Letnan Arya Pradipta, seorang anggota pasukan khusus Indonesia, ditugaskan dalam misi rahasia untuk menyelamatkan Alana Weston, seorang relawan kemanusiaan yang disandera oleh kelompok teroris internasional. Namun, misi penyelamatan berubah menjadi pertempuran bertahan hidup ketika mereka terjebak di wilayah musuh dan menemukan bahwa ada konspirasi politik yang lebih besar di balik penculikan Alana.
Darah dan debu bercampur di udara saat Letnan Arya Pradipta bergerak di bawah bayang-bayang reruntuhan bangunan di perbatasan Suriah dan Turki. Napasnya tetap stabil meski jantungnya berdetak cepat di balik rompi anti-peluru. Suara komunikasi dari timnya terdengar melalui earpiece di telinganya.
"Target dikonfirmasi. Sandera berada di dalam kompleks utama, lantai dua."
Arya mengencangkan genggamannya pada senapan serbu yang dilengkapi peredam. Lima anggota timnya telah lebih dulu menyusup ke dalam area, bergerak dalam kegelapan dengan langkah senyap. Malam itu hanya diterangi cahaya bulan samar.
"Eksekusi dalam tiga detik."
Tepat sesuai rencana, timnya menyingkirkan dua penjaga di pintu utama tanpa menimbulkan kebisingan. Arya memberikan isyarat lalu masuk ke dalam bangunan bersama mereka. Bau mesiu bercampur dengan debu memenuhi udara.
Mereka bergerak menyusuri lorong dengan senjata terangkat, mata waspada mengamati setiap sudut. Dari arah kanan, terdengar langkah kaki mendekat. Arya mengangkat tangan, memberi kode. Dua anggota tim segera mengambil posisi dan menembak dua musuh yang muncul sebelum mereka sempat bereaksi.
Arya menaiki tangga menuju lantai dua, mengikuti denah bangunan yang telah ia hafalkan sebelum misi dimulai. Di ujung koridor, sebuah pintu besi tampak tertutup rapat.
"Letnan, target ditemukan."
Ia merapat ke dinding dan memberi tanda kepada timnya. Salah satu prajurit memasang peledak kecil di engsel pintu, menghitung mundur sebelum akhirnya pintu itu terlempar ke belakang. Asap tipis menyebar di udara.
Arya memasuki ruangan lebih dulu, senjatanya terangkat, memeriksa setiap sudut. Di dalam, seorang wanita terduduk di sudut ruangan dengan tangan terikat.
Mata mereka bertemu-sepasang mata penuh ketakutan, namun juga menyimpan keteguhan.
Dalam bahasa Arab, wanita itu berbisik pelan seolah mengucapkan doa terakhirnya.
Arya berjongkok di hadapannya dan mulai melepaskan ikatan di pergelangan tangannya. "Apakah Anda Alana Weston?"
Wanita itu menatapnya beberapa saat sebelum mengangguk pelan.
"Dengar, saya di sini untuk membawa Anda keluar," kata Arya dengan nada tegas. "Apakah Anda bisa berjalan?"
Alana berusaha bangkit, tetapi tubuhnya lemah dan hampir terjatuh. Arya segera menangkapnya, menopang tubuhnya agar tetap berdiri.
"Tim, kita harus segera keluar."
Namun sebelum mereka bisa bergerak, ledakan mengguncang bangunan. Arya terhuyung ke belakang sementara debu dan puing berjatuhan dari langit-langit.
"Letnan, ini jebakan! Mereka sudah mengetahui keberadaan kita!"
Arya segera menarik Alana ke dalam perlindungannya, berlindung di balik meja. Dari luar, suara tembakan mulai menggema di seluruh gedung.
Misi penyelamatan ini telah berubah menjadi pertempuran untuk bertahan hidup.
Suara tembakan semakin intens. Peluru berhamburan, menghantam dinding dan menimbulkan pecahan beton yang beterbangan ke segala arah. Arya menekan tubuh Alana agar tetap berlindung di balik meja, sementara matanya mengamati situasi.
"Delta-1, status?" Arya berbicara melalui radio, memastikan kondisi timnya.
"Kami terkepung di pintu masuk utama. Musuh datang dari sisi timur dan selatan."
"Bertahan. Saya akan membawa target keluar melalui rute darurat."
Arya mengangkat senjatanya lalu mengintip sedikit dari balik meja. Tiga orang musuh bergerak mendekat dari koridor. Tanpa membuang waktu, ia menembak mereka satu per satu dengan presisi.
Alana terkejut tapi ia tetap diam. Matanya menatap Arya dengan waspada seolah mencoba memahami siapa pria berseragam militer yang datang untuk menyelamatkannya.
"Saya akan membawa Anda keluar dari sini," kata Arya. "Tetap di belakang saya dan jangan sampai tertinggal."
Alana mengangguk, meskipun wajahnya masih menunjukkan ketegangan.
Arya menarik napas dalam lalu memeriksa jalur keluar. Mereka harus mencapai tangga darurat yang terletak di sisi barat gedung. Namun, situasi di luar semakin buruk.
"Delta-1, kita butuh ekstraksi sekarang!"
"Negatif, Letnan! Area masih terlalu panas. Helikopter tidak bisa mendekat!"
Arya mengumpat pelan. Tidak ada pilihan lain selain mencari jalur alternatif. Ia mengaktifkan mode peta digital di jam tangannya, melihat denah bangunan. Ada sebuah terowongan tua di bagian bawah gedung yang bisa mereka gunakan.
"Ikuti saya," katanya sambil menarik Alana berdiri.
Mereka bergerak cepat melewati lorong, berusaha menghindari baku tembak di bagian depan gedung. Beberapa musuh masih berjaga di koridor belakang, tetapi Arya menyingkirkan mereka dengan serangkaian tembakan senyap.
Saat mereka hampir mencapai pintu menuju ruang bawah tanah, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Arya menoleh dan mendapati beberapa musuh sudah mengejar.
"Masuk sekarang!" Arya mendorong Alana ke dalam ruangan.
Ia berbalik dan menembakkan peluru terakhir dalam magazinnya, menjatuhkan salah satu musuh. Namun, jumlah mereka lebih banyak dari yang ia perkirakan. Arya menarik pisau dari sarungnya dan bersiap menghadapi pertempuran jarak dekat.
Seorang pria bersenjata mendekat dengan cepat, tetapi Arya lebih cepat. Ia menghindari serangan lawan dan menebas leher pria itu dengan satu gerakan presisi. Darah mengalir deras, dan tubuh musuh itu ambruk ke lantai.
Tidak ada waktu untuk berhenti. Arya segera masuk ke ruang bawah tanah dan mengunci pintu di belakangnya. Ia menoleh ke arah Alana, yang berdiri dengan tubuh gemetar, tetapi matanya tetap tajam.
"Apakah Anda baik-baik saja?" tanyanya.
Alana mengangguk perlahan. "Saya bisa bertahan."
Arya memperhatikan raut wajahnya. Meski terlihat lelah dan ketakutan, ada sesuatu dalam sorot matanya-keteguhan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang dalam situasi seperti ini.
"Kita akan keluar dari sini," ujar Arya dengan keyakinan penuh.
Tanpa membuang waktu, mereka berdua melangkah masuk ke dalam kegelapan terowongan, meninggalkan pertempuran di belakang mereka.
Langkah kaki Arya dan Alana bergema di sepanjang terowongan gelap yang sempit. Hanya cahaya redup dari lampu tak berfungsi yang berkelap-kelip di beberapa titik, membuat suasana semakin mencekam. Bau lembab bercampur dengan debu memenuhi udara.
Arya berjalan di depan, senjatanya terangkat, siap menghadapi kemungkinan ancaman. Alana mengikuti di belakangnya dengan langkah hati-hati.
"Berapa lama kita harus melewati ini?" tanya Alana dengan suara lirih.
"Terowongan ini membentang hingga satu kilometer ke luar kompleks," jawab Arya sambil terus melangkah. "Jika tidak ada kendala, kita bisa keluar dalam lima belas menit."
Alana mengangguk pelan, meskipun rasa tidak nyaman terlihat di wajahnya.
Beberapa meter ke depan, Arya berhenti tiba-tiba dan mengangkat tangan, memberi isyarat kepada Alana untuk diam. Ia mendengar sesuatu-suara langkah kaki di kejauhan.
Seseorang ada di dalam terowongan bersama mereka.
Arya segera mematikan senter di senjatanya dan merapat ke dinding. Ia menarik Alana mendekat, membuat mereka bersembunyi dalam bayangan.
Suara langkah itu semakin mendekat.
Arya dengan tenang melepas pengaman pistolnya. Jika musuh menemukan mereka, pertempuran di ruang sempit ini akan sulit dihindari.
Bayangan bergerak di ujung lorong. Arya menahan napas, menunggu momen yang tepat. Namun, sebelum ia bisa bereaksi, sebuah suara terdengar dari radio di rompinya.
"Letnan, ada pasukan musuh masuk ke terowongan! Mereka mengetahui jalur pelarian Anda!"
Arya mengumpat pelan. Musuh sudah menduga rute yang mereka ambil.
Langkah kaki di depan mereka semakin cepat. Tidak ada pilihan lain.
"Saya akan membuat pengalihan," bisik Arya kepada Alana. "Tetap di sini dan jangan bergerak sampai saya kembali."
Alana tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk.
Arya bergerak cepat, bersembunyi di balik pilar beton. Saat musuh melangkah lebih dekat, ia melemparkan pisau kecil ke salah satu dari mereka, tepat mengenai tenggorokannya. Pria itu jatuh tanpa suara.
Dua orang lainnya tersentak, tetapi sebelum mereka bisa bereaksi, Arya menembak mereka dengan peluru senyap. Tubuh mereka terjatuh ke lantai berdebu.
Arya segera kembali ke tempat Alana. "Ayo, sebelum mereka mengirim lebih banyak orang."
Mereka berdua melanjutkan perjalanan, tidak lama kemudian, mereka tiba di ujung terowongan dan yang mereka temukan justru membuat Arya terdiam.
Pintu keluar telah tertutup dengan reruntuhan besar.
Alana menatap Arya dengan cemas. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Arya mengevaluasi situasi. Menggunakan bahan peledak untuk menghancurkan puing-puing akan terlalu beresiko, bisa menarik lebih banyak musuh. Satu-satunya pilihan adalah mencari jalan lain.
Ia meraih radio dan berbicara kepada timnya.
"Delta-1, jalur utama tertutup. Apakah ada rute lain?"
"Tunggu sebentar, Letnan... Ada satu jalan, tapi lebih berbahaya. Ada tangga darurat di sisi kiri terowongan yang mengarah ke permukaan, tapi bisa jadi ada musuh yang berjaga di sana."
Arya menghela napas. Tidak ada pilihan yang benar-benar aman.
"Baik, kita akan ke sana."
Ia menoleh ke Alana. "Ikuti saya, dan tetap waspada."
Alana mengangguk.
Mereka kembali berjalan dalam gelap, menuju jalan keluar yang mungkin membawa mereka ke kebebasan atau ke dalam jebakan lain yang lebih berbahaya.
Buku lain oleh Wilda Puspita
Selebihnya