Lilian Allen memutuskan untuk pindah ke kota, walaupun sulit meninggalkan ibunda dan semua kehidupan kelam yang pernah ia jalani. Namun siapa sangka, kehidupan yang ia kira sempurna saat pindah ke kota menjadi lebih beragam, duka yang dirasa, suka cita yang membuncah, bahkan kehidupan cintanya dengan pria dingin yang jauh dari kata hangat. Apakah ia akan menemui pria kasar seperti ayahnya lagi? Atau mungkinkan Lilian bisa dekat dengan pria yang bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan baik? Semoga ia tidak terjebak pada pria buruk lainnya.
Prolog
Suara burung sayup terdengar beberapa kali seiring dengan matahari yang mulai terbenam. Hari ini cuaca tidak terlalu baik.
Namun, hal tersebut tidak mengurungkan langkah kaki kecil Lilian untuk untuk berjalan atau harus kembali pulang.
Tentu sembari menikmati lembayung sore yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak dan membiarkan matanya terpaku pada matahari yang akhirnya mulai menghilang di lautan.
Apa yang telah ia lalui hilang dan menguap begitu saja. Semua tidak seindah warna jingga matahari di langit luas, Lilian kembali menangisi hidupnya.
----------------------------------------------
Berbicara mengenai hari bahagia, hari ini adalah hari yang sangat oleh Lilian. Tepat di 20 Januari, ia merayakan ulang tahun yang ke 22 tahun.
Mungkin angka tersebut terlihat biasa saja bagi banyak orang, berbeda bagi Lilian. Angka 22 tentu menjadi angka yang paling ditunggu.
Selain ia hampir menyelesaikan studinya, ia berharap di usia 22 tahun akan mendapatkan kehidupan sebagai seorang gadis sempurna yang selama ini diidamkan.
Pekerjaan yang nyaman, percintaan manis dan hangat, pertemanan yang ada saat duka dan suka, serta keluarga yang sempurna.
Seketika Lilian tersenyum kecut, keluarga? Rasanya poin tersebut adalah hal yang tidak mungkin.
Bagaimana bisa ia mengharapkan kehidupan tersebut dari Ayah pemabuk yang kasar dan entah dimana keberadaanya. Di sisi lain Bubu (panggilan Lilian untuk ibundanya) yang menolak ikut dengannya ke kota dan memilih menetap di pinggiran kota dan bersusah payah.
"Piring dan gelas yang kamu bersihkan sudah sangat bersih Li, apa ingin gelasnya berubah warna?" Suara nyaring jelas mengganggu Lilian
dari lamunan.
Yap! Ternyata ia terus menggosok gelas terakhir yang sudah selesai dicuci, mungkin 1 atau 2 menit yang lalu? Entahlah.
Kafe kue dan kopi yang telah ia bereskan sejak 1 jam lalu akhirnya selesai. Umumnya saat malam hari seperti ini suasana kafe semakin ramai, namun tidak untuk hari ini.
Suasana kafe yang nyaman, menyenangkan dan romantis ini harus ditutup dan dihapus. Bukan,bukan karena tidak laku. Malam ini ia mendapat hadiah untuk bisa beristirahat cepat di hari ulang tahunnya. Jelas dari pemilik kafe yang tidak peduli dengan kafenya sendiri.
"Ini.. seperti ada noda tapi rasanya bukan. Sudah mau pulang?" Alasan yang aneh, biarlah. Di seberang tempatnya Penny hanya tersenyum geli.
Tampilan lembut, pintar masak, ditambah kesayangan keluarga. Siapa yang tidak mau denga Penelope, lucunya ia lebih senang tinggal sendiri dan kabur dari keluarga "impian"-nya.
"Ayo, segera kemasi barang jika sudah beres. Tidak ingat semalam pembawa berita menginfokan akan ada salju malam ini." Rengek Penny.
Karena alasan itulah ia mencoba menutup kafe lebih cepat. Atasannya pun tak peduli apakah kafe tersebut masih berjalan atau tidak. Anak orang kaya dengan harta bergelimang hanya menggunakan kafenya untuk "kedok" pebisnis saat arisan.
"Baik, sudah selesai dan semua sudah beres. Anyway, apakah penjemputan paksa ini sengaja dilakukan karena peduli dengan sahabatnya ?"
Penny mendengus, seolah ia tahu bahwa kebiasaan menjemputnya adalah tanda buruk.
"Aku ingat kau tidak bawa payung!" Ucap Penny dengan keimutan khas yang dibuat-buat. Ia tertawa kecil, tidak lupa ia bereskan sisa tisu dan mematikan lampu Kafe.
Rasanya cukup senang pulang dengan waktu yang cepat. Tak lupa ia mengunci pintu, mengecek kembali listrik yang tersambung dan air. Alat kontrolnya tepat di sebelah kiri kafe dengan tinggi yang masih bisa dijangkau.
"Apa kau tidak ada kuliah lagi?" Mengingat Penny adalah mahasiswi jurusan Sastra Belanda, tak lupa ia sibuk mengelola proyek bersama Kantor Kedutaan Belanda.
Penny menarik pintu membantunya agar terkunci dengan rapat. "Ada sisa proyek, tapi.. hari ini berbeda dan spesial. Tidak mungkin kulewatkan kan?" Jawabnya ringan.
Ia mencoba menyelesaikan secepat yang ia bisa, mengingat udara dingin sudah mulai berhembus. Tanda salju akan segera turun.
"Menyenangkan melihat salju turun, tapi...bagi yang berpasangan. Untuk yang sendiri seperti kita ini, apalagi berulangtahun... apa tidak menyedihkan?" Ledek Penny, jelas ledekannya itu menusuk hati. Tak lupa ia merapatkan jaket mantel hitam yang mahal, dan sudah jelas diberikan neneknya.
"Bukankah mantel itu terlalu tipis?" Ia tahu mantel tersebut adalah mantel kesayangan, namun rasanya salah untuk digunakan dalam kondisi seperti ini. Mantel tersebut sudah cukup tua dan terlalu dingin.
Penny hanya menggeleng kepalanya, percuma dijelaskan mengingat Penny cukup keras kepala.
Selesai mengunci kafe ia pulang dan berjalan dengan Penny. Menikmati sisa jam ulang tahun dan merasakan dinginnya cuaca di awal tahun. Sekilas masih cukup banyak pernak-pernik yang digunakan toko untuk merayakan tahun baru kemarin, bahkan sisa dekorasi natal.
Sungguh disayangkan, di hari ulang tahun nya ia mendapati cuaca tidak terlalu bagus dan bahkan turun salju.
Umumnya saat ia berulang tahun pasti Bubu mengajak jalan-jalan untuk mengelilingi sekitar pantai, di akhir hari ia akhirnya mendapatkan kue sederhana. Tidak lupa lilin ulang tahun yang kecil dan cepat meleleh. Lucunya, berapapun usia Lilian, pasti jumlah lilin tersebut selalu dua dan yang termurah di supermarket.
Hmm..pikirannya diliputi rasa rindu, walaupun di usia ini ia sangat senang dapat melihat salju dan jalan pulang dengan sahabatnya. Bukan dirayakan dengan kenangan sebelumnya, rasanya jelas berbeda. Sedih, tapi luar biasa menyenangkan.
"Li, i don't know..but.. i feel dizzy..." ia menghentikan langkahnya, menoleh kesamping dan mendapati Penny tidak ada, tak pikir lama ia langsung menolehkan kepalanya ke belakang. Ia mendapati Penny yang terduduk sembari memegang kepalanya tepat diatas tanah.
Langsung di cek wajah Penny yang mulai memucat, tak lupa suhu dengan menggunakan punggung tangan. Suhunya tidak masalah, gumamnya dalam hati.
Dengan sisa tenaganya, ia mencoba menarik Penny dan duduk di kursi terdekat.
"Penny, kau yakin tidak ingin diam atau duduk dan istirahat sebentar?" Penny mengangguk pasrah. Jelas ia pun bingung, beberapa waktu yang lalu ia masih bisa bergembira, bahkan meledek dirinya.
"Apa masih terasa sakit atau pusing?" tanyanya khawatir, bahkan jalan ke apartemen mereka masih 10 menit lagi.
"Iya, kenapa ya?" keluh Penny, ia juga terlihat semakin mengernyit. Jelas tanda bahwa sakit yang dideritanya bukan hal kecil.
Jelas pertama kali untuknya melihat Penny tiba-tiba mengeluh sakit, seorang Penelope Xu sehat dan bugar. Vitamin dan berbagai obat dengan brand mahal selalu tersedia di kamarnya. Satu tahun penuh ia berteman, jelas tidak ada masalah dengan kesehatan Penny.
"Apa tidak sebaiknya kita ke...Pen.." Belum selesai ia berbicara, Penny tiba-tiba jatuh dan tersungkur di tanah. Tubuhnya tidak bertenaga dan cukup dingin.
"Hey jangan bercanda..Penny..." Tepuknya di bagian pipi secara pelan, tapi sahabatnya tidak juga bergeming. Ia mencoba menoleh dan melihat ke arah kanan dan kiri. Namun, tidak ada orang satupun yang lewat. Salju baru turun, pasti ada banyak orang yang tidak membawa payung atau mantel dan berteduh.
"Tolong.. tolong.. kenapa tidak ada orang.... ehhmm.... tenang.. tenang...telepon rumah sakit.. tenang...Lili, everything will be ok, Penny keep strong....please" ucapnya.
Dibukanya tas yang lupa ia tutup resletingnya, mencoba menemukan ponsel hitamnya.
Sulit berpikir, mencoba untuk tidak panik layaknya ia mengomentari setiap adegan pertolongan pertama pada film yang sering ditonton, tapi semua itu sia-sia.
Ia mencoba melihat kontak yang tertera pada ponselnya. ugh kenapa ia tidak menyimpan nomor darurat layaknya nomor rumah sakit, pemadam kebakaran, superman? semua nomor yang ia cari tidak ada yang sesuai dengan kebutuham.
911? oh jangan harap, di negara ini 911 bahkan tidur bukan bekerja.
"Kau bisa bermain ponsel saat temanmu pingsan" suara berat dan parau tiba-tiba terdengar. ia menoleh sedikit dan melihat seorang pria berdiri tepat didepannya, dengan mantel tebal, masker yang menutup wajah dan mencoba menurunkan tubuhnya.
Pria tersebut langsung melihat kondisi Penny, menarik tubuhnya dan meminta untuk direbahkan di jalanan dingin. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengikuti arahannya. Ia mengecek bagian leher, tepat di nadi, bagian tangan, mengecek suhu di kening dan melihat jamnya.
Dunia ini memang aneh dan tidak adil? Begitu kata ibunya. Hal ini selalu diingat oleh Lilian, karena bagaimanapun bahagianya kamu faktanya bahwa dunia ini selalu tidak adil tidak ada kebahagiaan yang lengkap dimiliki oleh seorang manusia.
Pria tersebut membuka maskernya, menelepon nomor yang entah kemana dan siapa,
"Halo, RS St. Anna? Kirim Ambulan ke jalan Blugar IV nomor 8 tepat depan toko mainan 'Toy Story', hipotermia jadi tolong secepatnya" akhirinya. Lalu ia membuka mantel tebalnya dan melapisi Penny dengan mantel tersebut. Tak lupa ia mengeluarkan warm pad, produk penghangat tangan dan tubuh yang populer akhir-akhir ini.
Diletakannya di sekiar leher, dan digeser perlahan ke bagian belakang kepala.
"Ambulan akan datang, teriakan-mu sudah cukup terdengar. Tidak perlu menangis"
Apa? Lilian menangis? bahkan di saat tersulit hidupnya pun ia hanya bisa meratap. Kapan ia menangis?
Namun tak lama ia menyadari ada rasa hangat di pipinya. Benar ia menangis, dan disaat yang sama air matanya diseka oleh orang yang tidak dikenal. TIDAK DIKENAL-nya.