Dinikahkan Karena Hutang
sukanya aneh-aneh saja deh. Ayo, silakan naik ke pelaminan lagi." Fotograf
? Harusnya tangan suami digandeng dong," ujarnya lagi sa
yang duduk. Kami akan saling men
Mas Daffin. Ia mengatakannya lumayan lantang. Aku pun iku
suk ke kamar, ternyata ada perjanjian seperti it
a. Terdengar kasak-kusuk dan tawa kecil yang menyertai. Aku pun malu. Mas Daffin te
lu kalau harus mengumbar kemesraan di depan um
ang ini. Aku pikir ia tipe orang yang pendiam. Namun, saat berbicara, ia bisa mengejutkan banyak orang. P
banget!" te
deh!" Lily
ke arah dua sahabatku itu. Rasanya ingin memarahi tingkah mereka, tetapi sudah terlanjur banyak
a orangnya cuek banget seperti nggak ada peduli-pedulinya.
baru sekarang ia menginginkan Mas Daffin? Andai saja waktu itu, sekarang pasti bukan aku yang ada di pelaminan ini. Entah
p apa yang diucapkan Om Darma kemarin akan benar-benar terjadi. Mas Daff
annya. Ia berdiri di belakang kursi, tanpa berniat menyentuhku sedikit pun. Fotografer itu membidi
ien seperti kalian. Lucu banget. Padahal sudah halal, malah masih malu-malu kucing begini. Bersentuhan saja menungg
pikir dia laki-laki, berkumis pula. Tetapi, lisann
ke kamar lagi. Masih capek," ucap M
er sambil tersenyum. "Ayo keluarga inti berkumpul
ua tiba-tiba memujiku. Namanya Bu D
dapatku tentang semua yang nanti akan dibutuhkan untuk pernikahan ini. Aku kira, ibu mertuaku
lagi. Semoga mereka akan selalu baik sampai kapan pun dan akan memperlakukanku layaknya anak kandungnya
aksudnya." Aku canggung send
salah panggil lagi kok. Kamu harus bahagia ya?" Rasanya damai sekali saat menden
dan tersenyum saat me
nya. Seperti itu saja masa malu sih? Nggak mesr
, meski tidak langsung bersentuhan dengan kulit, tetapi Mas Daffin adalah laki-laki y
. Kamu akan baik-baik saja." Ibu mer
ntang kondisiku? Lalu, mengapa
ang lengannya Mas Da
gisyaratkan bahwa apa yang kulakukan nant
a. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang. Mengat
sesepele itu, aku sudah mulai merasakan gejala yang lain. Senyumku mengembang. Tetapi, perasaanku tersiksa. Fotografer itu pu
kembali ke kamar," kat
aku paham apa maksudnya. Seketika itu, aku pun melepaskannya. Lega rasanya, akhirnya derita ini
a itu, aku pun bisa mengatur kondisi diri ini. Trauma itu mulai memudar. Entah sampai kapan, hidupku dipermainkan oleh keterbelakangank
idak peduli dan tidak sopan. Tetapi, dia laki-laki yang bertanggung jawab da
alas senyumannya. Apakah yang keluar dari lisannya itu nantinya akan terwujud? Atau mereka hanya berpu