Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Jangan menangis! Berdirilah!"
Julian Maxim Leonard, bocah berusia tujuh belas tahun itu mengulurkan tangannya di hadapan, Misha Rachel Barera. Ia melihat putri dari keluarga Barera tersebut, sedang bersimpuh di bawah tanah. Seragam kebesaran sekolah Harvard England yang dikenakan, tampak sudah terkoyak. Bahkan tubuhnya kini penuh dengan lumpur dan keringat.
Misha, gadis berambut ikal itu biasa dipanggil. Wajahnya terangkat ke atas, ia melihat sosok Julian di hadapannya. Butiran air mata yang menggenang, membuat penglihatannya sedikit buram. Misha, tidak langsung menyambut uluran tangan tersebut. Wajahnya kini berpaling, pundaknya berguncang dan akhirnya ia pun kembali menangis.
"Aku tidak akan menyakitimu, mari aku antar pulang!" Julian menunggu, tapi Misha tak kunjung menyambut uluran tangannya.
"Pergilah! Aku tidak ingin mengotori tanganmu. Temanmu pasti akan menghukumku, jika mereka tahu Kamu telah menolongku,”
Niat baik yang ditawarkan oleh Julian telah diabaikan begitu saja. Perlahan tangan pejantan tanggung itu mengepal, ada sesuatu yang membuat dadanya sakit hanya karena sebuah ucapan.
"Dasar rubah betina!" gumam Julian yang sampai di telinga, Misha.
Gadis itu merespon, ia bangkit dengan susah payah. Ada luka lebam di beberapa bagian tubuhnya, bahkan Julian melihat di sudut bibir gadis itu telah mengeluarkan cairan berwarna merah kental.
"Apa Kamu puas melihatku seperti ini? Apa Kamu, puas?!" teriaknya dengan urat leher yang menonjol.
Lagi-lagi, perundungan yang didapatkan kali ini mempermasalahkan soal status. Misha yang terlahir dari keluarga biasa saja, dirasa tidak pantas untuk menjejakkan kaki ke dalam lingkungan seorang bangsawan. Seharusnya, gadis bermata coklat itu merasa sangat beruntung. Karena dia bisa masuk ke Harvard England dengan beasiswa yang didapat. Akan tetapi, realita tidak seindah dengan apa yang dibayangkan. Kehadiran gadis itu tidak diterima oleh beberapa golongan.
BUG!
Dari arah belakang, ada yang menghantam kepalanya. Saat ia hendak menoleh, sebuah balok sudah melayang kembali tepat di wajah, Misha.
"Hei! Apa yang sudah Kalian lakukan, hah?" Julian menatap kedua teman sekelasnya dengan nyalang.
Terlambat, tubuh Misha terpelanting. Gadis itu tersungkur ke bawah tanah. Dia, meraba tengkuknya. Ada darah segar mengalir dari sana.
"Apa Kamu baik-baik saja, Julian? Dia tidak menyakitimu kan?" salah satu temannya mendekat, ia lebih mengkhawatirkan kondisi tuan muda daripada gadis gembel itu.
"Sial! Kenapa Kalian memukulnya? Kalau dia kenapa-napa, bagaimana? Dia tidak jahat seperti yang Kalian bilang selama ini," ujar Julian sambil melihat ke arah Misha yang tidak bergerak.
"Sudahlah. Jangan pedulikan gadis aneh itu! Ayo cepat pergi dari sini!" tarik kedua temannya yang memaksa agar Julian mau ikut dengan mereka.
"T-Tapi, …." Julian menengok ke belakang, dimana mereka telah meninggalkan Misha begitu saja. Seolah teman-temannya tengah menghalangi Julian agar tidak kembali.
'M-Maafkan aku ….' (ucap Julian dalam hati).
Perlahan pandangan Misha mulai mengabur. Tangannya, mencoba meraih sesuatu. Ia berusaha untuk meminta pertolongan. Entah kenapa pita suaranya mendadak menghilang. Misha kembali jatuh terjerembab, seiring bayangan Julian yang menghilang. Gadis berkulit pucat itupun tidak sadarkan diri.
***
Misha Rachel Barera, perempuan lajang berusia 25 tahun itu memasuki sebuah lobi gedung yang bertuliskan King Construction dengan sedikit tergesa. Rambutnya yang tergerai mengikuti pergerakan langkah kakinya yang berayun. Misha menawarkan sebuah senyuman saat bertemu dengan rekan kerja dan resepsionis yang sedang berjaga.
"Selamat pagi! Apakah laporan untuk proyek ruko sudah selesai disusun?" tanya Misha setelah mendekat pada salah satu staf yang sudah bersiap di meja kerjanya.
"Emh, b-belum, Bu." jawabnya dengan gugup. Staf yang baru bergabung dengannya seminggu lalu itu mendadak wajahnya menjadi pucat pasi.
"Hem, ya sudah. Selesaikan nanti sebelum jam makan siang. Saya ingin laporan ini sudah berada di atas meja saya tanpa revisi apapun, bisa kan?" tunjuk Misha ke atas dokumen yang berada di atas meja kubikel staf nya tersebut.
"B-Baik, Bu," jawab staf perempuan itu sambil mengangguk patuh. Ia harus bisa mengerjakan sesuai jadwal deadline yang ditentukan oleh atasannya.