Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Ranum Merah

Ranum Merah

Kdian

5.0
Komentar
88
Penayangan
2
Bab

Di Zaman yang modern ini praktik perjodohan masih kerap terjadi. Seperti keluarga Wijaya yang menikahkan putri bungsunya Amilie Olivia Wijaya tepat saat usia 23 tahun dengan seorang pria yang lebih tua 5 tahun, Ethan Caius. Semua semata untuk keuntungan kedua belah pihak. Keluarga Wijaya sangat disegani dan keturunannya dikenal memiliki paras tampan dan ayu itu menjadi nilai lebihnya. Wanita yang terlahir dari keluarga Wijaya sudah pasti akan dinikahkan untuk keuntungan. Berbeda dengan anak laki-laki yang hidupnya jelas akan meneruskan keluarga. Sedangkan Caius adalah keluarga terkemuka, dikenal dengan kemampuan berbisnis dari turun temurun. Meski dalam benak aku menjerit namun pada akhirnya aku menurut. Kesan pertama saat bertemu dengan Ethan di hari pernikahanku. Aku bergetar ketakutan, tubuhnya yang tinggi dengan badan yang besar, tatapannya yang tajam rasanya mencekik ku. Dia tak berkata apapun namun berhasil membuatku mati membeku. Dengan ketakutan yang masih jelas, aku diboyong ke kediamannya sebagai istrinya. Lalu saat malam pertama, itu terjadi begitu saja tanpa rasa cinta diantar kami. Hari yang sepi berlalu begitu saja hingga aku dinyatakan hamil Itu awal titik terang hidupku. Ku abaikan sekelilingku dan bahkan kala rumor beredar bahwa suamiku memiliki wanita lain aku tak ambil pusing selagi dia tak menggeser posisi ku. Saat putraku berusia 10 tahun aku tak menyangka bahwa itu awal dari kehancuran keluarga kecil ku. Dan aku yang egois tak tahu apa-apa tentang suamiku sebenarnya. Penghianatan dari kakak kedua ku menghancurkan kami tanpa rasa iba. Kebakaran yang menewaskan suamiku-Ethan dengan tragis dan anakku yang mati tertembak mati juga disusul olehku. Penyesalan selalu datang terlambat dan jika di beri kesempatan aku akan lebih memperhatikan sekeliling yang berharga untukku.

Bab 1 Prolog

Aku pernah bermimpi menikah dengan pria yang ku cintai dan kisah kami akan menjadi indah. Seperti kisah-kisah dalam Disney yang berakhir Happy Ending. Ya, mungkin karena aku sangat mendambakan kisah cinta romantis layaknya dongeng.

Lalu seorang pria tampan akan menatapku dengan intens sembari mengandeng tangan ku, terkadang rayuan manis dilontarkan untukku hingga membuatku tersipu malu dengan wajah yang memerah bak buah delima yang matang.

Namun, suatu ketika aku terbangun dari khayalan dan mimpi itu.

Semua yang ku idam-idamkan, kisah manis nan indah tidak akan pernah terjadi. Harusnya aku sudah tahu itu dengan jelas.

Di Zaman yang modern ini praktik perjodohan masih kerap terjadi.

Seperti keluarga Wijaya yang menikahkan putri bungsunya Amilie Olivia Wijaya tepat saat usia 23 tahun dengan seorang pria yang lebih tua 5 tahun, Ethan Caius.

Semua semata untuk keuntungan kedua belah pihak.

Keluarga Wijaya sangat disegani dan keturunannya dikenal memiliki paras tampan dan ayu itu menjadi nilai lebihnya. Wanita yang terlahir dari keluarga Wijaya sudah pasti akan dinikahkan untuk keuntungan. Berbeda dengan anak laki-laki yang hidupnya jelas akan meneruskan keluarga.

Sedangkan Caius adalah keluarga terkemuka, dikenal dengan kemampuan berbisnis dari turun temurun.

Meski dalam benak aku menjerit namun pada akhirnya aku menurut.

Kesan pertama saat bertemu dengan Ethan di hari pernikahanku. Aku bergetar ketakutan, tubuhnya yang tinggi dengan badan yang besar, tatapannya yang tajam rasanya mencekik ku. Dia tak berkata apapun namun berhasil membuatku mati membeku.

Dengan ketakutan yang masih jelas, aku diboyong kekediamannya sebagai istrinya.

Lalu saat malam pertama, itu terjadi begitu saja tanpa rasa cinta diantar kami.

Begitu saja aku melanjutkan hidupku sebagai nyonya Caius. Kehidupan yang terasa kosong dan hampa. Dan sialnya kami harus tetap melakukan kewajiban sebagai suami istri untuk memiliki penerus.

Aku sempat berharap meski telah menikah aku akan diberi kebebasan untuk menggunakan gelar ku di bidang pendidikan. Setidaknya agar aku tak bosan, itu saja.

Namun, sia-sia saja. Aku dilarang bekerja dan hanya boleh menghabiskan waktu di dalam rumah besar yang sepi.

Satu tahun menjalani biduk rumah tangga yang dingin. Aku dinyatakan hamil.

Aku tidak bisa berekspresi kala itu, hanya menyentuh lembut perut yang katanya ada kehidupan itu. Dan Suamiku saat mengetahui bahwa aku mengandung hanya berkata. "Kerja Bagus." dengan wajah datarnya.

Hingga saat anak ku lahir, aku yang merasa hampa ini mulai melihat cahaya terang darinya. Tangannya yang munggil dan wajahnya yang lucu mengetarkan hati kaku ku. Semenjak itu aku berjanji mendedikasikan hidupku dan memberikan segala perhatian pada Evans Caius kecil ku.

Tidak lagi ku pedulikan takdirku, tak lagi aku bersedih untuk meratapi nasip dan mimpi untuk dicintai yang tak akan pernah jadi nyata itu.

Aku hanya fokus memberi perhatian pada anakku yang mulai memanggilku dengan "Ibu."

Di tengah tenangnya menjalani hari-hari, rumor tak mengenakkan mulai berdatangan. Suamiku yang jarang ada di rumah dan lebih sering pulang larut diterpa isu memiliki wanita lain.

Demi hidup yang tenang dan demi masa depan anakku aku memilih diam dan tak menyinggung hal itu pada suamiku. Dia pun tak pernah datang pada ku sekedar menjelaskan bahwa isu itu tak benar.

Lagipula, rumah tangga yang terlanjur tandus ini tidak bisa diupayakan lagi. Semuanya sudah kacau sejak awal dan kami tak memiliki niat mencoba memperbaiki itu.

Yang terpenting dia tak membawa wanita lain dalam istana yang jelas pemiliknya adalah aku.

Hingga putraku berusia 10 tahun. Ah! baru aku menyadari dia mulai tumbuh persis seperti Ayahnya. Dia sangat tampan, namun Evans ku lebih rupawan dalam segalanya. Setidaknya kepribadian putraku jauh lebih baik dari suamiku. Ya, itu yang ku pikirkan.

Lalu tiba-tiba dimalam yang dingin dengan hujan derasnya. Aku yang tertidur dengan tenang dikamarku di kejutkan dengan Ethan yang tiba-tiba menarikku dalam gendongannya. Lebih terkejut lagi kala melihat Evans juga ada dalam gendongan tangan kirinya. Namun, Evans tampak tertidur dengan pulas dalam gendongan Ayahnya.

Tampaknya Ethan baru saja pulang dari kerjanya, dia masih mengenakan jas lengkap.

Aku bertanya-tanya, namun mulutku terkunci rapat kala menyadari ini situasi genting. Asap yang entah dari mana mulai tercium dan api mulai melahap kediaman kami.

Dengan membawa beban aku dan juga Evans dalam gendongannya, Ethan berlarian menuruni anak tangga.

Suamiku-Ethan, ekspresi yang tak biasa ku lihat. Wajah yang biasa kaku, wajah yang biasa datar, dan dingin itu kini tampak cemas.

Dengan penuh keraguan aku bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Sesuatu yang buruk." jawabnya dengan suara samar.

Aku bukannya tak tahu bahwa sesuatu buruk tengah menimpa kita. Tapi, ya sudahlah aku tak ingin kian menganggu konsentrasinya. Setidaknya dia ingat menyelamatkan istri juga anaknya.

Dengan cepat api melahap segalanya.

Crack!...

Terdengar suara retak yang sangat jelas. Aku dan Ethan secara bersamaan menoleh ke atas. Lampu kaca gantung besar yang menghiasi langit-lagit ruang tamu rasanya akan terjatuh.

Ethan menurunkan aku dari gendongannya dan memberikan Evans dalam pelukan ku.

Crack!...

Crack!...

Duak!...

Aku didorong kuat oleh Ethan menjauh darinya.

Mata ku membulat dengan tubuh yang bergidik hebat.

Craang!...

Lampu itu terjatuh.

Tepat menghantam Ethan yang ada di bawahnya. Darahnya berserak ke mana-mana.

Jemariku menutup mataku tak kuasa melihat kejadian yang baru saja ku lihat. Jantung ku berdetak dengan hebat. "TIDAK!! ETHAN!!" air mata ku menetes begitu deras, tubuhku terasa begitu lemas.

Jika dia tak mendorongku dan Evans, sudah jelas kami juga akan ikut mati.

Aku tidak berharap akan berakhir seperti ini.

"Hua... Ibu... Ibu..."

Saat aku tak berdaya dengan situasi, tangisan Evans terdengar. Aku tersadar bahwa saat ini harus menyelamatkan diri lebih dulu. Api mulai melahap segala yang bisa disentuhnya. Dan saat itu aku sangat yakin bahwa Ethan mengorbankan dirinya agar kami berdua tetap hidup.

Aku sempat tak percaya, Ethan pria dingin itu mementingkan kami dari pada dirinya sendiri. Mungkinkah selama ini tentangnya yang ku pikir adalah kesalahan? Huh! Menyesal sekarang untuk apa?

Aku dan Evans berhasil selamat. Anakku menangis tersedu-sedu dalam pelukan ku. Ku pandang api yang mulai melahap rumah besar dihadapanku, didalamya suamiku-Ethan juga ikut dilahap. Hujan deras bahkan tak mampu memadamkan api itu. Lalu mengingat Ethan hatiku terasa sakit dan aku tak mampu menahan air mataku yang menetes begitu saja.

Dia bukan pria yang baik dan dia juga bukan pria yang buruk.

"Oh! adikku."

Aku menoleh cepat kala mendengar kalimat itu. Tentu saja aku terkejut awalnya.

Namun, sekarang aku tak memiliki waktu untuk berdiam. "Kakak! Kakak!! Cepat panggilkan pemadam." ucapku buru-buru setelah menyadari bahwa kakak ada disini.

Kakak kedua ku, Noah Wijaya 39 tahun.

Aku memang tak dekat dengannya, namun sebagai keluarga tentunya dia akan membantu.

Tangan kakak dengan lembut mengelus puncuk kepalaku.

"Kasihan sekali kau adikku." ucapnya terdengar pilu.

Entahlah, rasanya dia mengatakannya tak tulus.

"Keponakanku terus menangis tersedu-sedu. Turunlah dari gendongan Ibumu, dia pasti lelah. Kemarilah..." ucapnya.

Mendengar ucapan kakak, Evans menatapku sekejap. Setelahnya dia menurut turun dari gendonganku. Lantas Evans berlari mendekati kakak ku yang merentangkan kedua tangannya. Evans anak yang terlalu polos.

Lalu...

Dor!!

Peluru tepat menancap di kepala Evans. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dengan cepat aku berlari menangkap tubuh putraku yang hampir menyentuh tanah.

Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa kakak melakukan ini?

Air mata memenuhi pelupuk mata dengan kemarahan, aku menatap tajam kearah kakak yang tampak santai.

"Kau tahu adikku yang bodoh. Suamimu berupaya mengagalkan usah besar yang telah dibangun, harusnya dia diam saja dan menurut bekerja sama dengan ku. Hanya karena kakak menggunakan merkuri dengan dosis besar dalam kosmetik dibeberapa cabang. Suamimu berniat melaporkan ku. Huh! Maka dari itu lebih baik menghancurkannya sekalian."

"Ups! Kau pasti tak tau banyak tentang suamimu. Ah! Ethan yang malang. Kau istri yang buruk, suamimu melewati banyak hal sulit sendirian."

"Aku berencana membunuh satu keluarga pada awalnya. Tapi siapa sangka kalian berdua selamat. Jadi, adikku aku terpaksa membunuh anakmu secara langsung. Tapi, kau tenang saja kau akan tetap hidup karena kau adikku yang berharga. Mm, maksudku karena kau pasti akan gila karena kehilangan anak tercinta dan suamimu bersamaan hahaha..."

Tawanya terdengar meledek juga penuh kemenangan.

Ku tatap wajah putraku yang memucat, darah di kepalanya disapu oleh derasnya hujan. Jelas aku tahu aku bukan istri yang baik, aku juga bukan Ibu yang sempurna. Tapi, siapa dia berani berkata seperti itu.

Tanganku mengepal kuat, derai air mata terus berlinang. Mengapa menjadi seperti ini?

Kemarahan dan kebencian meluap begitu saja aku berlari dan mengejar Noah dengan batu besar yang ada dalam gengaman ku. Noah terjatuh bersamaa dengan ku yang menimpanya. Ku hantam kuat kepalanya dengan batu yang ku gengam.

Dor...

Suara tembakan yang mengelegar tepat mengenai kepalaku, samar ku lihat wajah kak Noah. Dia mengusap kepalanya yang berdarah dan kalimat umpatan keluar dari mulutnya. "Wanita yang tak berguna."

Dan aku tergeletak dengan penyesalan, mengabaikan sekelilingku dengan egois. Jika aku diberi kesempatan aku akan memperbaiki segala yang aku bisa.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku