Adik tirinya merebut kekasihnya, juga merebut semua perhatian keluarganya. Sehingga Aqnes tidak mendapatkan hak apapun di rumah itu. Dia diabaikan, tidak dianggap, dan kehilangan banyak hal karena adiknya. Aqnes memutuskan pergi dan menjauh. Dia akan meninggalkan semuanya dan memulai hidup baru, mencari kebahagiaannya sendiri. Akan tetapi, setelah ia pergi, orang-orang itu seolah tidak bisa melepaskannya.
Aqnessia menatap tajam mereka. Satu per satu orang di sana tak lepas dari tatapan tajamnya. Pandangan penuh kebencian itu begitu kental, namun tak ada reaksi apapun dari mereka.
Ya, tak mungkin ada. Karena mereka hanya sebuah lukisan foto dalam frame. Dalam sekali gerakan, figura yang semula digenggam erat oleh tangannya itu hancur berkeping di lantai. Menyisakan pecahan kaca yang tajam dan bisa saja menciptakan luka jika terinjak olehnya. Tapi, Aqnes tidak peduli. Detik ini juga, dia bersumpah akan melupakan semua keluarganya. Keluarga yang sejak dulu ia kejar demi segenggam perhatian, hanya demi mereka bisa memandang padanya walau sesaat. Tapi yang terjadi ... semua perhatian itu terus tertuang untuk Julia, adik tirinya.
Tak ada sisa untuknya.
Tak ada celah untuknya.
Mereka seolah buta akan keberadaan Aqnes yang sejak lahir sudah hadir di antara mereka.
"Aku benci kalian." Kedua tangan Aqnes mengepal dengan erat. Giginya bergemelatuk. Kemarahan yang selama ini dipendamnya meluap saat ini, tepat di malam ia kehilangan seseorang yang ia cintai. Aldef, pria yang awalnya menyandang status sebagai kekasihnya kini justru bertunangan dengan Julia tepat di malam ini.
Air mata Aqnes beruraian. Sudah ada banyak kenangan yang tercipta, sudah banyak hal yang ia korbankan, tapi semua tetap saja terlepas dari genggaman. Seolah takdir tak membiarkannya bahagia. Seolah hidup hanya sebuah lelucon baginya. Bumi pun tertawa melihat bagaimana garis kehidupannya.
"Julia. Julia. Aku berharap tidak membencimu. Tapi kenapa segala hak hidupmu kamu rampas? Dan aku hanya bisa pasrah dengan menyedihkan." Aqnes merasa tidak berdaya. Kepada siapa ia harus mengadu? Jika semua orang saja tidak ada yang peduli padanya? Seluruh keluarganya tengah bersuka cita akan pertunangan Julia dengan Aldef, tapi tak ada yang peduli pada perasaannya dimana ia harus menyaksikan pria yang ia cintai bersanding dengan adiknya sendiri.
Mereka pun tidak menghalangi kala Aldef mulai mendekati Julia, atau kala Julia menerima kehadiran Aldef dengan tangan terbuka. Keluarga sialan itu justru mendukung mereka dengan antusias. Melupakan fakta jika pria itu adalah pria yang awalnya menyandang status sebagai kekasih Aqnes.
"Keluarga brengsek! Biadab! Aku benci kalian semua!" hardik Aqnes berteriak.
Malam itu, di saat semua orang merayakan pertunangan Julia dengan Aldef penuh kegembiraan, di sini Aqnes justru terbendung dalam air mata kesedihan.
Tidak ada yang peduli.
Tidak ada yang memperhatikannya.
Memang lebih baik ia mati saja.
****
Aldef melirik sekitar. Pesta ini tampak sangat meriah. Bahkan semua keluarganya turut hadir. Tapi, ada yang membuat Aldef merasa kurang. Apa itu?
Ia mencoba berpikir sebentar.
Ah! Benar. Aqnessia. Mantan kekasihnya yang harus ia lepaskan demi bisa mengejar perempuan yang benar-benar ia cintai.
Sesungguhnya, Aldef merasa bersalah pada Aqnes. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Cinta itu tidak bisa dipaksakan, kan? Aldef berani mengakhiri hubungannya dengan Aqnes juga karena ia berpikir, ia juga berhak bahagia. Saat ini yang membuatnya bahagia sudah bukan Aqnes lagi, melainkan Julia. Perempuan yang resmi menjadi tunangannya malam ini.
Akan tetapi, bukan berarti Aldef akan melupakan Aqnes begitu saja. Eksistensi Aqnes dalam hidupnya terlalu berarti. Meski mereka sudah tidak bisa bersama, Aldef harap mereka bisa berhubungan dengan baik layaknya teman.
"Bibi, dimana Aqnes? Aku tidak melihatnya sejak tadi." Aldef memutuskan untuk bertanya pada Amanda, ibu Julia dan Aqnes.
"Aqnes?" Amanda tercenung sesaat sebelum akhirnya sadar sejak tadi ia memang tidak melihat keberadaan putrinya itu. "Maafkan aku, Aldef. Sepertinya Aqnes tidak hadir malam ini. Tadi siang dia memang berkata jika dia tidak enak badan."
Amanda terpaksa berbohong. Padahal sejak siang dia sibuk mempersiapkan pesta ini bersama anak-anaknya yang lain. Ia tidak memikirkan Aqnes sama sekali.
"Begitukah?" Aldef mengangguk mengerti. Dari raut wajahnya, dia sepertinya sedikit kecewa. "Tidak apa kalau begitu. Aku justru akan merasa bersalah jika Aqnes memaksakan datang dalam keadaan yang tidak baik."
"Maaf jika ketidakhadirannya membuatmu kecewa." Amanda mengusap pundak pemuda yang akan menjadi menantunya itu, berusaha untuk menghiburnya. "Tapi, bukankah ada Julia? Kamu masih bisa bersama dengannya. Dia pasti akan membuat malam ini terasa sempurna untukmu."
"Bibi benar." Aldef tersenyum.
Dia juga merasa beruntung mengetahui malam ini ia berhasil mendapatkan kekasih hatinya.
"Aku pamit sebentar, Bibi." Aldef menunduk, berpamitan. Dia pergi meninggalkan Amanda sendiri di sana.
Aldef berjalan ke pojok pesta. Dia mengambil handphone-nya, mencoba menghubungi seseorang untuk memastikan sesuatu.
Dia mulai cemas saat teleponnya tidak kunjung dijawab, tapi setelah cukup lama ia akhirnya mendapat respon dari sana. Aldef tidak bisa menahan helaan napas lega dari mulutnya.
"Kau dimana? Kenapa tidak datang di pesta pertunanganku?" tanya Aldef, menuntut jawaban. Meski sudah mendengar sebelumnya dari Amanda, Aldef tetap tidak mudah percaya. Dia ingin mendengarnya langsung dari Aqnes sendiri.
"Siapa ini?"
Aldef tertegun sesaat. Dia pun berdecak.
"Apa kamu tidur?"
"Tidak." Aqnes menjawab dengan gumaman samar. "Bisakah kamu jawab saja apa yang aku tanyakan? Jika tidak penting, akan aku tutup."
"Aqnessia!" Aldef memperingati. Dia berdesis menahan emosi. "Jangan bermain-main denganku."
"Aldef?" Sepertinya Aqnes baru menyadari dengan siapa ia bicara. "Untuk apa menghubungiku? Bukankah seharusnya sekarang kamu bersenang-senang?"
Aldef dengan jelas menangkap perubahan nada bicara Aqnes yang menjadi sinis. Tapi dia tidak memperdulikannya. Saat ini yang ingin ia ketahui hanya alasan mengapa Aqnes tidak datang ke pestanya.
"Bagaimana aku bisa bersenang-senang jika kamu tak hadir di sini?"
"Benarkah?" Aqnes tampak tak peduli. "Kurasa aku tidak sepenting itu."
"Aqnes."
"Aldef, tidakkah kamu bodoh? Kamu bertanya alasan mengapa aku tidak hadir di sana." Sesaat, Aqnes mendengus dengan sinis. "Jika aku ada di sana, aku akan semakin hancur. Apakah kamu akan merasa pesta itu sempurna dengan kehancuranku?"
Aldef membatu seketika. Dia tidak pernah bermaksud seperti itu. Dia hanya merasa jika Aqnes masih menjadi sosok yang berarti di hidupnya. Meski mereka kini bukan lagi sepasang kekasih seperti dulu.
"Aqnes, aku-"
"Aku lelah, Aldef. Biarkan aku tidur." Aqnes menyela. Dia tidak ingin mendengar apapun dari pria yang menjadi mantan kekasihnya itu. Saat ini, pria itu sudah menjadi masa lalu. "Selamat atas pertunanganmu. Semoga dengannya, kamu bisa bahagia. Maaf jika aku tidak bisa menjadi sosok yang kamu inginkan hingga memilih pergi. Tapi, sekarang kamu sudah menemukan yang lebih baik. Kuharap, dia bisa lebih membuatmu bahagia."
Bibir Aldef terasa kelu. Dia tidak bisa mengatakan apapun. Ia tidak menduga akan mendengar kata-kata itu dari Aqnes. Mantan kekasihnya itu berhasil membuat dadanya dipenuhi perasaan bersalah.
"Aku mencintaimu."
Dan satu lagi beban perasaan menghantamnya kuat-kuat.
Buku lain oleh Rish Alra
Selebihnya