpura-pura memeluknya erat bagai saudara, namun terus menikami punggungnya dengan telengas. Setelah sekian lama, Jihan baru menyaksikan sebuah kebenaran di depan matanya. Ia melihat suaminya memeluk mesra Diana saat reuni. Seketika dunia terasa oleng. Langit pun serasa runtuh di hadapannya. Kini ia memahami ungkapkan yang mengatakan bahwa ; musuh tidak selalu orang yang membenci kita. Ada yang lebih mengerikan. Ia terlihat baik. Namun tega mendorong kita dari belakang. "Mas tidak pernah berhubungan badan dengannya. Mas hanya khilaf dan tergoda kenangan masa lalu. Mas ini manusia biasa, bukan malaikat. Maafkan." -Tommy Wiranata- "Bukan tidak pernah. Mungkin belum, tetapi menuju akan. Lagi pula arti selingkuh itu tidak harus berhubungan badan, Mas. Dengan saling berbalas chat mesra, dan langsung menghapusnya karena takut terlihat oleh Jihan saja, itu artinya sudah selingkuh." -Jihan Khairiyah- "Setiap kamu berkeluh kesah tentangnya, aku akan terus menghibur hatimu. Tapi dalam hati, aku bersorak gembira. Karena semakin lama, kamu akan semakin jauh darinya. -Diana Paramitha- "Saat seorang peselingkuh meminta maaf dan ingin kembali bersama, jangan dipercaya. Karena sesungguhnya ia melakukan itu bukan karena demi hubungan kalian. Tetapi demi nama baiknya." -Azzam Alkatiri Kisah ini menceritakan tentang bagaimana kuatnya seorang perempuan saat dihadapkan pada dua pilihan penting ; kehilangan sumber nafkahnya atau kehilangan harga dirinya.

Bab 1 Chapter 1

"Mas nanti jam berapa pulang reuninya?" Jihan meraih sepatu pantofel dari rak, dan memberikannya pada Tommy. Saat membungkuk di depan rak sepatu, Jihan meringis. Kandungannya telah memasuki bulan ke delapan. Sekarang gerakannya semakin melamban. Tidak segesit dulu lagi.

"Ya, belum tau dong, Han. Pergi juga belum, kamu kok sudah nanya-nanya soal pulang sih?" Tommy menerima sepatu dari Jihan. Memakainya tergesa karena reuninya akan berlangsung sekitar setengah jam lagi. Ia takut terjebak macet.

"Bukan begitu, Mas. Kita 'kan sudah lama tidak mengunjungi Ibu. Jihan janji akan menjenguknya hari ini bersama Mas dan Niko. Karena Jihan pikir kalau hari Jummat, Mas pulang kantor lebih cepat. Jadi kita bisa bersama-sama menjenguk Ibu," terang Jihan sabar.

Tommy tidak menjawab. Pikiran Tommy seperti tersita oleh masalah lain. Alih-alih merespon ucapannya, Tommy malah sibuk membalas chat-chat yang berbunyi tiada henti. Walaupun demikian, Jihan tidak putus asa. Ia kembali mencoba melanjutkan argumennya. Siapa tau, Tommy masih bersedia memenuhi permintaannya.

"Jadi kalau Mas pulangnya cepat, kita masih sempat mengunjungi Ibu. Itu maksud Jihan, Mas," lanjut Jihan panjang lebar. Ia berusaha memanjangkan sabarnya. Entah mengapa, akhir-akhir ini suaminya sering kali emosi hanya karena hal-hal sepele. Sebagai istri yang baik, ia hanya mencoba sabar dan mengalah. Rumah tangga akan hancur saat dua orang di dalamnya saling mengumbar emosi bukan?

"Menjenguk Ibumu 'kan bisa kapan saja, Han. Toh Ibu nggak akan ke mana-mana. Tapi kalau reuni ini, entah kapan sekali baru akan berlangsung," Tommy mendecakkan lidah. Jihan ini kalau sudah punya mau, susah sekali dipengaruhi. Walau terkesan lembut dan sabar, sesungguhnya istrinya ini keras hati.

"Ya sudah kalau begitu. Jihan akan pergi berdua saja dengan Niko." Jihan akhirnya mengalah. Untuk apa juga pergi bersama Tommy, kalau orangnya saja tidak niat. Daripada ibunya tidak enak hati melihat muka masam Tommy, lebih baik ia berangkat sendiri.

"Terserah kamu saja. Tapi ingat, kamu sedang hamil besar. Hati-hati menjaga kandunganmu. Minta Pak Untung agar berhati-hati saat berkendara."

Tommy memeriksa penampilannya sekali lagi. Setelah merasa cukup rapi, ia mengembangkan kedua tangannya ke arah Niko. Putra tampannya seketika menghambur ke dalam pelukannya.

"Ayah pergi dulu ya, Niko? Niko ikut bunda saja ke rumah nenek ya?" Kepala mungil dalam dekapan Tommy mengangguk menggemaskan. Tommy mengacak-acak sayang surai hitam putra tampannya.

"Anak pintar. Mas berangkat dulu ya, Han? Kalau nanti kamu sudah tiba di rumah ibu, kabari Mas. Biar Mas tenang." Jihan mengangguk singkat.

"Anak ganteng, Ayah pergi dulu ya?" Tommy mencium gemas putranya sekali lagi.

"Oke, Ayah. Dadah." Niko menggoyang-goyangkan tangan gemuknya. Tommy membalas lambaian tangan putranya sembari melangkah menuju garasi. Sejurus kemudian mobilnya meluncur keluar dari pekarangan rumahnya yang luas.

Sepeninggal Tommy, Jihan memanggil Bik Nanik. ART yang sesekali ikut mengasuh Niko apabila ia sedang repot. Ia memang tidak menggunakan jasa pengasuh, karena ia ingin merawat Niko dengan kedua tangannya sendiri. Menurut hematnya, selagi ia mampu mengasuh anaknya sendiri, maka akan ia lakukan. Toh Yang Maha Kuasa telah menganugerahinya sepasang kaki dan tangan yang sehat dan kuat. Kecuali mungkin saat bayi dalam kandungannya ini lahir bulan depan. Saat itu, mau tidak mau, ia harus mencari satu orang pengasuh untuk mengurus kebutuhan Niko. Ia tidak bisa mengasuh Niko secara penuh karena ada bayi yang baru dilahirkan. Sebagai seorang ibu, ia harus adil dalam membagi kasih sayang untuk kedua anak-anaknya.

"Iya, Bu." Bik Nanik datang menghampiri.

"Tolong jaga Niko sebentar ya, Bik? Saya mau mengganti pakaian dulu."

"Baik, Bu." Bik Nanik segera mengambil posisi duduk di samping Niko, sembari menghidupkan televisi. Saat melihat tayangan Ipin dan Upin, Niko pasti akan duduk anteng. Ia suka melihat kisah dua anak kembar yang lucu itu.

Karena Niko sudah ada yang menjaga, Jihan segera masuk ke dalam kamar. Sebelum pergi, ia bermaksud mengganti pakaian terlebih dahulu dulu. Tidak praktis rasanya memakai gaun lebar ke mana-mana. Apalagi akhir-akhir ini sedang musim penghujan. Tiupan angin kencang terkadang menaikkan rok lebarnya. Jihan membuka lemari pakaian. Memandangi susunan pakaian sejenak sebelum meraih sebuah kulot dan sweater berwarna moka. Dengan cepat Jihan mengganti pakaiannya. Setelah rapi, ia meraih pasmina berwarna coklat tua yang simple namun anggun. Lima menit kemudian tampilan cermin di kamarnya memperlihatkan seorang ibu muda hamil yang simple dan praktis. Ia kemudian menyiapkan segala keperluan Niko dalam satu tas praktis. Pakaian, susu, dan pernah-pernak lainnya ia masukkan semuanya ke dalam satu tas. Setelah semuanya beres, barulah ia berjalan ke depan.

Saat melewati ruang kerja Tommy, pintu masih dalam keadaan terbuka separuh. Pasti suaminya itu terburu-buru karena takut terlambat menghadiri acara reuni. Jihan menggeleng-gelengkan kepala. Ada-ada saja. Tommy bertingkah seperti anak SD yang takut terlambat masuk ke dalam kelas. Saat ia akan menutup pintu, pandangannya tertuju pada ponsel suaminya yang sepertinya tertinggal di meja kerja. Lihatlah, saking buru-burunya ponsel tertinggal pun Tommy tidak sadar. Jihan mengernyitkan dahi. Perasaan tadi sebelum berangkat Tommy masih sibuk membalas chat-chat yang masuk. Berarti ponselnya tidak tertinggal bukan? Lantas, ini ponsel siapa?

Karena penasaran, alih-alih menutup pintu ruang kerja, Jihan malah masuk ke dalam ruangan. I mengambil ponsel. Ia bermaksud memetikda ponsel yang ada di atas meja kerja suaminya itu. Pada saat itulah ia baru menyadari bahwa ponsel itu berbeda dengan ponsel suaminya yang biasa. Jantung Jihan mendadak berdebar. Apakah selama ini suaminya memiliki dua ponsel yang tidak ia ketahui? Dengan perasaan bercampur baur, Jihan berusaha membuka ponsel itu. Terkunci! Jihan mencoba membukanya dengan password suaminya yang biasa. Tidak terbuka. Jihan berpikir keras. Menduga-duga apa password yang mungkin Tommy gunakan. Ia mencoba dengan memasukkan tanggal, bulan, dan tahun perkawinan mereka. Tidak bisa juga. Begitu juga dengan tanggal lahir suaminya. Semuanya tidak bisa juga. Ide terakhir Jihan memasukkan tanggal lahir Niko. Dan password pun terbuka!

Dengan tangan gemetar Jihan membuka ponsel lain suaminya. Air matanya jatuh berderai saat melihat apa isi ponsel rahasia suaminya ini. Photo-photo mesra suaminya dengan Diana. Tetangganya sekaligus mantan pacar suaminya. Diana ini baru enam bulan lalu bercerai dari Wahyu, suaminya. Wahyu berselingkuh dengan sekretarisnya sendiri, Tania, dan menceraikan Diana begitu saja. Padahal sudah ada seorang anak perempuan manis buah hati pernikahan mereka. Diana enam bulan lalu sampai nekad bunuh diri di tengah malam buta. Dirinya yang kala itu tengah hamil muda, membawa Diana ke rumah sakit dan menjaganya semalaman di sana.

Jihan limbung. Ia nyaris jatuh ke lantai. Untungnya ia masih sempat meraih meja kerja suaminya. Ia menangis meraung-raung di sana. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Diana sejahat ini. Lebih dari itu, ia sama sekali tidak menyangka kalau Tommy, sanggup menghianatinya.

"Bu, ada apa?" Nanik yang mendengar tangis histeris nyonya mudanya, berlari mendatangi asal suara dengan Niko dalam gendongannya. Tidak biasanya nyonya mudanya kehilangan kontrol diri seperti ini.

"Tidak apa-apa, Bik. Tolong Bibik dan Niko tunggu di luar saja. Sebentar lagi saya menyusul," tukas Jihan dengan suara parau. Sebisa mungkin ia menahan keinginan untuk menjerit-jerit histeris. Ia manusia biasa. Seorang perempuan yang kebetulan tengah hamil besar pula. Hormonnya menggelegak meminta pelampiasan penyaluran emosi. Namun ia sadar, ia berteriak hingga langit runtuh pun tidak akan ada gunanya. Yang harus ia lakukan adalah mencari fakta dan kebenarannya. Setelah itu barulah ia akan mengambil tindakan.

"Benar Ibu tidak apa-apa? Ibu mau minum teh manis hangat dulu barangkali? Saya buatkan ya, Bu?" Nanik tidak yakin kalau nyonya mudanya ini baik-baik saja. Tangisan penuh luka dan matanya yang memerah, menjelaskan segalanya. Nyonya mudanya sangat jauh dari kata baik-baik saja.

"Benar, Bik. Tolong, Bibik dan Niko tunggu di luar saja ya?" Walau merasa enggan, tak urung Nanik meninggalkan nyonya mudanya juga. Tapi ia bermaksud berdiri di depan pintu ruang kerja tuan mudanya ini saja. Jadi apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ia bisa langsung cepat menolong. Ia sungguh khawatir melihat piasnya wajah nyonya mudanya.

Sementara di dalam ruang kerja, Jihan membaca chat mesra antara Tommy dan Diana. Air matanya mengalir lagi. Ia sama sekali tidak mengira kalau mereka tega menghianatinya sekeji ini. Ketika ia membaca chat sekitar satu jam lalu soal reuni, pahamlah Jihan mengapa Tommy membohonginya. Ternyata Diana yang memang satu sekolah dengan Tommy dulu ada di antara para peserta reuni. Pantas saja Tommy membohonginya dengan mengatakan kalau semua peserta reuni adalah laki-laki. Jahat! Ini semua tidak bisa dibiarkan.

Dengan darah mendidih Jihan bermaksud menyusul ke tempat reuni dengan membawa serta Niko. Ia sudah tidak berhasrat lagi untuk mengunjungi ibunya. Ia bahkan tidak minta diantar oleh supir. Satu tekad kuat telah tumbuh di hatinya. Ia tinggal membuktikan satu hal. Kalau memang Diana bersama dengan suaminya nanti, ia tidak akan pulang lagi ke rumah ini lagi. Titik.

***

Jihan tiba di mall, tempat diselenggarakannya reuni terselubung Tommy. Dadanya panas membara. Menurut chat terakhir yang tadi ia baca di ponsel rahasia Tommy, mereka akan mengadakan reuni di Starbuc*. Tanpa membuang masa, Jihan segera melangkahkan kakinya ke tingkat dua mall. Emosi telah membuat fisiknya yang biasanya ringkih menjadi lebih kuat. Dengan perut buncit karena kehamilan delapan bulannya, ia masih sanggup berjalan segesit ini. Kemarahan telah membuat sistem tubuhnya dua kali lebih kuat dari biasanya.

Ketika akhirnya ia tiba di gerai Starbuc*, semua dugaannya benar. Ia melihat suaminya tengah memeluk mesra Diana di tengah teman-teman sekolahnya dulu. Tidak ada yang ia kenal selain Haikal di sana. Haikal adalah sahabat Tommy sedari kecil. Kedua orang tua Haikal dan Tommy mempunyai perkebunan kopi besar di Desa Sukawangi. Dulu sewaktu ia berpacaran dengan Tommy, ia pernah ke perkebunan beberapa kali. Makanya ia mengenal Haikal. Haikal juga mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Safa. Di sana ia juga pernah bertemu dengan Kanaya. Anak sahabat lama ayah Haikal. Dan dari IG Safa yang ia lihat baru-baru ini, ia baru tahu kalau Haikal sekarang telah menikahi Kanaya.

Jihan mempercepat langkah menghampiri pintu masuk ke gerai kopi. Bola matanya nyaris keluar dari rongga, saat ia melihat Diana mengelus-elus rahang Tommy mesra. Benar-benar perempuan tidak tahu malu. Ia berani bermesraan dengan suami orang di depan umum!

Pandangannya berpindah pada pada Haikal. Jihan mendengkus jijik melihat kelakuan dua perempuan yang sepertinya dulu teman sekelas Haikal. Tingkah polah keduanya juga tidak kalah mencengangkan. Mereka berdua tampak terus berusaha menyentuh-nyentuh Haikal. Padahal Haikal terlihat begitu gerah. Haikal juga berkali-kali menepis tangan-tangan nakal mereka.

Geraham Jihan saling beradu. Reuni model apa ini? Katanya semua yang datang adalah laki-laki. Tetapi sepenglihatannya banyak sekali perempuan-perempuan yang bertebaran di sana sini. Tommy memang seorang pembohong ulung. Lihat saja, ia akan membuat acara mereka bubar sebelum waktunya. Baru saja ia bermaksud masuk ke dalam gerai kopi, seseorang memanggil namanya.

"Mbak Jihan," seseorang itu menahan laju tubuhnya, yang sedianya akan masuk ke dalam gerai kopi. Jihan menoleh ke samping. Mencari tahu siapa orang yang telah memanggilnya. Jihan mengernyitkan dahi. Memperhatikan lebih teliti wanita muda yang memanggilnya. Ah, ia ingat garis wajah sendu ini. Sepertinya gadis cantik ini adalah Kanaya. Walaupun telah sepuluh tahun tidak berjumpa, wajah Kanaya tidak banyak berubah. Ia tetap cantik dan anggun seperti dulu. Hanya saja auranya sudah berubah. Kanaya tampak lebih dewasa. Terakhir kali ia melihat wajah Kanaya adalah di IG Safa beberapa waktu lalu. Kalau berhadapan muka langsung seperti ini, baru kali ini setelah sepuluh tahun berlalu.

"Kanaya 'kan? Apa kabar, Nay? Kabarmu pasti baik ya? Kamu 'kan baru saja menikah dengan Haikal? Mbak kemarin dulu melihat photo pernikahanmu dan Haikal di IG Safa," cecar Jihan tanpa henti. Saat bingung ia memang cenderung cerewet.

Setelah mengajukan berondongan pertanyaan, Jihan menepuk keningnya sendiri. Ia menjadi linglung karena telah bertanya namun ia sendiri yang menjawab pertanyaannya.

"Walah, Mbak yang nanya, malah Mbak sendiri yang menjawab. Maaf ya, Nay. Mbak agak-agak error ini karena sedang emosi," guman Jihan.

Sesuatu melintasi benaknya. Ingatan tentang dua orang wanita yang terkesan terus mengganggu Haikal di dalam gerai kopi. Pasti Kanaya ke sini karena ingin memata-matai suaminya seperti dirinya.

"Mbak yakin, kamu juga pasti merasakan hal yang sama bukan? Buktinya kamu mengintai Haikal dari sini," sergah Jihan gemas. Teringat pada tujuan utamanya yang ingin melabrak Diana dan Tommy, Jihan merasa emosinya kembali naik ke titik tertinggi. Ia akan menghabisi mereka berdua. Dengan adanya Kanaya, itu lebih membesarkan hatinya. Setidaknya ada seorang lagi yang akan membantunya melabrak perempuan-perempuan tidak punya akhlak seperti perempuan-perempuan kegatela* di dalam sana. Memikirkan semua itu, Jihan kian bersemangat.

"Ayo kita labrak saja, perempuan-perempuan perebut suami orang itu, Nay," desis Jihan geram. Ia menarik tangan Kanaya agar mengikutinya masuk ke dalam gerai. Namun sayangnya, Kanaya malah melepaskan cengkramannya.

"Sabar, Mbak. Ingatlah, dalam keadaan apapun, jangan biarkan emosi mengalahkan kecerdasan kita, Mbak. Ingat, yang salah bukan hanya wanita itu, tapi Mas Tommy juga 'kan? Tepuk tangan tidak akan berbunyi kalau hanya sebelah tangan."

Kalimat Kanaya bagai air es yang menyiram kepala Jihan. Kalimat tepuk tangan tidak akan berbunyi jika hanya satu tangan, menyadarkannya. Tommy juga menginginkan perselingkuhan ini. Tommy menikmatinya. Sebenarnya yang paling salah di sini adalah Tommy. Seberapa hebat pun seorang perempuan menggoda, kalau imannya kuat, pasti tidak akan kejadian. Buktinya ya seperti Haikal tadi. Kedua wanita itu begitu beringas menggodanya terang-terangan, namun Haikal terang-terangan menolak. Haikal terus menepis tangan-tangan nakal mereka. Jadi intinya di sini, bukan pelakornya saja yang mau, tetapi lakornya juga setuju. Kalau begitu untuk apa lagi ia melabrak Diana bukan? Toh memang suaminya juga kooperatif dan menikmatinya.

Memikirkan kebenaran kalimat Kanaya, Jihan tidak kuasa menjawab. Ia hanya berdiri terpaku dengan bibir bergetar dan air mata membanjir. Ia menyadari semua kebenaran kata-kata Kanaya. Hanya saja ia masih belum bisa menerima kenyataan. Kilasan-kilasan kejadian beberapa bulan lalu, semuanya berdesakan dalam benaknya. Mereka seakan berlomba-lomba ingin mengejeknya. Mengejek kenaifannya, hingga ia dengan mudah bisa dikelabuhi seperti ini. Keadaannya mungkin membuat Kanaya khawatir. Kanaya berkali-kali menanyakan apakah ia baik-baik saja.

"Mbak tidak apa-apa, Nay. Mbak hanya sakit hati saja," desah Jihan pilu.

"Kamu tau tidak, wanita di samping Mas Tommy itu namanya Diana. Diana itu mantannya Mas Tommy, sebelum Mas Tommy berpacaran dengan Mbak. Diana itu juga tetangga baru kami, Nay. Diana juga baru saja diceraikan suaminya, karena suaminya ingin menikahi sekretarisnya. Enam bulan lalu, Mbak siang malam menghiburnya. Membesarkan hatinya. Tapi lihat? Bagaimana balasannya pada, Mbak? Wajar 'kan kalau Mbak ingin mengunyeng-unyeng dirinya?" adu Jihan sedih. Jujur ia memang seperti anak kecil yang meminta pembenaran. Tapi apa yang dikatakannya itu benar bukan? Kanaya tidak mengatakan apa-apa. Kanaya hanya mengelus-elus punggungnya lembut. Berusaha terus membesarkan hatinya.

"Mbak, memang benar Diana itu jahat. Tapi coba dengarkan baik-baik kata-kata saya. Seberapa pun jahatnya Diana kepada Mbak, Mbak tidak boleh menyerangnya."

Jihan meradang. Sebenarnya Kanaya ini berpihak pada siapa. Saat ia ingin menyangkal kata-kata Kanaya, mengangkat tangannya. Isyarat tanpa kata kalau ia tidak ingin kalimatnya dipotong.

"Dengar dulu penjelasan saya, Mbak. Begini, kalau Mbak menyerang Diana, ia bisa melaporkan Mbak ke pihak yang berwajib atas dasar penganiayaan. Jika bukti visum membuktikan kalau ia terluka oleh serangan Mbak, Mbak bisa dipolisikan. Sampai di sini Mbak paham 'kan?"

Jihan mengangguk. Walau pahit, tapi apa yang dikatakan Kanaya itu memang benar. Jihan sekarang memahami konsekuensi apabila ia tetap bersikeras melabrak Diana. Ya, ia tahu kalau melabrak Diana selain bisa membuatnya masuk penjara, ia juga hanya mempermalukan dirinya sendiri. Tommy toh bukan barang yang bisa dicuri, diambil atau dirampas. Tommy memang mau dengan Diana. Titik.

Tetapi sebagai seorang istri, rasa-rasanya berat sekali dipaksa harus menelan kenyataan ini. Dadanya kian berombak-ombak. Tangisnya yang tadi hanya berupa lelehan air mata tanpa suara, kini berubah menjadi isakan-isakan kecil. Akibatnya Niko jadi ikut-ikutan menangis karena melihatnya menangis. Demi Tuhan, hatinya perih bagai luka yang disiram dengan air garam.

Sesuatu pikiran melintasi benak Jihan. Tidak bisa begini. Ia harus mengakhiri semuanya. Cukup sudah selama ini ia mengalah. Untuk pertama kalinya, ia akan membuat satu keputusan besar tanpa campur tangan siapa pun. Dia adalah manusia yang mempunyai akal dan pikiran sendiri. Untuk itu, ia akan memutuskan nasibnya sendiri.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Suzy Wiryanty

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku