Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Velin menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah kafe yang terletak sedikit terpojok karena terimpit dua bangunan tinggi. Hotel yang tingginya melebihi batas penglihatan seorang Velin, dan sebuah bangunan yang masih belum terlihat siap ditempati. Velin menarik napas mencoba menangkan diri karena terlalu gugup. Ia yakin, di dalam sana teman-teman seangkatan dengannya telah berkumpul dan mungkin bercerita tentang kesuksesan masing-masing setelah 5 tahun tidak bersua.
Jujur saja, Velin ragu untuk memasuki kafe yang
terlihat sepi itu. Ia ragu jika di dalam sana akan menjadi seseorang yang terasingkan karena hidupnya tidak memiliki perubahan selama 5 tahun. Dan juga ragu untuk bertemu dengan orang-orang yang dihindari semasa SMA dulu.
Semua mengacaukan otaknya yang terlalu kecil dan pas-pasan untuk berpikir. Seandainya saja otaknya itu bisa lebih genius, mungkin ia akan bekerja di sebuah perusahaan ternama, bukan menjadi pengantar bunga.
Apa lagi yang bisa dilakukan perempuan yang cuma tamat SMA? Pekerjaan di kota besar tidak menjamin sama sekali. Bahkan yang sudah memiliki ijazah sarjana saja bisa berakhir menjadi pengangguran. Lalu, bagaimana dengan dirinya yang hanya tamat SMA?
"Tidak berniat masuk?"
Velin menatap seorang perempuan yang berdiri tepat di sampingnya. Velin menarik napas sedikit kasar. Entah berapa lama ia melamun hingga tidak menyadari jika ada orang lain selain dirinya berdiri di depan kafe.
"Jika ragu, ayo pergi saja dari sini."
Velin mengernyitkan keningnya bingung. Perempuan cantik bak model itu mungkin sedang menyindirnya secara halus saat ini.
"Ada apa dengan wajahmu itu? Hah, aku juga ragu untuk masuk ke dalam sana. Kenangan saat masih SMA berputar terus di depan mataku."
Kalimat itu semakin membuat Velin berpikir lebih ekstra dari biasanya, dan karena otaknya tidak bisa bekerja lebih, maka ia tidak bisa menemukan jawaban dari pertanyaan yang melayang tidak karuan di otaknya.
"Maaf, kamu siapa?" Entah keberanian apa yang mendera Velin hingga ia mampu mengeluarkan suara dari bibirnya yang sejak tadi terbungkam.
"Kamu tidak mengenalku?" Ada kekecewaan dari pertanyaan balik yang diucapkan sang lawan bicara.
Velin menggelengkan kepalanya.
"Natasya. Si cupu yang selalu memakai kacamata tebal. Berjerawat dan kutu buku."
Velin membungkam mulutnya. Natasya? Dia tidak percaya apa yang ia lihat. 5 tahun tanpa mendengar kabar dari masing-masing teman semasa SMA dulu membuat begitu banyak perubahan, salah satunya Natasya. Bagaimana bisa siswi yang dikenal nerd semasa SMA, berubah menjadi perempuan cantik bahkan layak untuk menjadi model.
Wajah itu begitu mulus tanpa ada bekas jerawat di sana. Bahkan terlalu sempurna untuk disebut sebagai manusia. Mungkin, lebih tepatnya saat ini Natasya seperti bidadari yang setiap wajahnya terpahat sempurna.
"Apa kamu melakukan operasi?" Velin memukul kepalanya karena pertanyaan bodohnya itu.
Natasya tersenyum menanggapi pertanyaan Velin. "Ya, kamu benar. Aku melakukan banyak perubahan di tubuhku. Aku tidak ingin menjadi bahan kejahilan lagi."
Lagi-lagi Velin mengangguk seperti orang bodoh. "Pantas saja, itu terlihat sangat sempurna." Velin menunjuk pada wajah Natasya. "Maaf," tambahnya lagi. Ia takut jika Natasya tersinggung dengan kalimat konyolnya.
"Tidak masalah. By the way, mau masuk atau cabut?"
Velin menatap Natasya dengan senyum percaya dirinya. "Kita sudah di sini bukan? Kenapa menyia-nyiakan waktu begitu saja."
"Kamu yakin?" Natasya bertanya untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Ya. Setidaknya kita bisa membanggakan diri di dalam sana, meskipun harus menahan malu karena tidak mampu melakukan apa pun lebih dari yang sekarang ini."
Natasya mengangguk.
"Kamu benar."
Natasya berjalan dengan gontai dan disusul oleh Velin dari belakang. Bohong jika seorang Velin tidak gugup sama sekali, tetapi setidaknya, ia masih punya teman yang memiliki pemikiran seperti dirinya. Ya, Natasya tidak jauh beda darinya. Ragu karena beberapa alasan tertentu.
"Ah, lihat siapa yang datang!" Teriakan menggema dan itu datang dari lelaki yang memakai pakaian terlalu mencolok.
Velin bahkan hampir tertawa kencang saat menyaksikan penampilannya. Kemeja warna kuning dan dilapisi dengan jas berwarna hijau kotak-kotak. Dasi yang warna terlalu bertolak belakang. Bagaimana bisa dasi warna merah menjadi pelengkap kemeja warna kuning? Terlalu lebay.
"Maaf, kami sedikit terlambat." Natasya membungkuk memberi hormat sebelum duduk di tempat kosong, kemudian disusul oleh Velin.
"Wah, si ratu plastik ternyata." Kalimat menyakitkan itu keluar dari bibir seorang Tania. Velin ingat jelas wajah yang selalu terpoles bedak tebal itu. Apa bedanya operasi plastik dengan tambal bedak berlapis-lapis?
Velin melirik Natasya yang tersenyum ramah. Perempuan itu terlalu santai menanggapi hinaan kasar yang diutarakan oleh Tania.
"Terima kasih sudah menyambutku."