Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Hari ini aku yang meliburkan diri dari rutinitas pekerjaan, pergi menemui ibu angkat di kampung halamannya.
Biasanya, aku bepergian selalu diantar oleh sopir pribadi. Tapi, sudah hampir sebulan, sopir ku mengundurkan diri dan diriku belum menemukan orang yang cocok untuk menggantikannya.
Pagi ini aku bersiap.
Di kursi roda ruang tamu, ada pria yang seumuran dengan almarhum ayahku. Dia hanya bisa melirikkan matanya tanpa bisa bersuara. Gerakannya lambat sekali. Kudekati dirinya.
Aku pamit padanya. Kuintip dua kamar bersebelahan. Penghuni dua kamar itu masih tidur dengan lelap.
"Ngapain juga aku pamit sama mereka. Menyebalkan sekali. Mereka juga tidak pernah menghormatiku selama aku disini." Batinku malas.
Aku memanggil ART dan menyuruhnya mendorong kursi roda itu kembali masuk ke kamar.
Di depan sana, Bapak Joko sedang memotong rumput. Beliau berhenti ketika melihatku berjalan ke arah mobil yang terparkir rapi di garasi rumah.
"Pagi Nyonya Mawar," senyumnya ramah.
Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya. Hanya Bu Minah dan pak Joko yang menghormatiku di rumah ini.
Ataukah mungkin juga mereka terpaksa berbuat seperti itu karena hanya untuk sekedar menghargai keberadaan diri ini.
Aku singgah sebentar ke toko online-ku. Toko ini aku besarkan dengan susah payah. Memang tidak besar. Tapi, setidaknya diri ini tidak akan menjadi parasit dan beban dalam keluarga besar Pramono.
Keluarga itu tidak rela aku hidup mewah seperti sekarang ini. Semenjak Tuan Cahyo Pramono mempunyai penyakit Stroke. Selalu saja aku yang disalahkan. Mereka berpikir akulah penyebabnya. Padahal aku tidak tahu apapun tentang penyakit yang menyerangnya itu.
Kulajukan kembali mobil ke arah perkampungan. Cukup jauh dari kotaku tinggal.
Tapi, aku sudah tidak bisa menahan rasa rindu kepada ibu sambungku, yang sudah mau mencintai dan menyayangiku setelah ibu kandung tiada.
Aku melewati jalan perkampungan. Di sekeliling hanya terdapat pohon berbagai macam bentuk dan ukuran.
Kubuka jendela mobil dan mematikan pendingin.
Udara bersih yang kurindukan. Terdengar burung berkicauan. Aku menikmati sekeliling karena di sini sepi. Saat melihat ke arah depan kembali. Aku melihat bayangan sekelebat dan ...
Ciiiiittt.
Aku menginjak pedal rem mendadak.
Terdengar suara benturan.
"Astaga ... apa tadi?" Tanganku bergetar memegang kemudi.
Aku ragu ingin melihat keluar atau tidak.
Setelah lama berpikir dan aku penasaran dengan benturan tadi. Tubuh ini keluar perlahan.
Kubuka pintu mobil. Kuberanikan diri melangkah dan melihat siapa atau apa yang terkena benturan mobilku tadi.
Aku terpaku, melihat seorang lelaki yang keningnya berlumuran darah yang sudah mengering. Pakaiannya terlihat lusuh. Dia mengenakan Hoodie hitam dan jeans panjang berwarna biru. Kutelisik wajahnya secara perlahan. Dia memang butuh bantuanku.
Sampai sekarang dia belum juga tersadar dari pingsannya.
Aku yang melihatnya pingsan tak bergerak, akhirnya mau tak mau menyeret tubuhnya.
Aku seorang wanita yang memang tidak akan mampu membawa pria tegap di depanku ini.
Aku menyeretnya perlahan, mulai memasukkannya ke dalam kursi penumpang di belakang. Kuletakkan tubuhnya telentang.
Deruan napasnya seolah menandakan lukanya tak parah.
Langsung saja aku masuk kembali ke mobil dan melajukan kendaraan tersebut.
"Gila, hari ini gue apes. Malah nabrak orang segala. Untung gak mati," gumamku lega.
"Aku harus segera sampai di rumah bunda Wardah. Di sana pasti ada puskesmas terdekat." Gumamku seorang diri.
Jalanan yang sunyi mulai berubah berisik dengan lalu-lalang kendaraan. Hari mulai beranjak siang. Ketika aku sampai di depan rumah khas perkampungan milik bunda Wardah.
Seorang wanita paru baya berumur akhir 50an menungguku di teras rumah. Dia duduk santai sambil menyeruput teh panas.
"Ciyee ... lagi nungguin anak kesayangannya nih ya," ledekku pada bunda.
"Bunda tungguin dari kemarin. Malah nongol sekarang. Emang bandel nih bocah!" Sahutnya spontan.
"Bocah lagi, Mawar udah gede bunda. Udah bisa ngurusin anak orang!" Kataku sebal.