Orang tua Mozayya memiliki hutang yang tidak bisa di lunasi dengan setahun kerja banting tulang. Hutang yang entah di gunakan untuk apa, tau-tau ada orang dengan perawakan tinggi, besar dan wajahnya sangat tidak ramah, masuk ke rumah Mozayya dengan melantangkan suaranya. Mozayya yang awalnya tidak tahu apa-apa mencoba melawan pria itu. Namun, pendiriannya runtuh ketika orang tuanya mengatakan bahwa mereka ikhlas menjadikan dirinya sebagai jaminan hutang-hutang mereka. Hutang itu di nyatakan lunas, kalo Mozayya mau mengikuti kesepakatan yang sudah di tentukan.
Mozayya Addena Ragayu, adalah seorang siswi SMA kelas XII. Dia terlahir sederhana, namun tidak menjadi penghalang mimpi-mimpinya. Karena sukses tidak harus di mulai dari kaya, tapi kaya di mulai dari kerja keras.
Artha Genandra Angkasa, seorang CEO di perusahaan ayahnya sendiri. Jabatan yang ia pegang, tentunya atas dasar paksaan sang Ayah. Mau tak mau Artha harus menuruti apa perintah beliau. Bagaimanapun juga Artha tidak mau kehilangan pasilitasnya.
Selain seorang CEO, Artha juga seorang psik0pat kejam, yang tidak memiliki perikemanusiaan. Karena, pada dasarnya seorang psik0pat memang tidak memiliki hati nurani. Tidak banyak orang tau pribadinya tentang hal ini, hanya sebatas teman dekatnya dan orang-orang suruhannya, juga korban-korban yang mungkin telah mengembuskan napas terakhirnya. Bahkan kedua orang tuanya pun tidak mengetahui tentang hal ini. .
*
*
*
*
Gdor gdor gdor!
Mozayya yang sedang menjemur pakaian, terhenti ketika mendengar suara keras dari arah pintu. Mozayya memasuki rumahnya dari pintu belakang, berjalan menuju pintu depan sambil merapihkan bajunya yang kelihatan kusut, serta rambutnya yang juga kelihatan berantakan.
Ceklek!
Mozayya mendongak ke arah pria dihadapannya, menatapnya tanpa kedip, serta bulu kuduknya yang tiba-tiba berdiri.
Mozayya; "Nyari siap- eh--eh, kok, main masuk aja!" bentaknya, menatap tajam pria itu.
Pria itu tampak tak menghiraukan perkataan Mozayya, ia terus menerobos masuk lebih dalam lagi. Tanpa banyak una-inu, pria itu berhasil membuat Mozayya semakin kesal.
"Angga Ragayu! Keluar!" Suaranya begitu menggelegar di rumah yang bisa di bilang kesempitan, itu.
Mozayya menatap tajam pria itu, sambil berkacak pinggang.
Mozayya; "Hei, Tuan! Berani-beraninya anda meninggikan suaramu di rumah orang! Anda fikir rumah saya ini, stadion?!" bentaknya lagi.
Mozayya semakin tersulut emosi ketika pria itu lagi-lagi seperti tak menganggap keberadaannya.
Mozayya; "AND- "
"CUKUP, MOZA!"
Bentakkan itu berhasil membuat Mozayya terlonjak, ia membalikan tubuhnya, menatap orang yang barusan membentaknya. Angga Ragayu, selaku ayah Mozayya.
Pak Angga mulai berjalan mendekati Mozayya yang sedang dalam ekspresi loading. Ini kali pertamanya Mozayya mendapatkan bentakan yang amat mengerikan.
Setibanya Pak Angga dihadapan Mozayya, Mozayya menatap Pak Angga penuh kebinguan. Kembali ia menatap pria bertubuh besar itu yang sedang menatapnya datar.
Mozayya; "Yah, dia siapa? Kenapa, dia berani sekali melantangkan suaranya di rumah kita? Bahkan dengan tidak sopannya dia meneriaki nama ayah." tanyanya, menatap Pak Angga dengan serius.
Pak Angga menatap pria itu sekilas, lalu kembali menatap Mozayya sendu. Terlihat jelas di mata Pak Angga, tatapan yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.
Mozayya yang tidak mengerti dengan tatapan Pak Angga, memilih untuk menatap kembali pria bertubuh besar itu. Menatapnya dengan mata yang semakin menajam.
Mozayya; "Sebenarnya apa yang terjadi?! Kamu ada urusan apa sama ayah saya? Apa kamu mengatakan sesuatu sehingga ayah jadi seperti ini! IYA?!" Bentakan itu tak kalah menggelegar dari bentakan Pak Angga.
"Ada ap- maaas! Kamu gapapa?"
Terlihat wanita setengah baya itu berlari kecil ke arah Pak Angga, dengan menampakan wajah khawatirnya.
Ningsih, selaku ibu Mozayya.
Bu Ningsih kemudian melirik ke arah Mozayya, mengusap lembut kepalanya, menariknya untuk lebih dekat dengannya.
Bu Ningsih; "Kamu gapapa, Nak?" tanyanya sambil mengusap-usap punggung Mozayya.
Mozayya hanya menggelengkan kepalanya, namun tatapannya masih menatap tajam pria bertubuh besar itu.
Mozayya; "Bu, dia siapa?!" tegas Mozayya, terus menatap pria itu.
Dengan menunduk, Bu Ningsih hanya menggelengkan kepalanya pelan, kemudian meraih sebelah tangan Pak Angga.
Pak Angga membalas pautan tangan Bu Ningsih, lalu keduanya menatap Mozayya bersamaan.
Pak Angga; "Moz- "
Brak!
"Kenapa lama sekali, HAH?! DERO! Kita tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama berada di rumah ini, untuk apa menyaksikan drama palsu mereka!"
Bentakkan seseorang di ambang pintu terdengar paling menggelegar dari bentakan sebelumnya di rumah ini.
Mozayya membalikan tubuhnya, menatap pria yang lebih menyeramkan dari pria yang pertama ia lihat.
Pria menyeramkan itu tak lain adalah Artha.
Mozayya lagi-lagi dibuat bingung dengan keadaan sekarang, kenapa rumahnya tiba-tiba kedatangan orang-orang asing seperti ini.
Karena perasaannya mulai tak tenang, Mozayya kembali menatap lekat Pak Angga dan Bu Ningsih.
Mozayya; "Yah, Bu, sebenarnya mereka ini siapa? Kenapa mereka bisa seenaknya teriak-teriak di rumah kita? Apa mereka fikir ini stadion, yang bisa teriak sekencang-kencangnya?!" Cecaran itu lolos dari mulut Mozayya, dengan menatap dalam Pak Angga dan Bu Ningsih bergantian.
Artha; "Hai! gadis cantik. Biar saya yang menjelaskan. Sepertinya mau ditunggu beberapa tahun kemudian juga orang tuamu tidak akan pernah memberitahukan yang sebenarnya!" Seringainya, menatap datar Mozayya.
Berjalan sambil bersidekap dada, Artha menghampiri Pak Angga. Melepaskan tangan Bu Ningsih, lalu merangkul Pak Angga kasar.
Mozayya membelalakkan matanya, baru kali ini ia melihat ada orang yang bersikap semena-mena terhadap ayahnya, ditambah lagi orang itu sepertinya jauh lebih muda dari ayahnya.
Ini tidak bisa di biarkan. Mozayya mencoba melepas rangkulan itu, dengan terus menarik-narik sebelah tangan Artha kuat.
Mozayya; "Lepaskan ayahku! Kamu bener-bener kurang ajar, tidak tau sopan santun! Dia lebih tua darimu! Seharusnya kamu bisa menghormati orang yang lebih tua!" bentak Mozayya, sambil terus berusaha melepaskan rangkulan Artha dari Pak Angga.
Bruk!
Dengan sekali hempasan, Mozayya tersungkur sempurna di lantai polos itu.
Bu Ningsih; "Moza!" teriaknya, bergegas menghampiri Mozayya yang sedang terduduk sambil memegangi lututnya.
Namun sebelum itu, Dero yang sudah hapal dengan isyarat dari Artha, segera memegang kedua tangan Bu Ningsih.
Mozayya mengepalkan tangannya, melihat kedua orang tuanya diperlukan seperti itu, membuat emosinya meledak.
Dengan perlahan, Mozayya kembali berdiri, setelah sudah terlihat tegak. Mozayya menatap tajam bola mata Artha.
Mozayya; "LEPASKAN ORANG TUA SAYA!"
Artha; "Wow, punya mental sebesar apa? Sehingga berani-beraninya meninggikan suara di hadapan saya, hm?" Begitu lembut suaranya, yang sudah di pastikan dibalik semua ini ada sesuatu yang bakal terjadi.
Mozayya menelan salivanya susah payah, menatap tajam Artha. Walaupun dalam hati yang paling dalam, Mozayya bener-bener tidak yakin dengan keberaniannya ini.
Namun, karena ini menyangkut kedua orang tuanya, Mozayya tak segan-segan menepis ketakutannya.
Mozayya; "Wahai, Tuan yang mulia! Tolong lepaskan kedua orang tua, saya!" tegasnya.
Sejenak Mozayya mengatur nafasnya terlebih dahulu.
"Saya memang tidak tau apa yang terjadi di antara kalian dan orang tua saya. Tapi, apakah harus dengan cara kasar seperti, ini? Kamu tidak pernah diajarkan sopan santun oleh orang tuamu?" lanjutnya.
Artha melepas rangkulannya, lalu berjalan perlahan ke arah Mozayya. Mozayya sedikit memundurkan posisinya. Kala, jarak antara dirinya dan Artha semakin menipis.
Artha menatap Mozayya dari atas hingga bawah, dan sebaliknya.
Mozayya mengikuti gerak mata Artha, dengan mengerutkan keningnya.
Mozayya; "Hei! Apa yang sedang kamu perhatikan?!" tegasnya, menatap Artha heran.
Artha bergumam, "Boleh juga." Tentunya tak luput dari pendengaran Mozayya.
Mozayya menyampingkan kepalanya, serta memicingkan kedua matanya. Ia kemudian bersidekap dada.
Mozayya; "Tuan! lebih baik kalian keluar sekarang juga. Sebelum saya mengusir kalian dengan cara kasar!" tegasnya, menatap Artha dan Dero bergantian.
Artha; "Dero! Lepaskan perempuan itu. Saya punya satu keringanan buat kalian berdua!" Ucapnya, menatap sinis Pak Angga dan Bu Ningsih bergantian. Setelahnya ia menatap Mozayya dengan menerbitkan senyum miringnya.
Mozayya segera menghampiri Bu Ningsih, memegang sebelah tangannya dengan erat.
Mozayya; "Ibu, gapapa?" tanyanya khawatir, sambil terus menulusuri tiap inci tubuh Bu Ningsih.
Bu Ningsih menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum, "Ibu, gapapa." jawabnya, mengelus tangan Mozayya yang menggenggam sebelah tangannya.
Pak Angga menghampiri keduanya, lalu memegang pundak sang istri lembut, serta melemparkan senyuman hangatnya.
Ketiganya kompak menatap Artha serius.
Artha kemudian bersidekap dada, sambil mengangkat sebelah alisnya.
Pak Angga; "Den Artha, saya akan melakukan apapun yang kamu minta, tapi tolong beri saya waktu lebih lama lagi, untuk mengumpulkan uang itu." lirihnya, menatap Artha sendu.
Artha tersenyum remeh, sambil memalingkan wajahnya singkat. Kemudian menatap datar ketiganya.
Tak luput dari perhatian Mozayya yang tidak tahu apa permasalahannya. Hanya, berdiam diri, agar mengerti apa yang mereka maksud.
Artha; "Angga Ragayu," ucapannya terjeda sejenak, "Begitu manis sekali ucapanmu itu. Dalam sebuah kurung, hanya untuk meringankan hutang-hutangmu!" tegasnya, sambil mengelilingi ketiganya.
Berhenti tepat di hadapan Mozayya. Menatap Mozayya dalam, sambil tersenyum manis. Entah itu mungkin hanya senyuman palsunya.
Artha; "Anak kalian sepertinya sepadan dengan hutang-hutang kalian." ucapnya, sambil terus menatap Mozayya dengan senyuman miringnya.
Pak Angga dan Bu Ningsih saling melempar pandangan, sedangkan Mozayya memundurkan kepalanya sedikit, sambil mengerutkan keningnya. Tak lupa mulutnya yang sedikit terbuka.
Mozayya; "Maksudmu, apa?!" Menatap Artha dalam.
Artha tersenyum tipis, lalu menatap Pak Angga tajam.
Artha; "Bukankah ini keringanan langka. Jika, saya membawa anak kalian, lalu hutang kalian lunas beserta bunga-bunganya." ucapnya serius, menatap keduanya tajam.
Pak Angga tampak terkejut dengan apa yang di ucapkan Artha. Kemudian menatap Bu Ningsih serius. Setelahnya menatap Mozayya, dengan Mozayya yang sedang dalam masa pemulihan otaknya.
Mozayya loading ...
Mozayya; "Apa-apaan?! Apa hubungannya dengan saya?!" Tegasnya, menatap tajam Artha.
Artha mengalihkan pandangannya terhadap Mozayya, menganalisis seluruh tubuh Mozayya.
Artha; "Sepertinya kamu cocok di rumah saya."
Mozayya membelalakkan matanya, menatap bingung Artha.
Memiliki banyak pertanyaan di benaknya. Pertama, Mozayya masih belum tahu hutang apa yang mereka maksud. Kedua, kenapa jadi dirinya yang kena imbasnya.
Mozayya; "Yah, sebenarnya apa yang terjadi? Memangnya ayah punya hutang berapa sama pria ini?" tanyanya, tanpa memikirkan perkataan Artha.
Mozayya hanya ingin tahu, sebenarnya hutang apa yang di maksud, sehingga dirinya ikut terseret, dan sebesar apa, sampai-sampai hutangnya sepadan dengan manusia.
Pak Angga menundukkan kepalanya. Enggan untuk menatap Mozayya.
Bu Ningsih juga ikut menunduk, sambil menggenggam tangan Pak Angga.
Mozayya mengembuskan nafasnya kasar, lalu menatap Artha tajam.
Mozayya; "Saya akan membayar hutang-hutang orang tua saya. Beri saya waktu!" tegasnya.
Artha memicingkan matanya, lalu tak terduga gelak tawa kecil keluar dari mulutnya.
Artha; "Gadis kecil bisa apa? Apakah kamu harus menunggu sumbangan dari pemerintah untuk membayar hutang kedua orang tuamu, gitu?! Ck." ucapnya, dengan senyum meremehkan.
Mozayya; "Siapa bilang saya gadis kecil? Asal kamu tahu, ya. Walaupun saya masih sekolah, tapi saya tidak mengharapkan uang dari orang tua, saya. Saya sekolah dengan uang saya sendiri. Faham?!"
Artha; "Oh, ya? Apakah saya percaya? Tentu tidak!" Menatap tajam Mozayya.
Mozayya mengeraskan rahangnya, lalu memalingkan wajahnya secepat mungkin.
Artha; "Bagaimana menurut kalian? Kalian setuju dengan usulan yang saya berikan?" tanyanya, kembali menatap Pak Angga, "Jika kalian tid-,"
Pak Angga; "Saya setuju!" tegasnya.
Bu Ningsih menatap Pak Angga serius, dan jangan lupa, Mozayya lebih terkejut dengan apa yang diucapkan Pak Angga barusan.
Artha tersenyum tipis, mendengar jawaban Pak Angga.
Mozayya; "Yah! Maksud ayah, apa? Ayah becanda, kan?!" tanyanya, menatap serius Pak Angga.
Pak Angga menggelengkan kepalanya, "Anakku, Moza. Ayah tidak punya pilihan lain, ayah bener-bener sedang di ujung tanduk. Tak tau harus berbuat, apa. Kalo memang ini satu-satunya jalan keluar untuk ayah. Ayah harus merelakan, kamu. Maafkan, ayah." lirihnya, sambil menundukan kepalanya.
Mozayya menggelengkan kepalanya, menatap tak percaya terhadap ayahnya.
Mozayya; "Yah, kita bisa cari uang, untuk membayar hutang itu. Tidak harus dengan cara seperti ini. Aku yakin, pasti ada jalan keluarnya. Yang jelas-jelas Ini itu bukan jalan keluar, tapi ini jebakkan, yah." ucapnya, menatap Pak Angga penuh harap, agar ayahnya berubah fikiran.
Pak Angga; "LIMA PULUH JUTA, MAU UANG DARI MANA?!"
Lagi-lagi Mozayya terlonjak kaget, mendapatkan bentakan yang sempurna membuat hati kecilnya sesak. Sebisa mungkin ia bersikap tenang, ia tau ayahnya sedang emosi. Tapi, ia juga kaget, uang lima puluh juta! Buat apa? Kenapa Mozayya tak pernah melihat uang sebanyak itu.
Setelahnya Pak Angga bergumam, "Maafkan, ayah. Maafkan, ayah." lirihnya sambil menundukan kepalanya dalam, dengan tubuh bergetar.
Bu Ningsih mengusap pelan punggung Pak Angga. Kemudian menatap dalam Mozayya. Selaku anak mereka satu-satunya.
Bu Ningsih menarik nafasnya dalam, "Moza, Ibu setuju dengan ayahmu." lirihnya, kemudian juga menundukkan kepalanya.
Duar!
Hati Mozayya benar-benar sakit, ia kira ibunya akan menentang keputusan ayahnya. Ternyata, cinta sejati mereka cukup kuat. Sehingga, dirinya yang harus terpaksa menelan pil pahitnya.
Mozayya; "Ayah, aku bener-bener gak tau, uang sebesar itu ayah pergunakan untuk, apa. Tapi, apa kita harus mengambil keputusan secepat ini? Apakah kalian rela melepaskanku kepada orang asing seperti dia?!" lirihnya, kemudian menatap tajam Artha.
Artha; "Sudahlah gadis kecil, kam-,"
Mozayya; "Stop panggil saya gadis kecil, saya sudah besar. Jadi, panggilan itu tidak cocok untuk saya!"
Artha; "Baiklah, saya akan menuruti apa kemauan calon istri saya."
Pak Angga dan Bu Ningsih menatap serius Artha bersamaan. Tak terkecuali Mozayya yang juga menatap kaget Artha.
Artha menatap satu persatu orang yang sedang menatapnya. Berhenti ditatapan Pak Angga.
Artha; "Saya akan menikahi anak kalian. Jadi, kalian tidak perlu resah." ucapnya dengan menatap datar Pak Angga.
Pak Angga; "Apa kamu serius dengan ucapanmu?" tanyanya dengan menatap Artha sendu.
Artha; "Hm,"
Tanpa Ba-bi-bu, Pak Angga bersimpuh lutut di kedua kaki Artha.
Mozayya menggelengkan kepalanya, "Yah, tidak perlu seperti, ini. Ini tidak baik." ucapnya, menarik kembali tubuh Pak Angga.
Pak Angga menatap Mozayya dalam.
Pak Angga; "Mozayya! Nama dia adalah Mozayya Addena Ragayu. Titipan Allah yang sangat berharga." Menatap sendu Mozayya, sambil mengusap pelipis Mozayya lembut. "Saya bener-bener menyayangi anak ini, walaupun saya harus mengorbankan dirinya. Tapi, saya yakin, kamu bener-bener serius, untuk menikahi anak saya, bukan?" tanyanya, menatap Artha serius.
Artha; "Tidak usah banyak drama, saya tidak punya banyak waktu!" tegasnya, menatap datar Pak Angga.
Mozayya; "Oke! Kalo memang ini keputusan kalian, aku setuju. Setidaknya aku sudah meringankan beban kalian. Selama delapan belas tahun, ini. Aku, belum pernah memberikan kebahagiaan kepada kalian. Lalu, sekarang aku sudah mengikuti kemauan kalian. Apakah, itu bisa di bilang, kalo aku sudah membahagiakan, kalian?" Lirihnya, menatap lesu Pak Angga dan Bu Ningsih bergantian.
Terlihat di pelupuk mata Bu Ningsih, sudah terdapat cairan bening, yang dengan satu kedipan, air itu pasti jatuh detik itu juga.
Pak Angga memegang kedua sisi tubuh Mozayya, "Sejak kamu dilahirkan kedunia, dari situlah kebahagiaan kami dimulai. Sampai detik ini kamu adalah simbol kebahagiaan, kami. Jadi, jangan pernah berfikir seperti itu!" tegasnya, menatap sendu Mozayya.
Tak kuat menahannya, bendungan air yang menggenang di pelupuk mata Mozayya, luruh detik itu juga.
Pak Angga menarik Mozayya ke dalam dekapannya. Mengusap kepalanya lembut, sesekali mencium puncak kepala Mozayya.
Pak Angga; "Maafkan ayah, nak." lirihnya.