Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pelangi Di Atas Singasari

Pelangi Di Atas Singasari

Wijaya45

5.0
Komentar
222
Penayangan
11
Bab

Kisah penuh suka cita dan derai airmata dalam perjuangan menggapai harapan dan cinta dengan tokoh utama Ken Arok-ken Dedes serta Mahisa Agni satu-satunya murid empu Purwa, Ayahanda Ken Dedes, Permaisuri Kerajaan Singhasari (Indonesia) sekitar tahun 1222 Masehi

Bab 1 Menculik Bunga Mekar Di Lereng Gunung Kawi

Tumapel Indonesia sekitar 1222 Masehi

MAHISA AGNI DAPAT MENGERTI SELURUHNYA. Karena itu, maka ia tidak akan minta lebih banyak lagi dari Witantra. Apa yang dilakukan telah lebih dari cukup. Apalagi kesanggupan Witantra untuk ikut serta memecahkan persoalan itu besok, kalau Akuwu sudah pulang dari berburu.

"Berapa lamakah masa perburuan itu?"

"Pendek. Sehari, dua hari. Bahkan kadang-kadang baru tengah hari Sang Akuwu telah menjadi jemu dan kembali ke istana. Tetapi kadang-kadang sampai tiga empat hari berkemah di dalam hutan."

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari cara-cara itu telah dapat diketahui bahwa Akuwu Tumapel itu selalu berbuat menurut kehendak sendiri, tanpa mempertimbangkan pendapat orang lain. Meskipun demikian, maka Mahisa Agni percaya, apabila Akuwu itu mendengar peristiwa yang sebenarnya telah terjadi atas Ken Dedes, maka Sang Akuwu itu pasti akan membantu mencegah Kuda Sempana melakukan kesalahan serupa untuk ketiga kalinya.

Witantra itu pun kemudian mempersilakan Mahisa Agni untuk beristirahat. Sebab ia sendiri harus mempersiapkan diri untuk menempuh masa perburuan yang tak diketahui ke mana dan berapa lama. Karena itu, maka Witantra itu harus menyiapkan anak panah serta busurnya. Bahkan senjata-senjatanya yang lain. Mungkin akan dipergunakan pula tombak berburunya untuk melawan binatang-binatang buas yang tiba-tiba saja menyerangnya.

Mahisa Agni itu pun kemudian dipersilahkannya untuk beristirahat di gandok kanan. Besok ia dapat tinggal di tempat itu pula sambil menunggu Witantra kembali. Mungkin tidak terlalu lama. Dan selama itu ia tidak perlu mencemaskan Kuda Sempana. Sebab Witantra akan dapat mengawasinya. Sedang apabila Kuda Sempana tidak ikut serta, dan karena itu ia mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu, maka Witantra itu akan memberitahukannya dan ia harus segera pulang.

Karena itu, Mahisa Agni yang lelah setelah membersihkan diri segera membaringkan dirinya di atas sebuah pembaringan bambu. Dicobanya untuk menenangkan hatinya dan dicobanya untuk memejamkan matanya. Namun kegelisahannya selalu mengganggunya.

Demikianlah di tempat yang lain, Kuda Sempana pun berbaring di pembaringannya. Beberapa orang kawannya serumah, para pelayan dalam Akuwu, melihatnya dengan penuh keheranan. Namun, dibiarkannya Kuda Sempana itu terbaring diam, meskipun matanya tidak terpejamkan. Kuda Sempana itu sedang merenungkan apakah yang baru saja terjadi atasnya. Ia berbesar hati, karena ia mendapat kesempatan melepaskan diri dari Mahisa Agni yang akan menangkapnya, namun ia tidak dapat melupakan kekalahannya. Kekalahan yang pahit. Apalagi kekalahannya itu sama sekali bukan kekalahannya yang pertama. Dua kali ia mengalami kekalahan dari Mahisa Agni. Karena itu, maka dendam di dalam dadanya membara setinggi gunung.

"Kuda Sempana," terdengar seorang kawannya berkata kepadanya, "Besok Akuwu akan pergi berburu."

"Persetan!" jawab Kuda Sempana.

Kawannya itu mengerutkan keningnya. "Kenapakah kau? Apakah kau sedang mabuk tuak?"

"Jangan ribut!" bentak Kuda Sempana. Tetapi kawannya itu malahan tertawa. Alangkah menjengkelkannya.

"Akuwu telah memerintahkan, di antara kita, tiga orang harus mengikutinya di samping beberapa orang prajurit."

"Pergilah. Ajaklah dua orang yang lain."

"Akuwu menyebut nama di antara kita. Aku, kau dan pelayan yang baru itu. Ken Arok."

Kuda Sempana menggigit bibirnya. "Menjemukan," desisnya, "Katakan kepada Akuwu, Kuda Sempana sedang sakit."

"Jangan membual, Kuda Sempana. Berkatalah sendiri."

Kuda Sempana diam sesaat. "Kenapa anak itu harus ikut pula?"

"Siapa? Ken Arok maksudmu?"

"Ya."

"Entahlah. Itu adalah urusan Akuwu."

Kuda Sempana tidak menjawab. Ia sedang sibuk berpikir tentang dirinya sendiri. Tentang kegagalannya dan tentang kekalahannya. Namun wajah Ken Dedes tidak dapat dilupakannya. Ia akan dapat mati membeku apabila ia melihat gadis itu diperistri oleh Wiraprana kelak.

Kuda Sempana sama sekali tidak tertarik kepada kabar yang disampaikan oleh kawannya itu. Meskipun pada masa-masa yang lampau ia adalah seorang pemburu yang baik, dan berita tentang masa perburuan sangat menarik hatinya.

Kini ia sedang dirisaukan oleh persoalannya sendiri.

Tetapi, tiba-tiba wajah Kuda Sempana itu menjadi terang. Tiba-tiba saja ia bangkit dan berteriak kepada kawannya yang masih duduk dekat pembaringannya, "He, kau bilang Sang Akuwu akan berburu besok?"

Kawannya terkejut melihat perubahan yang tiba-tiba Itu. Sesaat ia memandangi wajah Kuda Sempana, dan kemudian bahkan kawannya itu bertanya," Apakah kau tertarik kabar itu?"

"Tentu. Tentu," sahut Kuda Sempana, "bukankah aku selalu mengikuti Akuwu berburu?"

"Tetapi kenapa kau menjadi seperti orang mabuk tuak, sehingga pada waktu aku sampaikan kabar itu, kau sama sekali tidak menaruh perhatian atasnya?"

"Siapa bilang aku tidak menaruh perhatian?"

"Kalau begitu kau benar-benar mabuk."

Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Mungkin aku agak mabuk. Tetapi aku sekarang sudah baik. Nah, apakah kau tahu ke mana Akuwu akan berburu?"

Kawannya itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak. Akuwu belum mengatakan kepadaku ke mana besok akan berburu. Bukankah biasanya kau dapat membujuknya menurut kehendakmu saja."

Kuda Sempana tersenyum. Besok pagi-pagi ia harus menghadap. Perburuan kali ini adalah perburuan yang pasti akan mengasyikkan. Mudah-mudahan Sang Akuwu mau mendengarkan ceritanya.

Malam itu Kuda Sempana sama sekali tidak dapat tidur. Dengan gelisahnya ia berbaring di pembaringannya. Sekali ia berputar ke kiri, sekali ke kanan. Di kepalanya sedang tersusun sebuah cerita yang pasti akan sangat menarik. Cerita tentang dirinya, dan cerita tentang kampung halamannya.

"Biarlah Sang Akuwu mendengar dari aku sendiri daripada Akuwu mendengar dari orang lain, dari Mahisa Agni misalnya. Kalau Akuwu mendengar dari aku lebih dahulu, maka aku kira Sang Akuwu akan lebih percaya kepadaku, daripada kepada orang lain yang belum dikenalnya."

Kembali Kuda Sempana tersenyum. Kemudian seperti orang yang kehilangan kesadaran diri ia tertawa sendiri dan bahkan terdengar ia bergumam lirih, "Hem. Kalau Akuwu mau mendengar ceritaku. maka tak seorang pun akan dapat mencegah maksudku besok. Mahisa Agni tidak, dan seluruh penduduk Panawijen pun tidak. Besok aku akan melewati padukuhan itu, dan besok atas perintah Sang Akuwu gadis itu akan dapat aku bawa serta bersama ke Tumapel. Apakah Mahisa Agni akan dapat mencegahnya, apalagi kalau besok ia masih berada di Tumapel"

Kuda Sempana yang sedang ditelan oleh angan-angannya itu benar-benar seperti orang gila. Sekali ia tersenyum sendiri, kemudian bergumam perlahan-lahan. Sesaat kemudian ia bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam biliknya. Ketika ia melihat kawannya telah tidur nyenyak maka ia berkata, "Hem. Kau tidak tahu, bahwa besok aku akan memetik kembang yang tumbuh di kaki Gunung Kawi itu. Kau besok pasti akan menjadi gila setelah kau melihat wajahnya. Dan aku akan tertawa melihat kegilaanmu melampaui orang yang sedang mabuk tuak."

Tetapi kawannya itu sudah tidak mendengarnya lagi. Karena itu ia mendengkur terus.

Kuda Sempana pun kemudian berbaring kembali. Sambil tersenyum ia menarik selimutnya menutupi seluruh badannya. Dan sesaat kemudian anak muda itu pun tertidur dipeluk mimpi yang indah.

Pagi-pagi benar Kuda Sempana telah bangun. Setelah membersihkan dirinya, maka dengan tergesa-gesa ia masuk ke istana, mohon menghadap Akuwu yang sedang menggosok busur yang akan dibawanya berburu.

Akuwu Tumapel adalah seorang yang gagah dan berbadan tegap. Alisnya yang tebal dan hampir bertemu kedua pangkalnya, memberinya wibawa yang besar. Umurnya masih belum terlampau banyak. Tidak banyak terpaut dengan Kuda Sempana. Namun pengaruh kehidupan istana, telah membentuknya menjadi seorang yang agak terlampau masak dibandingkan dengan umurnya.

Seorang emban yang terdekat dengan Akuwu segera mempersilakannya dan menyampaikan permohonan itu kepada akuwu.

"Siapa?" bertanya Akuwu Tunggul Ametung.

Emban itu menyembah sambil berkata, "Seorang hamba, pelayan dalam mohon menghadap."

"Ya, siapa?" bentak Akuwu itu.

Seseorang yang belum pernah mengenalnya pasti segera akan menjadi ketakutan. Tetapi baik emban itu, maupun Kuda Sempana telah mengenal tabiatnya, sehingga mereka sama sekali tidak terkejut mendengar bentakan-bentakan itu.

Meskipun demikian Kuda Sempana menjadi berdebar-debar juga. Apakah Akuwu akan mendengarkan ceritanya dan tidak menjadi marah karenanya?

Yang terdengar kemudian adalah emban itu menjawab. "Yang akan menghadap adalah pelayan dalam Kuda Sempana."

"Kuda Sempana?" ulang Tunggul Ametung.

"Hamba Sang Akuwu."

Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Kuda Sempana termasuk salah seorang hambanya yang dekat. Kepandaiannya menyanjung dan meladeni keinginan-keinginan akuwu telah membuatnya seorang yang dipercaya. Karena itu, maka kali ini pun Tunggul Ametung itu berkata, "He, apa maksudnya? Bukankah nanti Kuda Sempana akan aku bawa serta berburu?"

Emban itu menjawab, "Hamba tidak tahu."

"Panggil anak gila itu!"

Emban itu menyembah, kemudian beringsut keluar untuk memanggil Kuda Sempana yang menunggu di luar pintu.

Sampai di luar pintu emban itu berbisik kepada Kuda Sempana, "Kau dipanggil Akuwu."

"Aku sudah dengar," sahut Kuda Sempana pendek.

"Apa yang sudah kau dengar?"

"Akuwu memanggil aku."

"Heh," berkata emban itu, "kau meminta-minta aku menyampaikan permohonanmu kepada Akuwu. Sekarang kau tidak berterima kasih kepadaku."

"Kenapa aku harus berterima kasih? Bukankah itu sudah kewajibanmu?"

Emban itu bersungut-sungut. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke belakang, meninggalkan Kuda Sempana yang termangu-mangu di muka pintu.

Sesaat kemudian terdengar suara Tunggul Ametung, "He, Kuda Sempana!"

Dada Kuda Sempana berdesir. Kemudian hampir merangkak ia memasuki pintu dan kemudian duduk bersila di hadapan Akuwu yang masih sibuk membersihkan busurnya, menggosoknya dengan angkup keluwih, sehingga busurnya itu mengkilat seperti cermin.

Tanpa berpaling Akuwu itu bertanya, "Apakah keperluanmu, he?"

Kembali Kuda Sempana ragu, Sesaat itu berdiam diri. Sehingga ia terkejut ketika Tunggul Ametung itu berteriak, "Apa keperluanmu?"

Cepat-cepat Kuda Sempana menyembah sambil menjawab terbata-bata, "Oh, ampunkan hamba, Sang Akuwu."

Akuwu Tumapel itu tiba-tiba tertawa. Katanya, "Kenapa kau gemetar seperti kera kedinginan?"

"Tidak, tidak Sang Akuwu," sahut Kuda Sempana, "hamba tidak kedinginan."

Akuwu Tunggul Ametung itu tertawa terus. Dipandanginya wajah Kuda Sempana yang pucat. Kemudian katanya, "He, Kuda Sempana, ke mana kau pergi kemarin sehari?"

Kuda Sempana menjadi tergagap. Ia tidak menyangka bahwa ia akan menerima pertanyaan yang tiba-tiba itu. Karena itu maka jawabnya, "Ampun Akuwu. Hamba kemarin harus pulang ke kampung memenuhi panggilan orang tua hamba. Bukankah hamba telah minta izin kepada pimpinan hamba, Kakang Trihatma?"

"Ya. Trihatma sudah mengatakannya kepadaku. Apakah kau sudah tahu, bahwa hari ini aku akan berburu?"

"Hamba Tuanku."

"Kau harus ikut!"

"Hamba Tuanku," sahut Kuda Sempana dengan suara gemetar, "Ke mana Tuanku akan berburu?"

Tiba-tiba Tunggul Ametung itu memandang wajah Kuda Sempana dengan tajamnya. Sambil menggosok busurnya Akuwu itu berkata, "Sejak kapan kau bertanya ke mana aku akan berburu?"

"Ampun Akuwu. Apakah kali ini hamba diperkenankan bertanya?"

"Aku belum tahu, ke mana aku akan berburu."

Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Akhirnya dengan sedih ia berkata, "Sang Akuwu. Aku adalah seorang hamba yang sangat senang pergi berburu. Apalagi kalau aku mendapat perintah untuk mengikuti Akuwu berburu. Sebenarnya kali ini pun aku menjadi bergembira sekali, tetapi ada sesuatu yang ingin hamba hindari dari daerah perburuan Tuanku."

Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya Kemudian katanya, "Aku tidak tahu maksudmu. Katakan, jangan melingkar-lingkar!"

Kuda Sempana menarik nafas panjang. Kemudian katanya, "Hamba mempunyai beberapa pantangan Sang Akuwu."

Akuwu Tumapel itu menjadi tidak sabar. Keras-keras ia membentak "Jangan berputar-putar. Ayo bicara!"

Kuda Sempana dengan tergesa-gesa membungkukkan badannya sambil menyembah. Jawabnya "Hamba belum tahu ke mana Sang Akuwu akan berburu. Karena itu hamba belum dapat mengadakan kesulitan-kesulitan hamba itu."

"Ke mana? Ke mana?" Tunggul Ametung berteriak. Kemudian setelah dipandanginya kepala Kuda Sempana maka katanya perlahan-lahan, "Aku belum tahu. Nah, katakan kepadaku Kuda Sempana, ke mana sebaiknya kita berburu?"

Kuda Sempana mengangkat wajahnya. Kemudian sahutnya, "Sang Akuwu, ke manapun bagi hamba tidak ada keberatannya. Hanya satu arah yang hamba pantang pergi. Tetapi ..."

"Diam!" bentak Tunggul Ametung pula keras, "Aku bertanya kepadamu, ke mana kau akan pergi. Aku akan ikut bersamamu."

Kuda Sempana telah biasa sekali dengan sikap Akuwu itu. Maka jawabnya, "Ya. Ya. Baiklah kita pergi ke timur."

"Kenapa ke timur?"

"Itulah yang akan hamba katakan. Hamba tidak akan dapat pergi berburu ke barat. Apalagi ke daerah hutan di sekitar, Talrampak dan padang rumput Karautan. Lebih-lebih lagi di sekitar tempat asal hamba, Panawijen."

Akuwu Tumapel menjadi heran, Kemudian sambil mengerutkan keningnya ia bertanya "Kenapa tidak ke daerah itu?"

Kuda Sempana menundukkan wajahnya. Sesaat ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Namun kemudian didengarnya akuwu itu berkata "Jangan takut Kuda Sempana. Bukankah selama ini kita tidak pernah pergi berburu ke sana? Kenapa tiba-tiba saja kau berkata bahwa kau tidak dapat ikut ke Panawijen? Kenapa he?"

Kuda Sempana menggelengkan kepalanya, sabutnya, "Itu persoalan hamba sendiri Sang Akuwu. Persoalan terlalu pribadi."

Tiba-tiba Kuda Sempana terkejut ketika Akuwu Tumapel itu meloncatinya sambil menarik lengannya keras-keras. Terdengar Akuwu itu membentak. "Kuda Sempana. Kau sangka aku tidak berhak mencampuri urusan pribadimu? He? Ayo katakan sebabnya. Kalau tidak aku bunuh kau sekarang."

Kuda Sempana menjadi gemetar Dengan tergagap ia menjawab "Ya, ya, baiklah Tuanku Baiklah hamba katakan persoalan itu. Persoalan yang sebenarnya sangat memalukan."

Tunggul Ametung kemudian melepaskan tangan Kuda Sempana sambil bergumam "Ingat, aku adalah Akuwu Tumapel. Aku berhak mengetahui apa saja di daerah Tumapel."

Kuda Sempana menjadi gemetar karenanya. Matanya menjadi sayu suram. Perlahan-lahan ia berkata, "Sang Akuwu, cerita tentang diri hamba adalah suatu cerita yang memalukan. Karena itu sebenarnya hamba takut menyampaikannya kepada Tuanku."

"Hem," desah Tunggul Ametung, "jangan membuat aku marah. Aku dapat menangkap kepalamu dan memutar leher mu sampai patah."

"Ampun Tuanku," jawab Kuda Sempana, "bukan karena hamba tidak mau, tetapi semata-mata karena hormat hamba kepada Tuanku. Karena bakti hamba kepada Sang Akuwu, sehingga amatlah memalukan bahwa seorang hamba Akuwu yang besar sebesar Tuanku, harus mengalami perlakuan seperti hamba ini."

Tunggul Ametung itu mengerutkan bibirnya. Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata sareh, "Katakan, katakan Kuda Sempana. Katakanlah apa yang menyebabkan kau bersedih?"

Kuda Sempana menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sekali ia menyembah ia berkata, "Ampun Tuanku. Janganlah Tuanku murka kepadaku."

"Tidak. Tidak Kuda Sempana."

"Tuanku, ampun," berkata Kuda Sempana terputus-putus, "seperti yang hamba katakan kemarin hamba dipanggil oleh orang tua hamba pulang ke kampung halaman. Sebab menurut orang tua hamba, sudah sepantasnya hamba menjalani masa berumah tangga."

Tiba-tiba Tunggul Ametung itu tertawa terbahak-bahak, sehingga perutnya terguncang-guncang. Dengan busurnya itu, dipukulnya kepala Kuda Sempana sambil berkata, "Itukah yang memedihkan itu? Itukah sebabnya kau tidak mau berburu ke sekitar kampung halamanmu?"

Kuda Sempana menggigit bibirnya. Namun dibiarkannya Tunggul Ametung itu tertawa sepuas-puasnya. "Kau akan berbahagia Kuda Sempana. Kau akan mendapat seorang istri. Begitu?" tetapi sebelum Kuda Sempana menjawab Tunggul Ametung itu membentaknya, "Hanya itu? He? Hanya karena itu kau merasa malu mengatakannya kepadaku? Atau hanya karena aku sendiri belum kawin, kau menjadi takut untuk kawin?"

Kuda Sempana menyembah. Sahutnya, "Sebagian demikian Tuanku. Tuanku belum bepermaisuri. Apakah hamba akan kawin sebelum Sang Akuwu? Bukankah hamba tidak sepantasnya. Apalagi umur hamba masih lebih muda dari usia Tuanku."

Sekali lagi akuwu itu tertawa terbahak-bahak. Sekali lagi ia memukul kepala Kuda Sempana dengan busurnya, "Kau anak yang baik. Kau benar-benar tahu bagaimana kau menghormati aku."

Kemudian dengan bersungguh-sungguh Akuwu itu berkata, "Tetapi itu bukan apa-apa, Kuda Sempana. Kau boleh kawin sesukamu. Sekarang, besok atau kapan saja. Kau akan mendapat hadiah yang berharga dari aku. Dan istrimu akan mendapat perhiasan sepengadeg dariku. Nah, katakan kapan kau akan kawin?"

"Ampun Tuanku. Cerita hamba belum selesai."

"He? Apalagi? Kau akan merajuk supaya aku memberimu sepasang kuda yang baik?"

Kuda Sempana menyembah sampai dahinya menyentuh tanah. "Tidak Tuanku," sahutnya cepat-cepat, "tidak."

"Lalu apa?"

Kuda Sempana berhenti sejenak Dengan sudut matanya ia mencoba menyusuri pandang wajah Sang Akuwu. Tetapi Kuda Sempana itu terkejut ketika Akuwu itu membentaknya "He. Kau ada apa sebenarnya? Mempermainkan aku?"

"Tidak Tuanku, tidak," sahut Kuda Sempana, "hamba hanya takut saja mengatakan."

"Jangan takut!" Tunggul Ametung itu berteriak, "kalau kau sekali lagi berkata takut kepadaku, maka aku cekik kau sampai lidahmu keluar."

"Ya, ya Tuanku," berkata Kuda Sempana cepat-cepat, "akan hamba katakan persoalanku itu kepada Tuanku."

Kuda Sempana itu berhenti sekejap untuk menelan ludahnya, namun kemudian ia meneruskan, "Kemarin hamba telah memenuhi permintaan orang tua hamba itu, pulang ke kampung halaman hamba. Di rumah, orang tua hamba memberitahukan kepada hamba, bahwa sebenarnya hamba telah dipertunangkan dengan seorang gadis sepadukuhan dengan hamba."

"Hem," terdengar Akuwu Tumapel itu menggeram, "Siapakah nama gadis itu?"

"Ampun Tuanku," jawab Kuda Sempana, "namanya Ken Dedes."

Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Kuda Sempana, sudah bertahun-tahun kau hidup di dalam lingkungan istanaku. Apakah kau mau juga kawin dengan gadis desa itu? Apakah ia nanti akan dapat menyesuaikan dirinya dengan cara hidupmu? He? Kenapa kau tidak memilih gadis-gadis kota? Bukankah banyak gadis-gadis yang dapat kau ambil di Tumapel ini, gadis-gadis yang akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan cara hidupmu, sebab di antara mereka dapat kau pilih anak-anak gadis dari para hamba-hamba istana yang lain."

"Ampun Tuanku," berkata Kuda Sempana, "sebenarnya demikianlah cita-cita hamba. Namun orang tua hamba telah berbuat di luar tahu hamba. Karena bakti hamba kepada orang tua itu, maka hamba tidak dapat menolaknya."

"Hem," Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kau memang anak yang baik."

"Tetapi Sang Akuwu," berkata Kuda Sempana seterusnya, "hari itu ternyata hari yang celaka bagi hamba. Hamba yang sebenarnya sama sekali tidak menginginkan gadis pedesaan itu, akhirnya hamba justru mendapat malu karenanya."

"He," Tunggul Ametung terkejut, "kenapa?"

"Hamba takut mengatakan Tuanku."

Tiba-tiba Kuda Sempana itu terkejut ketika tangan Tunggul Ametung tanpa disangka-sangkanya telah melekat di lehernya.

"Aku harus mencekikmu sampai lidahmu keluar," Sempana menjadi gemetar karenanya Tetapi kemudian Akuwu itu berkata, "Tetapi, aku maafkan kali ini. Kalau sekali lagi kau berkata takut pula, maka kau akan mati di sini."

Kuda Sempana itu menjadi pucat. Tetapi ketika kemudian lehernya dilepaskan, maka ia pun menarik nafas panjang.

"Katakan, Katakan. Cepat! Jangan membuat aku menjadi gila mendengar ceritamu yang berputar-putar!" bentak Tanggul Ametung.

"Baiklah Tuanku," berkata Kuda Sempana, "biarlah hamba mengadukan nasib hamba kepada Tuanku, sebab tidak ada orang lain yang akan dapat..."

"Cukup!" teriak Akuwu itu keras-keras sehingga seakan-akan dinding istana itu bergetar karenanya.

Kuda Sempana itu segera menyembah hampir mencium tanah. Dengan terbata-bata ia berkata, "Ampun Tuanku. Begini. Beginilah ceritanya. Pada saat itu, kemarin, hamba pulang ke kampung. Hamba dibawa oleh orang tua hamba ke rumah gadis yang sudah dipertunangkan dengan hamba itu. Maksud orang tua hamba, adalah karena hamba telah cukup dewasa, dan sudah mempunyai pegangan hidup pula, mengabdi kepada Sang Akuwu di sini. Tetapi apa kata orang tua gadis itu?"

"Aku tidak tahu," sahut Tunggul Ametung tiba-tiba, "kenapa kau bertanya kepadaku?"

"Tidak Akuwu," jawab Kuda Sempana, "Bukan maksud hamba bertanya kepada Sang Akuwu. Tetapi hamba hanya ingin memberikan tekanan kepada kata-kata hamba itu."

"Oh," desah Tunggul Ametung.

"Tuanku. Ternyata orang tua gadis itu mengingkarinya. Aku sudah tidak diterima lagi olehnya," Kuda Sempana itu meneruskan.

Akuwu Tunggul Ametung itu menganggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Hanya itu?"

"Hamba Tuanku."

Kuda Sempana menjadi sangat kecewa ketika Tunggul Ametung itu berkata, "Jangan bersedih Kuda Sempana. Bukankah kau memang tidak menginginkannya? Bukankah kau mengambil gadis itu karena orang tuamu? Kalau demikian, maka peristiwa itu akan menguntungkan bagimu. Kau akan dapat mengambil seorang gadis lain. Gadis kota yang akan dapat menyesuaikan hidupnya dengan cara hidupmu di sini. Bahkan mungkin akan dapat kau ikutkan dalam pengabdianmu. Menjadi pengatur perabot istana atau apapun."

"Hamba Tuanku," sahut Kuda Sempana. Wajahnya menjadi semakin, suram, dan dadanya menjadi semakin berdebar-debar.

"Tetapi Akuwu. Soalnya tidak sedemikian sederhana. Kalau orang itu mengingkari janjinya hanya karena hamba kurang tampan atau karena hamba sudah terlalu tua, bukanlah soal bagi hamba. Tetapi orang tua itu kemudian menolak hamba karena hamba ini hanyalah seorang abdi. Hanya seorang pelayan dalam."

"Hem," mata Tunggul Ametung itu pun terbelalak, "karena kau pelayan dalam?"

"Hamba Tuanku."

Tunggul Ametung menarik nafas. Katanya "Nasibmu memang kurang baik. Tetapi sebenarnya demikian. Kau memang hanya seorang abdi. Ternyata orang tua itu ingin seorang menantu yang bukan seorang pelayan dalam."

Kuda Sempana menarik alisnya. Dengan sudut matanya ia memandang wajah Tunggul Ametung. Namun hanya sesaat, sebab sesaat kemudian ia telah menundukkan wajahnya kembali.

Dan terdengar Tunggul Ametung itu berkata pula, "Lupakan gadis itu, Kuda Sempana. Supaya kau tidak menjadi sakit karenanya. Lupakan persoalan itu, sebab pada dasarnya bukankah kau memang tidak ingin kawin dengan Ken Dedes?"

Kuda Sempana terdiam sesaat. Tetapi kemudian ia tersenyum. Senyum yang hanya sepintas melintas di bibirnya, tetapi sekejap kemudian kembali wajahnya menjadi suram.

Sambil menyembah ia berkata, "Ampun Tuanku. Hamba tidak akan sakit hati seandainya orang tua Ken Dedes menolak hamba karena hamba hanya seorang abdi, seorang pelayan dalam."

"Lalu apa? Apa he?" Tunggul Ametung tiba-tiba kembali berteriak, "Kau mau berkata apa saja Kuda Sempana?"

Kuda Sempana menyembah kembali sambil berkata, "Ampun Tuanku. Hamba tidak takut mengatakannya kepada Tuanku, tetapi hamba ragu-ragu."

"Bagus!" sahut Akuwu itu, "bagus, kau sudah tidak takut lagi. Tetapi jangan ragu-ragu. Kalau kau ragu-ragu, maka kau akan aku cekik juga sampai mati."

"Tuanku," Kuda Sempana menggeser duduknya, "Sebenarnyalah bahwa hamba ditolak karena hamba hanya seorang abdi. Tetapi seandainya hamba seorang abdi di Kediri, misalnya, maka hamba tidak akan mengalami nasib yang jelek itu. Hamba tidak menyesal atas gadis itu, tetapi hamba menyesal, bahwa orang tua itu telah merendahkan nama Akuwu Tumapel, Kuda Sempana hanya seorang abdi dari seorang akuwu, bukan seorang maharaja."

"Apa? He? Apa katamu?" mata Tunggul Ametung tiba-tiba menjadi merah menyala. Dengan gemetar ia meloncat maju dan berjongkok di hadapan Kuda Sempana yang duduk bersedeku, "Katakan, katakan sekali lagi!"

Kuda Sempana pun kemudian beringsut mundur. Sekali lagi ia menyembah, "Ampun Tuan. Hamba telah mengatakannya, bahwa orang tua itu menganggap bahwa abdi seorang akuwu tidak pantas untuk menjadi menantunya."

"Siapa orang itu? He?" teriak Tunggul Ametung, "Siapa?"

"Orang tua gadis itu Akuwu. Seorang pendeta bernama Empu Purwa."

"Gila!" katanya lantang. Kemudian Tunggul Ametung itu pun berteriak keras-keras, "Kuda Sempana, aku akan berburu ke Panawijen."

"Ampun Tuanku. Ampun," sahut Kuda Sempana, "sebaiknya Tuanku berburu ke timur."

"Tidak, Aku akan ke Panawijen. Akan aku lihat orang tua itu."

"Ampun Tuanku, hamba sudah tidak lagi mengharap gadis itu. Biarlah gadis itu kelak berbahagia dengan suaminya."

"Tidak. Akan aku ambil gadis itu untukmu. Untuk seorang pelayan dalam Akuwu Tunggul Ametung yang perkasa. Kau dengar? Gadis itu akan aku ambil. Akan aku hadiahkan kepadamu Kuda Sempana. Akuwu berhak berbuat apa saja di daerahnya. Kau dengar?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku