Istri Penebus Hutang
ntai es yang akan pecah kapan saja. Di sekelilingnya, dinding-dinding yang berkilau dengan lampu kristal menciptakan suasana megah yang asing bagi Elara. Ruangan luas itu dipenuhi de
g mereka lewati tampak seperti arena di sebuah istana, tempat di mana kekuasaan dan kesendirian saling berkejaran. Elara merasakan suhu ruangan itu, dingin da
tama. Suaranya yang dalam membuat Elara menoleh, dan untuk sekejap, ia melihat k
n terburu-buru. Raka mengangkat alisnya sejenak, lalu mengangguk, seolah
berbisik, memandang ke sekeliling. "A
Ada jarak di antara mereka, jarak yang lebih besar dari ruang yang memisahkan dua orang. Ela
hirnya, suaranya seperti angin malam yang ding
tertembus, ada sesuatu-sesuatu yang membuat Elara bertanya-tanya, apakah ia benar-benar orang yang tak berperasaan seper
kau melakukan ini? Kenapa menikah denganku jlai menampakkan ketegangan. Ia tidak pernah membiarkan orang lain melihat sisi lemahnya, tapi
hujan yang menenangkan tetapi menyakitkan. "Ini tentang bertahan hidup.
banyak hal yang terjadi di balik tirai kegelapan itu daripada yang ia bayangkan. Tetapi Raka hanya memalingkan wajahnya, menatap ke lu
bisa menjawab kebingungan di hatinya. Tiba-tiba, suara derap langkah di luar ruangan menarik perhatian mereka. S
lihat kilasan keheranan di matanya, seolah-olah ia sedang menyaksikan sesuatu yang ta
yang terbuat dari kayu mahoni yang dipahat indah, setiap ukirannya menggambarkan cerita-cerita lama yang hanya bisa dipahami oleh pemiliknya. Di
air mancur kecil di sudut ruangan dan suara garpu serta pisau yang beradu saat makanan dihidangkan. Makanan itu bukan hanya sekadar hid
h dengan rasa sakit. Raka berhenti sejenak, meletakkan sendoknya, lalu menatap Elara
ut, seperti ada sesuatu yang mulai pecah di dalam dirinya. "Terkadang
tunggu-tunggu. Meskipun ia tidak sepenuhnya memahami apa yang membuat Raka terperangkap dalam hidupn
a melihat punggungnya, tubuhnya yang tegap tetapi terhuyung oleh perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia ingin mendekat, ingin menem
rgetar, penuh dengan kepercayaan yang
"Takut kehilangan. Takut menjadi seperti orang yang pernah aku kenal. Takut menjadi sesuatu yang tida
ta pria itu. Untuk sesaat, di ruang makan besar yang dingin itu, ada satu hal yang menghubungkan mereka-ketaku
at, seolah ingin membuktikan bahwa ia tidak takut. "Kita mungkin tida
pi. Perlahan, sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya, mengubah ek
, suara itu seperti angin se
ubah, tetapi juga sesuatu dalam diri mereka. Mungkin, mereka berdua hanya manusia biasa yang terperangkap dala