Mendadak Dinikahi Om-Om
umah sakit, benar-benar membuatnya takut. Jika ia tak bisa membayar biaya rumah sakit, maka sama saja dengan ia
emakin buram, sampai pada akhirnya tangisnya kembali tak terbendung. Kali ini dirinya hanya mengeluarkan ai
ng bayar biay
g beralih ke arah sumber su
mau nikah d
ong, jangan ganggu gue," ucapnya dengan suara lemah. Pikirnya orang di sampingnya
ian atas pahanya, sebelum kemudian berlutut di samping Nala. "Saya nggak lagi
engabulkan do'anya secepat ini? Sepertinya tidak, mengingat rentetan do'a yang sudah dilantunkannya sejak t
otak banget kalau ngomong. Apa lo bilang tadi? Nikah? Wah ... parah, lo ini bujang lapuk apa gimana? Bisa-bisanya ngajak sembarang orang nikah, udah s
a menendang wajah laki-laki asing ini, tapi sejak kapan sih dirinya bisa sekasar
ya begitu lelah, tanpa tenaga. Susah payah ia memutar arah kursi rodanya, mendorong lemah. Meni
Saya cuma mau bantu ka
boti, ya? Mau nikahin saya cuma buat nutupin aib, Om?" Jaman sekarang memang lagi musim sp
ya panjang. Tak habis pikir dengan penilaian perempuan di depannya ini yang begitu luas, tapi salah kaprah. Me
gan usianya. Ia kembali jongkok setelah menaikkan lengan kemejanya. "saya niatnya memang mau nolong kamu, sebagai ba
l? Atau malah saya disuruh kerja, uangnya buat bayar Mama saya, 'ya?" Tak ada sesuatu positif yang bisa dilihat Nala dari laki-laki di depannya
ucapnya dengan tegas, rau
"Yang jelas semua tuduhan kamu itu salah total. Saya bukan orang jahat, bukan mau memperbudak kamu, dan apalagi tadi? Boti
emang tak nampak adanya raut wajah kriminal dari orang di depannya ini. Tapi tetap saja, ia tak boleh percaya begitu saja pada ora
ius tadi. "saya punya masalah, kamu juga punya masalah. Semua orang di dunia pu
isex,
ng diutarakan padanya barusan. Memang sepertinya perempuan di depannya ini tak minat deng
untuk meredam emosinya, sampai pandangannya tanpa sengaja bertemu dengan seorang wanita paruh bay
sesi tawar menawar akan ia terapkan. "Terserah penilaian kamu yang salah kaprah itu, tapi coba pikirkan sekali lagi,
e
atas kursi rodanya. "Ayo, mau. Tolong mau, ya." Seiring dengan langkahnya yang semakin
h, kata-kata yang dilontarkan laki-laki itu seperti sebuah bom atom yang menghancurkan pikirannya. Dengan gemetar Nala juga mengubah arah
sesuatu yang terlin
tun