Cintanya, Penjaranya, Putra Mereka

Cintanya, Penjaranya, Putra Mereka

Gavin

5.0
Komentar
567
Penayangan
21
Bab

Selama lima tahun, suamiku, Brama Wijaya, mengurungku di sebuah panti rehabilitasi. Dia mengatakan pada dunia bahwa aku adalah seorang pembunuh yang telah menghabisi nyawa adik tiriku sendiri. Di hari kebebasanku, dia sudah menunggu. Hal pertama yang dia lakukan adalah membanting setir mobilnya ke arahku, mencoba menabrakku bahkan sebelum aku melangkah dari trotoar. Ternyata, hukumanku baru saja dimulai. Kembali ke rumah mewah yang dulu kusebut rumah, dia mengurungku di kandang anjing. Dia memaksaku bersujud di depan potret adikku yang "sudah mati" sampai kepalaku berdarah di lantai marmer. Dia membuatku meminum ramuan untuk memastikan "garis keturunanku yang tercemar" akan berakhir bersamaku. Dia bahkan mencoba menyerahkanku pada rekan bisnisnya yang bejat untuk satu malam, sebagai "pelajaran" atas pembangkanganku. Tapi kebenaran yang paling kejam belum terungkap. Adik tiriku, Kania, ternyata masih hidup. Lima tahun penderitaanku di neraka hanyalah bagian dari permainan kejinya. Dan ketika adik laki-lakiku, Arga, satu-satunya alasanku untuk hidup, menyaksikan penghinaanku, Kania menyuruh orang untuk melemparkannya dari atas tangga batu. Suamiku melihat adikku mati dan tidak melakukan apa-apa. Sambil sekarat karena luka-luka dan hati yang hancur, aku menjatuhkan diri dari jendela rumah sakit, dengan pikiran terakhir sebuah sumpah untuk balas dendam. Aku membuka mataku lagi. Aku kembali ke hari pembebasanku. Suara sipir terdengar datar. "Suamimu yang mengaturnya. Dia sudah menunggu." Kali ini, akulah yang akan menunggu. Untuk menyeretnya, dan semua orang yang telah menyakitiku, langsung ke neraka.

Bab 1

Selama lima tahun, suamiku, Brama Wijaya, mengurungku di sebuah panti rehabilitasi. Dia mengatakan pada dunia bahwa aku adalah seorang pembunuh yang telah menghabisi nyawa adik tiriku sendiri.

Di hari kebebasanku, dia sudah menunggu. Hal pertama yang dia lakukan adalah membanting setir mobilnya ke arahku, mencoba menabrakku bahkan sebelum aku melangkah dari trotoar.

Ternyata, hukumanku baru saja dimulai. Kembali ke rumah mewah yang dulu kusebut rumah, dia mengurungku di kandang anjing. Dia memaksaku bersujud di depan potret adikku yang "sudah mati" sampai kepalaku berdarah di lantai marmer. Dia membuatku meminum ramuan untuk memastikan "garis keturunanku yang tercemar" akan berakhir bersamaku.

Dia bahkan mencoba menyerahkanku pada rekan bisnisnya yang bejat untuk satu malam, sebagai "pelajaran" atas pembangkanganku.

Tapi kebenaran yang paling kejam belum terungkap. Adik tiriku, Kania, ternyata masih hidup. Lima tahun penderitaanku di neraka hanyalah bagian dari permainan kejinya. Dan ketika adik laki-lakiku, Arga, satu-satunya alasanku untuk hidup, menyaksikan penghinaanku, Kania menyuruh orang untuk melemparkannya dari atas tangga batu.

Suamiku melihat adikku mati dan tidak melakukan apa-apa.

Sambil sekarat karena luka-luka dan hati yang hancur, aku menjatuhkan diri dari jendela rumah sakit, dengan pikiran terakhir sebuah sumpah untuk balas dendam.

Aku membuka mataku lagi. Aku kembali ke hari pembebasanku. Suara sipir terdengar datar. "Suamimu yang mengaturnya. Dia sudah menunggu."

Kali ini, akulah yang akan menunggu. Untuk menyeretnya, dan semua orang yang telah menyakitiku, langsung ke neraka.

Bab 1

Panti rehabilitasi itu adalah sebuah kotak putih steril di pinggiran Jakarta, sebuah tempat yang dirancang untuk menghapus keberadaan seseorang. Selama lima tahun, tempat itu telah menjadi duniaku. Dindingnya kosong, udaranya berbau disinfektan dan keputusasaan, dan satu-satunya pemandanganku adalah sepotong langit kelabu.

Aku menatap bayanganku di lantai yang mengilap. Wajah kurus kering balas menatapku, dengan mata cekung dan kulit pucat. Pakaian yang kukenakan, seragam longgar, menggantung di tubuhku yang tinggal tulang. Pakaian itu adalah pengingat terus-menerus bahwa aku bukan lagi Anjani Putri, primadona kesayangan kalangan elite Jakarta. Aku hanyalah sebuah nomor, seorang pasien, seorang pembunuh.

Lima tahun yang lalu, suamiku, Brama Wijaya, memasukkanku ke sini. Dia melakukannya setelah aku dituduh membunuh adik tiriku, Kania Anindita. Dia mengatakan pada dunia bahwa itu adalah tindakan belas kasihan, sebuah kesempatan bagi istrinya yang hancur untuk menebus kejahatannya yang mengerikan.

Aku berlutut, lutut telanjangku menekan lantai yang dingin dan keras. Rasa sakit yang sudah biasa. Di depanku ada sebuah foto berbingkai Kania, yang sedang tersenyum. Ini adalah ritual harianku, penebusan dosaku yang dipaksakan. Aku harus berlutut di hadapannya selama dua jam setiap pagi dan dua jam setiap malam.

Seribu delapan ratus dua puluh lima hari. Aku telah menghitung setiap harinya.

Sebuah gedoran keras di pintu memecah kesunyian. Sipir masuk, wajahnya tanpa ekspresi.

"Bangun, Anjani. Kau dibebaskan."

Kepalaku terangkat. Bebas? Kata itu terasa asing, mustahil.

"Suamimu yang mengaturnya. Dia sudah menunggu."

Lima tahun. Lima tahun di neraka dunia ini, yang diatur oleh pria yang seharusnya mencintaiku. Pria yang dilihat semua orang sebagai malaikat yang saleh dan penuh kasih karena tidak menceraikan wanita yang membunuh adik ipar kesayangannya. Mereka tidak melihat kebenarannya. Mereka tidak mengenal Brama.

Dia bukan malaikat. Dia adalah iblis yang telah dengan cermat menciptakan purgatorium untukku.

Aku berjalan keluar dari panti, mataku mengerjap menahan silaunya matahari yang terasa asing. Aku berharap melihat wajah yang ramah, seorang anggota keluarga, siapa pun. Tapi trotoar itu kosong. Teman-temanku telah meninggalkanku. Keluargaku telah mencampakkanku. Aku benar-benar sendirian.

Sipir itu memberiku sebuah kotak kecil. "Perintah Tuan Brama. Dia bilang kau harus melanjutkan penebusan dosamu di rumah. Benda ini harus selalu bersamamu."

Di dalamnya ada foto Kania berbingkai yang sama. Rasa dingin yang mencekam menjalari tubuhku. Penjaranya mungkin berubah, tetapi hukumannya tetap sama.

Sebuah mobil hitam berhenti. Sopir keluarga Wijaya, seorang pria yang dulu menyapaku dengan senyum hangat, sekarang menatapku dengan tatapan hina saat dia membukakan pintu. Perjalanan kembali ke rumah mewah yang dulu kusebut rumah terasa sunyi. Rumah itu sama seperti yang kuingat, megah dan dingin. Tapi sekarang, aku bukan lagi nyonyanya. Aku adalah tawanannya.

Para pelayan dan kepala pelayan berbaris, bisikan mereka seperti desisan ular. Mereka menatapku bukan dengan kasihan, tetapi dengan cemoohan.

"Dia akhirnya keluar."

"Lihat dia. Seperti hantu."

"Tuan terlalu baik. Wanita seperti itu seharusnya membusuk di penjara."

Aku mengabaikan mereka, pikiranku berpegang pada satu-satunya harapan. Sebuah janji yang kubuat pada nenekku yang sedang sekarat bertahun-tahun yang lalu.

"Anjani," bisiknya, tangannya yang rapuh berada di genggamanku, "apa pun yang terjadi, kau harus melindungi adikmu. Arga adalah satu-satunya yang kau miliki."

Arga. Adik laki-lakiku. Dialah satu-satunya alasan aku bertahan selama lima tahun terakhir. Dialah satu-satunya alasanku untuk terus hidup sekarang.

Aku memeluk foto itu ke dadaku dan berjalan menuju tangga besar, langkahku goyah. Aku harus menemuinya.

Tiba-tiba, decitan ban mobil menggema dari jalan masuk di belakangku. Aku berbalik tepat pada waktunya untuk melihat sebuah mobil sport perak melaju lurus ke arahku, mesinnya menderu. Aku membeku, tubuhku menolak untuk bergerak. Mobil itu akan menabrakku.

Pada detik terakhir, aku melemparkan diriku ke samping, terguling ke halaman rumput yang terawat rapi. Mobil itu berhenti mendadak beberapa senti dari tempatku berdiri. Lututku lecet, dan jantungku berdebar kencang di dada. Secara naluriah aku memeriksa foto di tanganku. Kacanya tidak retak. Pikiran itu membuatku merinding-naluri pertamaku adalah melindungi simbol siksaanku.

Pintu mobil terbuka.

Brama Wijaya melangkah keluar, postur tubuhnya yang tinggi terbalut setelan jas yang dijahit sempurna. Dia terlihat sama seperti lima tahun yang lalu: sangat tampan, dengan aura kesalehan dingin yang memikat semua orang yang ditemuinya. Matanya, yang sewarna langit musim dingin, menatap mataku. Tidak ada kekhawatiran di sana, tidak ada keterkejutan. Hanya ketidakpedulian yang datar dan mengerikan.

Itu dia. Dia telah mencoba menabrakku.

Napas ku tercekat. Rasa takut yang telah kuhadapi selama lima tahun melilit perutku, mencekikku. Pria ini bukan hanya penyiksaku; dia adalah cinta sejatiku.

Aku teringat pada diriku yang dulu-ceria, sedikit liar, mengejar Brama Wijaya yang sulit dipahami dan dingin. Aku telah mengubah segalanya tentang diriku untuknya. Aku melunakkan sifatku, mempelajari hobi-hobinya yang tenang, membentuk diriku menjadi istri yang sempurna dan sopan seperti yang dia inginkan.

Untuk waktu yang singkat, aku pikir aku telah berhasil. Hari pernikahan kami adalah hari terindah dalam hidupku. Aku akhirnya memenangkan hati pria yang kupuja.

Lalu Kania meninggal, dan duniaku hancur.

Sekarang, berdiri di hadapannya, memar dan gemetar, aku bukan lagi gadis itu.

Aku bergegas berdiri, suaraku serak berbisik. "Brama... aku perlu bertemu Arga."

Dia berjalan ke arahku, tatapannya menyapu penampilanku yang acak-acakan dengan jijik. Dia berhenti tepat di depanku, begitu dekat hingga aku bisa merasakan hawa dingin yang memancar darinya.

"Kau tidak dalam posisi untuk membuat permintaan, Anjani." Suaranya rendah dan halus, suara yang sama yang pernah membisikkan kata-kata cinta.

"Tolong," aku memohon, satu kata itu keluar dari tenggorokanku. "Hanya sebentar."

Dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia membuat gerakan kecil dan tajam kepada dua pengawal besar yang telah keluar dari rumah.

"Sepertinya lima tahun perenungan tidak mengajarimu kerendahan hati," katanya, suaranya tanpa emosi. "Hukumanmu belum berakhir. Ini baru saja dimulai."

Para pengawal mencengkeram lenganku. Cengkeraman mereka seperti besi.

"Bawa dia ke kandang anjing," perintah Brama, membelakangiku seolah-olah aku hanyalah sampah yang harus dibuang.

Kandang anjing. Dia akan mengurungku di kandang anjing.

Kepanikan mencakar-cakar tenggorokanku. "Tidak! Brama, tidak! Tolong!"

Mereka menyeretku pergi, permohonanku bergema tanpa jawaban di halaman yang luas dan kosong.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya
Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

xuanhuan

5.0

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka—yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku—orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia—ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Romantis

5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Miliarder

5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Buku serupa

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku