Ubud,
Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah dan deru skuter tua yang seolah tak mau lagi hidup yang menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.
Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpȧkȧïȧn hitam-hitam di jalan itu.
"Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai?" Pemuda dengan brewok tebal itu menepuk pundak orang yang duduk di depannya.
Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang seniman terkenal di kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu.
"Oh, ini ada pengabenan," Kadek menyahut tanpa menoleh.
Kadek menganggukkan kepala kepada orang-orang itu, sekedar sopan santun saat melewati rombongan mereka. Aroma dupa dan alunan tetabuhan yang terdengar asing membuat bülü kuduk Ava merinding. Ava melirik ke arah patung lembu hitam yang diusung dan orang-orang berjalan dengan wajah murung.
Sebüȧh upacara pemakaman.
Ava menghela nafas. Mendȧdȧk dȧdȧnya dipenuhi dengan rasa takut yang purba. Pemuda itu tercenung lama, sampai akhirnya skuter mereka menjauhi rombongan itu.
Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di sebüȧh villa yang indah. Villa itu terletak di pinggir jurang yang menjorok ke sungai. Skuter mereka melewati candi bentar berukir dan memasuki halaman yang dipenuhi oleh tanaman tropis yang eksotis.
Kadek memarkir motor. Di halaman ada seorang laki-laki paruh baya berbadan subur sedang mengelus-elus ayam jago.
"Ajik, siapa yang di-aben?" tanya Kadek kepada orang itu.
"Oh, Pekak Gedang, dari banjar sebelah."
Kadek manggut-manggut, lalu meletakkan helmnya di bale-bale.
[Ajik = Bapak]
Pak De namanya. Pada awalnya Ava juga bingung, kenapa orang Bali sepertinya dipanggil Pak De, mungkin nama aslinya Pak Made, Pak Dewa, atau Pak Gede. Tapi cukup Pak De saja, itulah nama seniman yang digunakannya. Nama yang terkenal sampai ke luar negeri sebagai pelukis aliran realisme yang berpengaruh.
Ava ditawari Kadek untuk 'berguru' pada seniman yang kebetulan satu kampung dengannya. Sebagai gantinya, selama beberapa tahun Ava akan 'ngayah' di tempat itu; mengabdi tanpa pamrih kepada keluarga Pak De, dan selama itu pula Sang Maestro akan menurunkan ilmu yang dimiliki kepada Sang Murid. Jika beruntung karya-karya Ava akan ikut diorbitkan ke galer-galeri terkenal di Jakarta, bahkan ke tingkat Internasional, seperti murid-murid beliau terdahulu.
"Saya Ava." Ava menjulurkan tangannya ke arah orang itu, tampak canggung di depan tokoh yang diseganinya.
"Hahaha.. berbeda jauh seperti bayangan saya, saya Gede, ah panggil saja Pak De, Hahaha... Ah, maaf tangan saya kotor."
"Memang seperti apa bayangan bapak?"
"Ava Devine? Ava Lauren?"
"Hahahaha" Ava tertawa, tahu siapa yang dimaksud -pemain film panas-, "Bukan, Saya Mustava Ibrȧhïm..."
"Ah, ayahmu pasti penggemar Queen."
"Benar."
Suasana langsung cair, ternyata Pak De sangat humoris meskipun ia memiliki brewok lebat dan rambut panjang yang diikat ke belakang, yang sekilas mengingatkan Ava pada perawakan seniman Djaduk Ferianto.
"Nanti saja ngobrol-ngobrolnya, saya juga belum mandi. Kamu istirahat saja dulu," kata Pak De. "Dek, kamu antar Ava ke kamarnya."
Ava diantar Kadek melewati jalan setapak yang dirimbuni pepohonan tropis. Mereka melewati bangunan yang dicat tanah dengan atap jerami, dipisahkan oleh kolam renang kecil dari bangunan utama. Di dalamnya penuh dengan lukisan, ada pula yang belum jadi. Sepertinya itu studio Pak De, batin Ava.
Yang di sebut 'kamarnya' ini lebih mirip gazebo, namun sudah difurnish halus. Bangunan ini berupa bale-bale di bawah, dengan tangga naik ke balik atapnya yang melambung tinggi seperti lumbung padi. Di dalam atap inilah Ava akan tidur.
Dengan susah payah Ava menaikkan tas berisi baju dan peralatan lukisnya menaiki tangga, sampai akhirnya ia menghempaskan punggungnya ke atas kasur busa empuk yang digeletakkan begitu saja di ruangan 2x3 meter itu. Ava jadi teringat tempat kost-nya di Jogja. Namun ini jauh lebih baik.
Ruangan itu terbuat dari kayu yang dipelitur mengkilap. Nyaris tanpa perabot kecuali sebüȧh meja kecil dan lemari kecil. Di ujungnya ada jendela kayu besar, Ava membukanya. Sontak udara persawahan mengalir masuk, segar.
Ava bisa melihat Gunung Batur di utara dengan kaldera rakasasanya yang diisi jutaan galon air, mengalirkan puluhan anak sungai yang melewati lembah-lembah hijau yang dipenuhi sawah bertingkat-tingkat.
Pemandangan dan udara Pulau Dewata ini begitu membius. Tahu-tahu Ava sudah terlelap dalam mimpi indah. Tidurnya dipenuhi dengan mimpi-mimpi muluk seorang sarjana fresh graduate. Waktu itu Ava masih belum mengetahui apa yang akan menantinya di perantauan ini.
>>>
Senja mulai menjelang ketika Ava selesai berbincang dengan Kadek dan Pak De. Bergelas-gelas kopi yang sudah tandas dan pisang goreng yang tinggal bersisa sepotong menandakan lamanya percakapan Sang Maestro dan calon muridnya.
"Woi, rajin amat," goda Kadek pada juniornya itu.
"Jelas, dong," sahut Ava tanpa menoleh.
Ava sedang sibuk mencuci gelas bekas kopi, ketika Kadek menepuk pundaknya dari belakang. Sebenarnya sudah ada Mbok Ketut dan Mbok Nengah, pembantu rumah tangga di Villa Pak De, juga beberapa karyawan yang membantu di tempat itu, namun Ava terlalu tidak enak hati kalau tidak mencuci gelasnya sendiri.
"Ada apa, Dek?" Ava berkata acuh tak acuh.
"Ava, manjus, yuk!"
"Apa? Maknyus?"
"Manjus, artinya mandi!"
"Ooh, kamu duluan aja, Dek." Ava menjawab malas, karena masih harus membilas sebuah gelas kotor dengan ampas kopi di dasarnya.
"Ah, nggak seru! Ayo manjus sama-sama!"
"Hah!" Gelas yang sedang sedang dicucinya cuci jatuh di bak cuci piring, untung tidak pecah.
"Hahaha... Santai aja... aku sudah punya pacar kok!" kata Kadek.
"Pacarmu... cowok?" tanya Ava takut-takut.
"Hahaha..." Kadek malah tertawa-tawa sambil menyeret tangannya.
/0/16989/coverorgin.jpg?v=80f6edfeb2bee3d2c08b5130edf9f85b&imageMogr2/format/webp)
/0/6585/coverorgin.jpg?v=c55c9dd34d7d839f3c31119769249f11&imageMogr2/format/webp)
/0/16393/coverorgin.jpg?v=172af232152f82e5e59dff88c852c7d1&imageMogr2/format/webp)
/0/17815/coverorgin.jpg?v=22532312abb581bb0af87ccc4a8b6038&imageMogr2/format/webp)
/0/15387/coverorgin.jpg?v=f0c0a2a3b36617710ec82f1e757bb972&imageMogr2/format/webp)
/0/16296/coverorgin.jpg?v=692440367c44117e7fdefdf76376304e&imageMogr2/format/webp)
/0/4887/coverorgin.jpg?v=0a325a82d88002794a6b6fcc627955e2&imageMogr2/format/webp)
/0/29790/coverorgin.jpg?v=4eeac7b6ed4cfd6b59c5b454fbfb63e3&imageMogr2/format/webp)
/0/27973/coverorgin.jpg?v=8cc48e3966444d2a6e2a67893bae7d2f&imageMogr2/format/webp)
/0/23105/coverorgin.jpg?v=73a83fd3127e8ee751a1272145924f67&imageMogr2/format/webp)
/0/7212/coverorgin.jpg?v=a93a4ff531b7a044cca38de6c68b3f2e&imageMogr2/format/webp)
/0/27684/coverorgin.jpg?v=20251106165626&imageMogr2/format/webp)
/0/16901/coverorgin.jpg?v=2b23a53fc3917b0a29dd0a241be3a429&imageMogr2/format/webp)
/0/3135/coverorgin.jpg?v=d437c03b6913e6281de45100a11f8f00&imageMogr2/format/webp)
/0/7714/coverorgin.jpg?v=abfa39172a66c8f77a357e0be611862a&imageMogr2/format/webp)
/0/13744/coverorgin.jpg?v=9b98406bedb7a8807ec09c446dfbd917&imageMogr2/format/webp)
/0/5072/coverorgin.jpg?v=f58873173f1986910223afb6e0f788e4&imageMogr2/format/webp)
/0/5026/coverorgin.jpg?v=20250121183051&imageMogr2/format/webp)