icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Menaklukkan Duda Dingin

Menaklukkan Duda Dingin

Pixie Life Agency

5.0
Komentar
63.2K
Penayangan
128
Bab

Amber Lim terkenal akan gaya hidup yang mewah dan kecantikan yang memukau. Namun sayang, perempuan itu juga dikenal sebagai perusak hubungan orang alias pelakor internasional. Menyesali sikap buruknya, ia pun bertekad untuk memulai hidup baru. Tanpa memedulikan musim dingin ekstrem yang sedang berlangsung, Amber pergi ke utara untuk berguru dengan Adam Smith, desainer perhiasan terbaik dunia yang misterius. Malangnya, di tengah perjalanan, Amber dirampok dan ditinggalkan di sebuah hutan. Hanya ada sebuah pondok kecil yang dapat menyelamatkannya dari beku, dan hanya ada satu orang yang dapat membantunya bertahan hidup—Tuan Dingin. Tidak ada yang tahu nama asli Tuan Dingin. Ia sengaja hidup menyendiri dan sangat tidak suka diganggu. Penduduk desa terdekat bahkan memanggilnya kanibal karena minimnya rasa kemanusiaan dalam diri pria itu. Padahal sesungguhnya, Tuan Dingin hanyalah seorang duda yang sangat membenci wanita, apalagi pelakor. Lantas, apa yang akan terjadi selanjutnya? Mampukah Amber menaklukkan Tuan Dingin dan pulang dengan selamat? Atau justru ... berakhir menjadi santapan lezat sang duda?

Bab 1 Bertemu Tuan Dingin

“Hei, kembalikan barang-barangku!” pekik Amber sambil berusaha bangkit dari timbunan salju. Hidungnya yang berair kini memerah karena marah.

“Hei!” seru wanita dengan mantel putih berbulu itu lagi. Dengan susah payah, ia melangkah menuju aspal. “Berhenti kalian! Jangan membuatku marah! Kalian akan menyesal jika aku berhasil menangkap kalian!”

Malangnya, ketika Amber hampir tiba di bahu jalan, mobil yang dikejarnya sudah berputar arah. Dua pria yang tadi melemparnya pun tertawa puas sembari melambaikan tangan dari jendela.

“Adjö!”

Tanpa memedulikan apa yang disebut oleh si orang asing, Amber berteriak sekencang-kencangnya. “Dasar penipu! Aku membayar mahal untuk diantar menemui Adam Smith, bukan ditelantarkan di tengah hutan seperti ini!”

Dengan mata berkaca-kaca, Amber melihat mobil perampok itu menghilang di kejauhan. Ia sadar, tidak ada gunanya memekik ataupun mengejar. Si orang asing tidak akan kembali menjemputnya.

“Aku tidak seharusnya percaya pada mereka,” sesal wanita itu geram.

Sambil mengatur napas, Amber mulai mengamati keadaan. Tidak ada seorang pun di sekitarnya. Yang ada hanyalah bayangan pohon pinus, tebaran salju, dan taburan bintang-bintang di langit gelap.

“Gawat,” desah sang wanita seraya mendekap diri lebih erat. Angin yang berembus telah menghantarkan dingin hingga ke tulang. “Apa yang harus kulakukan? Aku tidak boleh mati sekarang.”

Sembari mengelap hidung dengan sarung tangan, Amber berputar menghadap titik pendaratannya tadi. Dua detik kemudian, wanita itu tiba-tiba menghela napas tak percaya. Samar-samar, ia dapat melihat sebuah cerobong sedang mengepulkan asap tak jauh dari sana.

“Apakah itu rumah penduduk?” desah Amber sembari melebarkan mata. Ia berpikir telah menemukan secercah harapan. Namun, selang satu kedipan, alisnya kembali berkerut.

“Tapi, sepanjang jalan tadi, aku tidak melihat satu pun rumah warga. Apa mungkin ... ada orang yang hidup di tempat seperti ini?” gumam wanita itu ragu.

Sekali lagi, Amber mengamati pemandangan sekitar. Yakin bahwa tidak ada bangunan lain, ia pun mendesah panjang.

“Hanya ini satu-satunya jalan,” gumamnya sebelum meniup sarung tangan agar hangat. “Orang di rumah itu pasti mau membantuku.” Dengan penuh percaya diri, sang wanita mengerahkan tenaga untuk menembus salju setinggi lutut.

Setibanya di depan pintu, Amber akhirnya bisa bernapas lega. Sambil terus menggosok tangan, ia memperhatikan cahaya kuning yang terpancar dari balik kaca jendela.

“Syukurlah, ternyata pondok ini memang rumah penduduk.” Setelah mengembuskan napas cepat, Amber mengetuk pintu. “Permisi. Apakah ada orang di dalam?”

Tak kunjung mendapat jawaban, wanita itu kembali mengetuk. “Permisi!” teriaknya lebih kencang.

Beberapa detik kemudian, tetap tidak ada suara yang terdengar. Keheningan itu membuat kekesalan Amber bangkit. Ia sudah terlalu lama terpapar udara musim dingin.

“Ke mana perginya penghuni pondok ini? Apakah dia tidak mendengar panggilanku? Ck, aku bisa membeku kalau terus menunggu di luar sini,” gerutu wanita yang mulai menggigil itu sebelum menggedor pintu lebih kuat.

“Permisi! Apakah ada orang? Aku sangat membutuhkan bantuan!” pekik Amber, setengah panik. Tangannya yang terasa kaku tak henti-henti membentur papan tebal itu. “Tolonglah! Aku bisa mati kedinginan kalau kau tidak menolongku.”

Selang beberapa saat, pintu akhirnya terbuka. Mendapati celah untuk masuk, senyum Amber pun melebar. “Terima kasih!”

Namun, tepat ketika ia hendak melangkah, seorang pria berbadan tegap menghalangi jalan. Sambil menghunuskan tatapan dingin, orang asing itu bertanya, “Apakah kau tidak bisa membaca?”

Mendapat sambutan tak terduga, Amber sontak terdiam. Lewat mata bulatnya, ia mengamati wajah laki-laki brewok dengan rambut cokelat tak terurus itu. Tidak ada ekspresi ramah di sana. Tampak jelas bahwa si penghuni pondok tak menyukai kehadirannya.

“S-selamat malam, Tuan. Maaf mengganggu Anda,” ujar sang wanita, mendadak sopan. Dengan susah payah, ia berusaha meredam gemuruh napasnya. “Nama saya Amber dan saya bukan orang jahat. Saya datang ke negara ini untuk bertemu dengan Adam Smith. Tapi ternyata, saya malah ditipu. Barang-barang saya diambil dan saya ditinggalkan begitu saja di hutan beku ini.”

Sambil mengeraskan rahang, sang pria mendekatkan kepalanya kepada Amber. “Kutanya sekali lagi. Apakah kau tidak bisa membaca?”

Mendengar nada rendah yang penuh penekanan itu, sang wanita sontak bergidik ngeri. Sambil mendekap diri lebih erat, ia berbisik, “Membaca?”

Setelah mendengus kecil, si pemilik pondok melirik ke arah papan yang terpasang di samping pintu. Setengah tulisannya tertutupi salju. “Baca itu dan pergilah dari sini!” Sedetik kemudian, Amber tersentak karena sang pria membanting pintu.

“Astaga! Kenapa dia dingin sekali?” gerutu wanita itu tak percaya. “Aku hanya ingin meminta bantuan. Kenapa dia malah mengusirku? Memangnya, apa yang tertulis di sini?”

Sambil mengerutkan alis, Amber menyibak lapisan salju yang menghalangi tulisan. “Menjauhlah jika tidak ingin terbakar di musim panas atau membeku di musim dingin.”

Usai membaca papan peringatan itu, sang wanita tertawa datar. “Yang benar saja? Aku justru bisa membeku kalau menjauh dari pondok ini,” gumam Amber seraya kembali ke depan pintu. Tanpa berpikir panjang, ia mulai menggedor lagi.

“Permisi, Tuan Dingin. Aku benar-benar butuh bantuan. Berapa pun biayanya, pasti akan kubayar. Sekarang, tolonglah aku agar tidak mati kedinginan di sini,” seru Amber, mengabaikan kesopanan. Sel-sel dalam tubuhnya telah mendesak untuk segera dihangatkan. “Tuan Dingin?”

Sekali lagi, pintu terbuka. Mengira bahwa sang pria berubah pikiran, Amber pun melangkah masuk. Namun, sebelum ia melewati ambang pintu, seember air tiba-tiba menampar wajahnya. Dalam sekejap, wanita itu memekik. Sambil mendengus kesal, ia menyeka mata dengan sarung tangan dan lengan mantel putihnya yang basah.

“Apa-apaan ini? Kenapa kau menyiramku?” teriaknya tak terima.

Alih-alih menjawab, sang pria malah menyunggingkan senyum miring. Sedetik kemudian, ia menutup pintu rapat-rapat. Pemilik pondok itu sama sekali tidak peduli jika tubuh Amber bergetar semakin hebat akibat marah dan kedinginan.

“Dasar psikopat!” gerutu wanita itu geram. Sambil menggertakkan geraham, ia mulai memukul dan menendang pintu. “Kalau kau ingin membunuhku, kenapa kau tidak menggunakan pisau atau peluru? Kenapa malah menyiksaku seperti ini?”

Semakin cepat jantungnya berdetak, semakin cepat pula hati Amber memanas. “Lihat saja nanti! Kau akan menyesal kalau sampai aku mati di sini. Orang tuaku tidak akan tinggal diam. Teman-temanku juga. Mereka tidak akan membuat hidupmu tenang.”

Tiba-tiba, pintu kembali terbuka. Si “Tuan Dingin” pun muncul dengan ember yang terisi penuh. Tak ingin mendapat guyuran kedua, Amber bergegas melangkah mundur. Saking tergesa-gesanya, ia sampai jatuh terduduk.

“Akh!”

Meski demikian, sang pria tetap menuangkan air di atas kepalanya. “Pergilah atau kau sungguh kubekukan menjadi es!”

“Tapi aku tidak punya tempat lain!” teriak Amber sambil menyingkirkan butiran air yang belum terserap oleh mantel putihnya.

“Itu bukan urusanku!” Tanpa iba, si pemilik pondok melangkah masuk dan menutup pintu. Menyaksikan sikap dingin pria itu, napas Amber semakin memendek. Kemarahan telah meledak-ledak dalam dadanya.

“Aaargh!” erang wanita itu kesal. Dengan tubuh bergetar hebat, ia bangkit berdiri. “Kenapa harus psikopat itu yang tinggal di sini? Kenapa bukan orang baik yang bersedia menolong? Sekarang aku harus ke mana?”

Setelah mengamati kegelapan malam, Amber akhirnya menelusuri jejaknya tadi. “Aku tidak boleh putus asa. Pasti ada orang lain yang hidup di hutan ini. Aku harus segera menemukan rumahnya.”

Dengan sekuat tenaga, wanita itu memaksakan lututnya yang gemetar untuk bergerak. Meski napasnya terasa semakin berat, ia terus berjalan dan berjalan, tanpa mengetahui bahwa badai akan segera tiba.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Pixie Life Agency

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku